"Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk
kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr.
Mamduh Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo
dan Dikrektur Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf
terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua
mempelai. Kepada Professor dipersilahkan..."
Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan
resepsi pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di
tepi sungai Nil, Kairo.
Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan
disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-
nanti mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan
dengan kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering
nongol di televisi itu.
Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih
melangkah menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya
memancarkan wibawa. Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa
ia memang seorang ilmuan berbobot. Sorot matanya yang tajam dan
kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium,
kamera video dan lampu sorot langsung shoot ke arahnya. Sesaat
sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang kacamatanya, lalu...
Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma
ba'du. Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat
lazimnya para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada
kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita...
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan
bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai
harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya.
harapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan
Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah
mutiaranya dan buanglah lumpurnya.
Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,
melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan
kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Tiga puluh tahun yang lalu ...
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan
menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira tinggi,
keturunan "Pasha" yang terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah
terhormatnya, seorang lady dari keluarga aristokrat terkemuka di
Ma'adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan Sorbonne yang
memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik
di negeri ini.
Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup
dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan
hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat.
Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan
aristokrat atau kalangan high class yang sepadan!
Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini.
Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang
didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya
cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman
dari kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan
perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka
menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial
keluarga. Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat
dalam mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun
saya tidak peduli.
Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu
mampu mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah
dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke
luar negri, ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya.
Jika berlibur di dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan
keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza
yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.
Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah.
Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil
biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para
dosen. Tetapi beliau menolak mentah-mentah.
"Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja" tegas
ayah.
Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah
habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di
hati, saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.
Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang
penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan,
kesahajaan, dan kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya
menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan
tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis
yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.
Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa
telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk
menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu
ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi
di fakultas. Maka datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua
menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan
yang lurus.
Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan
hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu,
dan saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan,
kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam
memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.
Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu
saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan
membanting gelas yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum:
Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!
Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan
dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak
saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin
yang tak terkira.
Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku
sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang
cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur! Saya katakan
dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki
sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya
dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi
yang tak banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat tangannya ia
lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun
dia sama sekali tidak mengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri
sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya
membawa pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui.
Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya
sebesar 500 ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada
perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di
jalan yang lurus tidak direstui, sedangkan adik saya yang jelas-
jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili
pacarnya yang entah yang ke berapa di luar akad nikah malah direstui
dan diberi fasilitas maha besar? Dengan enteng ayah
menjawab. "Karena kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah
dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar adik kamu
yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga
besar Al Ganzouri."
Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan
ayah saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda
kiamat sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah
dihalangi, namun yang jelas berzina justru difasilitasi.
Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan
hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan
pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-
apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci
yang saya yakini kebenarannya. Itu saja.
Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya.
Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi,
dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la
haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau
setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-
mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau
menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya
sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya.
Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak
pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan
keluarga dia menolak karena alasan membela kehormatan.
Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan
bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?
Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri
penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke
kantor ma'dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang
sahabat karibku. Kami berikan identitas kami dan kami minta ma'dzun
untuk melaksanakan akad nikah kami secara syari'ah mengikuti mahzab
imam Hanafi.
Ketika Ma'dzun menuntun saya, "Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya
terima nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan
mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam
Abu Hanifah."
Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata
3 sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah
itu. Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah
di mata Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar
menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum
berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah
kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan
mata. Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari
rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari
rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa
potong pakaian dan uang sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang
saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.
Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih
tragis lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang
sebanyak 2 pound, tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound
atau 2 dolar!!!
Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua
bertemu di jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan
Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa
cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya
saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan
jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa berdaya dan hidup
menjalari sukma kami.
"Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti
ini. Maafkan Kanda!"
"Tidak... Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita
telah berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak
bisa menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir
anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan
tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita
tempuh ini.
Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama
kanda tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan
buktikan kepada mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan
keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu kita
ulurkan tangan kita dan kita berikan senyum kita pada mereka dan
mereka akan menangis haru.
Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita
kita saat ini," jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.
Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah
rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika.
Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi
dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan
menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound.
Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk
di emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa.
Dalam kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak
mungkin kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang
juga. Dengan sisa uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah
toko selama 24 jam.
Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman
sebanyak 50 pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala
kadarnya yang murah.
Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan
kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus
mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta,
kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.
Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami
berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra
Khaimah. Bagi kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin
dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan
mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus
dari rumah kontrakan kami.
Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu,
jika seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia
bagai mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah
sedang membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang
jaminan dan uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari
25 pound saja untuk 3 bulan.
Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu
kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih
dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu
kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua
cangkir dari tanah, itu saja... tak lebih.
Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa
tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini
kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta?
Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-
orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah
menjanjikan cinta.
Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya
persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah
untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah
di surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh
lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa
dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh
Allah kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya.
Dan tidak semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah
SWT.
Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an
dan Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang
berhak memperoleh segala cinta di surga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus
mendekatkan diri kepada-Nya.
Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur'an, lalu memakai jilbab, dan
tiada putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah
Adawiyah yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu
siang ia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia
memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad
untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia
juga seorang wanita yang pandai mengatur keuangan. Uang sewa
sebanyak 25 poud yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup
untuk makan dan transportasi selama sebulan.
Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan
kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan
dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-
sampai ada yang bilang tanpa disengaja,"Ah, kami kira para dokter
itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara
seperti Mamduh dan isterinya."
Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi
nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan
kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri
agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami
memang dokter yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada
yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan
pertolongan-pertolongan mereka.
Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan
yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan
tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami.
Yang lebih menyakitkan mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.
Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami
digedor dan didobrak oleh 4 ..::makhluk yang lucu::.. kiriman ayah
saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-
satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi. Kasur
tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam
dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan
ancaman, "Kalian tak akan hidup tenang, karena berani menentang Tuan
Pasha."
Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala
itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat ..::makhluk yang
lucu::.. itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi
nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang
hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami
masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek
tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan
kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur
kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman
inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi
hidup ini.
Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup
tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah
merancang skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan
tuduhan wanita tuna susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen
militer di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan
undang-undang berada di telapak kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah
total kepada Allah mendengar hal itu.
Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak
mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman
karibku berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil
membujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk
bersabar dan tidak menjalankan skenario itu , sebab kalau itu
terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa
berbuat lebih nekad.
Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil
meminta beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai
isteriku. Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu,
sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara
saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu
tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya
takutkan, tidak ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6
pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang
sangat saya cintai. Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur
karena memikirkan keselamatan isteri tercinta.
Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan
hamba-hamba-Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia
mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah
kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan
rahmat Allah SWT.
Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu
kepada kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan
keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang
putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya
teringat puisi seorang penyair Palestina yang memimpikan hidup
bahagia dengan pendamping setia & lepas dari belenggu derita:
Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana... di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku... besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
Yah... saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari
nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta.
Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras
untuk masuk program Magister bersama!
"Gila... ide gila!!!" pikirku saat itu. Bagaimana tidak...ini adalah
saat paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari
pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan
keluarga yang tidak berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh
untuk meraih gelar Magister dan menjawab logika yang saya tolak:
"Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat
tawaran dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya,
kita harus sabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian
cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa
tidak sekalian kita rengguk sum-sum penderitaan ini. Kita
sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi indah
kita."
Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau
ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku
pun luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran
dan kekuatan jiwanya.
Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami
memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan,
sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek,
buku, dll. Nyaris kami hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan
roti dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari
awal pernikahan kami. Malam hari kami lalui bersama dengan perut
kosong, teman setia kami adalah air keran.
Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama
dalam suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami
obati dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa
uang untuk beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.
Siang hari, jangan tanya... kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan
itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.
Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah
menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri
saya mengeluh, menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab.
Kalaupun dia menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi
dia malah lebih kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan
saya yang asalnya terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup
sengsara layaknya gelandangan.
Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang
asalnya hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di
rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya.
Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang
luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan
rasa sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya
adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya
dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan,
dia akan mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh
cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan
terlupakan semua. Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di
dunia ini.
"Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang..." bisiknya mesra
sambil tersenyum.
Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.
Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih
gelar Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja!
Namun, kami belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister
pun kami masih hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada
istilah makan enak dalam hidup kami.
Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami
berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan
untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka,
kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang
mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan kembali mengenal
masakan lezat.
Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di
Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir
setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang 'edan'. Ia
kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program
Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:
"Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita
lalui, dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar
Doktor di London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak
ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil
merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah
menyediakan dana tambahan."
Kucium kening istriku, dan bismillah... kami berangkat ke London.
Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol
gelar Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya
spesialis jantung.
Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak
kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya
diangkat sebagai direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai
wakilnya! Kami juga mengajar di Universitas.
Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai
dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam
suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.
Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah
sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali
laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling
dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah
lebih dari 9 tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah
swt dan bertambahlan rasa cinta kami.
Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika
hadirin sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan
mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak
pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka
lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum
ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda Sulthan. Dialah
istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan bisa
mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz..."
Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok
perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru.
Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga
merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru
kedua mempelai, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini
dengan seksama.
Dari milis Airputih (airputih@yahoogroups.com)
kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr.
Mamduh Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo
dan Dikrektur Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf
terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua
mempelai. Kepada Professor dipersilahkan..."
Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan
resepsi pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di
tepi sungai Nil, Kairo.
Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan
disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-
nanti mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan
dengan kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering
nongol di televisi itu.
Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih
melangkah menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya
memancarkan wibawa. Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa
ia memang seorang ilmuan berbobot. Sorot matanya yang tajam dan
kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium,
kamera video dan lampu sorot langsung shoot ke arahnya. Sesaat
sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang kacamatanya, lalu...
Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma
ba'du. Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat
lazimnya para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada
kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita...
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan
bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai
harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya.
harapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan
Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah
mutiaranya dan buanglah lumpurnya.
Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,
melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan
kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Tiga puluh tahun yang lalu ...
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan
menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira tinggi,
keturunan "Pasha" yang terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah
terhormatnya, seorang lady dari keluarga aristokrat terkemuka di
Ma'adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan Sorbonne yang
memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik
di negeri ini.
Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup
dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan
hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat.
Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan
aristokrat atau kalangan high class yang sepadan!
Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini.
Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang
didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya
cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman
dari kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan
perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka
menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial
keluarga. Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat
dalam mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun
saya tidak peduli.
Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu
mampu mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah
dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke
luar negri, ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya.
Jika berlibur di dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan
keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza
yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.
Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah.
Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil
biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para
dosen. Tetapi beliau menolak mentah-mentah.
"Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja" tegas
ayah.
Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah
habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di
hati, saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.
Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang
penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan,
kesahajaan, dan kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya
menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan
tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis
yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.
Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa
telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk
menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu
ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi
di fakultas. Maka datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua
menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan
yang lurus.
Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan
hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu,
dan saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan,
kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam
memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.
Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu
saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan
membanting gelas yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum:
Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!
Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan
dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak
saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin
yang tak terkira.
Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku
sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang
cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur! Saya katakan
dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki
sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya
dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi
yang tak banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat tangannya ia
lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun
dia sama sekali tidak mengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri
sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya
membawa pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui.
Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya
sebesar 500 ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada
perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di
jalan yang lurus tidak direstui, sedangkan adik saya yang jelas-
jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili
pacarnya yang entah yang ke berapa di luar akad nikah malah direstui
dan diberi fasilitas maha besar? Dengan enteng ayah
menjawab. "Karena kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah
dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar adik kamu
yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga
besar Al Ganzouri."
Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan
ayah saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda
kiamat sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah
dihalangi, namun yang jelas berzina justru difasilitasi.
Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan
hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan
pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-
apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci
yang saya yakini kebenarannya. Itu saja.
Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya.
Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi,
dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la
haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau
setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-
mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau
menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya
sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya.
Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak
pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan
keluarga dia menolak karena alasan membela kehormatan.
Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan
bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?
Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri
penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke
kantor ma'dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang
sahabat karibku. Kami berikan identitas kami dan kami minta ma'dzun
untuk melaksanakan akad nikah kami secara syari'ah mengikuti mahzab
imam Hanafi.
Ketika Ma'dzun menuntun saya, "Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya
terima nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan
mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam
Abu Hanifah."
Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata
3 sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah
itu. Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah
di mata Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar
menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum
berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah
kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan
mata. Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari
rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari
rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa
potong pakaian dan uang sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang
saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.
Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih
tragis lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang
sebanyak 2 pound, tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound
atau 2 dolar!!!
Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua
bertemu di jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan
Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa
cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya
saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan
jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa berdaya dan hidup
menjalari sukma kami.
"Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti
ini. Maafkan Kanda!"
"Tidak... Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita
telah berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak
bisa menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir
anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan
tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita
tempuh ini.
Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama
kanda tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan
buktikan kepada mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan
keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu kita
ulurkan tangan kita dan kita berikan senyum kita pada mereka dan
mereka akan menangis haru.
Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita
kita saat ini," jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.
Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah
rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika.
Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi
dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan
menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound.
Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk
di emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa.
Dalam kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak
mungkin kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang
juga. Dengan sisa uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah
toko selama 24 jam.
Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman
sebanyak 50 pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala
kadarnya yang murah.
Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan
kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus
mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta,
kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.
Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami
berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra
Khaimah. Bagi kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin
dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan
mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus
dari rumah kontrakan kami.
Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu,
jika seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia
bagai mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah
sedang membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang
jaminan dan uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari
25 pound saja untuk 3 bulan.
Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu
kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih
dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu
kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua
cangkir dari tanah, itu saja... tak lebih.
Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa
tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini
kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta?
Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-
orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah
menjanjikan cinta.
Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya
persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah
untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah
di surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh
lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa
dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh
Allah kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya.
Dan tidak semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah
SWT.
Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an
dan Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang
berhak memperoleh segala cinta di surga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus
mendekatkan diri kepada-Nya.
Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur'an, lalu memakai jilbab, dan
tiada putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah
Adawiyah yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu
siang ia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia
memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad
untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia
juga seorang wanita yang pandai mengatur keuangan. Uang sewa
sebanyak 25 poud yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup
untuk makan dan transportasi selama sebulan.
Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan
kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan
dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-
sampai ada yang bilang tanpa disengaja,"Ah, kami kira para dokter
itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara
seperti Mamduh dan isterinya."
Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi
nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan
kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri
agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami
memang dokter yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada
yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan
pertolongan-pertolongan mereka.
Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan
yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan
tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami.
Yang lebih menyakitkan mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.
Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami
digedor dan didobrak oleh 4 ..::makhluk yang lucu::.. kiriman ayah
saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-
satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi. Kasur
tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam
dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan
ancaman, "Kalian tak akan hidup tenang, karena berani menentang Tuan
Pasha."
Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala
itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat ..::makhluk yang
lucu::.. itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi
nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang
hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami
masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek
tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan
kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur
kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman
inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi
hidup ini.
Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup
tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah
merancang skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan
tuduhan wanita tuna susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen
militer di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan
undang-undang berada di telapak kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah
total kepada Allah mendengar hal itu.
Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak
mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman
karibku berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil
membujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk
bersabar dan tidak menjalankan skenario itu , sebab kalau itu
terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa
berbuat lebih nekad.
Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil
meminta beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai
isteriku. Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu,
sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara
saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu
tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya
takutkan, tidak ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6
pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang
sangat saya cintai. Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur
karena memikirkan keselamatan isteri tercinta.
Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan
hamba-hamba-Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia
mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah
kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan
rahmat Allah SWT.
Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu
kepada kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan
keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang
putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya
teringat puisi seorang penyair Palestina yang memimpikan hidup
bahagia dengan pendamping setia & lepas dari belenggu derita:
Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana... di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku... besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
Yah... saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari
nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta.
Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras
untuk masuk program Magister bersama!
"Gila... ide gila!!!" pikirku saat itu. Bagaimana tidak...ini adalah
saat paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari
pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan
keluarga yang tidak berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh
untuk meraih gelar Magister dan menjawab logika yang saya tolak:
"Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat
tawaran dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya,
kita harus sabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian
cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa
tidak sekalian kita rengguk sum-sum penderitaan ini. Kita
sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi indah
kita."
Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau
ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku
pun luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran
dan kekuatan jiwanya.
Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami
memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan,
sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek,
buku, dll. Nyaris kami hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan
roti dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari
awal pernikahan kami. Malam hari kami lalui bersama dengan perut
kosong, teman setia kami adalah air keran.
Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama
dalam suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami
obati dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa
uang untuk beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.
Siang hari, jangan tanya... kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan
itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.
Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah
menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri
saya mengeluh, menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab.
Kalaupun dia menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi
dia malah lebih kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan
saya yang asalnya terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup
sengsara layaknya gelandangan.
Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang
asalnya hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di
rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya.
Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang
luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan
rasa sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya
adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya
dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan,
dia akan mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh
cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan
terlupakan semua. Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di
dunia ini.
"Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang..." bisiknya mesra
sambil tersenyum.
Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.
Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih
gelar Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja!
Namun, kami belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister
pun kami masih hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada
istilah makan enak dalam hidup kami.
Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami
berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan
untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka,
kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang
mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan kembali mengenal
masakan lezat.
Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di
Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir
setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang 'edan'. Ia
kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program
Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:
"Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita
lalui, dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar
Doktor di London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak
ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil
merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah
menyediakan dana tambahan."
Kucium kening istriku, dan bismillah... kami berangkat ke London.
Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol
gelar Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya
spesialis jantung.
Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak
kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya
diangkat sebagai direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai
wakilnya! Kami juga mengajar di Universitas.
Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai
dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam
suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.
Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah
sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali
laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling
dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah
lebih dari 9 tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah
swt dan bertambahlan rasa cinta kami.
Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika
hadirin sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan
mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak
pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka
lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum
ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda Sulthan. Dialah
istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan bisa
mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz..."
Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok
perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru.
Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga
merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru
kedua mempelai, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini
dengan seksama.
Dari milis Airputih (airputih@yahoogroups.com)
SELEMBAR TIKET KERETA
Semenjak kecil, saya takut untuk memperingati hari ibu karena tak
berapa lama setelah saya lahir, saya dibuang oleh ibu saya.
Setiap kali peringatan hari ibu, saya selalu merasa tidak leluasa
karena selama peringatan hari ibu semua acara televisi menayangkan
lagu tentang kasih ibu, begitu juga dengan radio dan bahkan iklan
biskuit pun juga menggunakan lagu tentang hari ibu.
Saya tidak bisa meresapi lagu-lagu seperti itu. Setelah sebulan lebih
saya dilahirkan, saya ditemukan oleh seseorang di stasiun kereta api
Xin Zhu. Para polisi yang berada di sekitar stasiun itu kebinggungan
untuk menyusui saya. Tapi pada akhirnya, mereka bisa menemukan seorang
ibu yang bisa menyusui saya. Kalau bukan karena dia, saya pasti sudah
menanggis dan sakit. Setelah saya selesai disusui dan tertidur dengan
tenang, para polisi pelan-pelan membawa saya ke De Lan Center di
kecamatan Bao Shan kabupaten Xin Zhu. Hal ini membuat para biarawati
yang sepanjang hari tertawa ria akhirnya pusing tujuh keliling.
Saya tidak pernah melihat ibu saya. Semasa kecil saya hanya tahu kalau
saya dibesarkan oleh para biarawati. Pada malam hari, di saat
anak-anak yang lain sedang belajar, saya yang tidak ada kerjaan hanya
bisa menggangu para biarawati. Pada saat mereka masuk ke altar untuk
mengikuti kelas malam, saya juga akan ikut masuk kedalam.
Terkadang saya bermain di bawah meja altar, mengganggu biarawati yang
sedang berdoa dengan membuat wajah-wajah yang aneh. Dan lebih sering
lagi ketiduran sambil bersandar di samping biarawati. Biarawati yang
baik hati itu tidak menunggu kelas berakhir terlebih dahulu, tetapi
dia langsung menggendong saya naik untuk tidur. Saya curiga apakah
mereka menyukai saya karena mereka bisa memanfaatkan kesempatan ini
untuk keluar dari altar.
Walaupun kami adalah anak-anak yang terbuang, tetapi sebagian besar
dari kami masih memiliki keluarga. Pada saat tahun baru ataupun hari
raya, banyak sanak saudara yang datang menjemput. Sedangkan saya,
dimana rumah saya pun saya tidak tahu.
Juga karena inilah para biarawati sangat memperhatikan anak-anak yang
tidak memiliki sanak saudara sehingga mereka tidak memperbolehkan
anak-anak lain menggangu kami. Sejak kecil prestasi saya cukup bagus
dan para biarawati mencarikan banyak pekerja sosial untuk menjadi guru
saya. Kalau dihitung-hitung sudah cukup banyak yang menjadi pengajar
saya. Mereka adalah lulusan dan dosen dari universitas Jiao dan
universitas Qing, lembaga penelitian, dan insinyur. Guru yang
mengajarkan saya IPA pada tahun sebelumnya adalah seorang mahasiswa
dan sekarang dia telah menjadi asisten dosen. Guru yang mengajari saya
Bahasa Inggris adalah seorang yang jenius. Tidak heran sejak kecil
kemampuan saya dalam berbahasa Inggris sudah bagus.
Para biarawati juga memaksa saya untuk belajar piano. Semenjak kelas 4
SD, saya telah menjadi pianis di gereja dan pada saat misa saya yang
bertanggung jawab untuk bermain piano. Karena didikan yang saya
dapatkan di gereja, kemampuan berbicara saya pun juga bagus. Di
sekolah saya sering mengikuti lomba berpidato, pernah juga menjadi
perwakilan alumni untuk mengikuti debat.
Tetapi saya sama sekali tidak pernah mendapatkan peran yang penting
dalam acara peringatan hari ibu..
Walaupun saya suka memainkan piano tetapi saya mempunyai satu prinsip.
Saya tidak akan memainkan lagu-lagu yang berhubungan dengan hari ibu,
kecuali jika ada orang yang memaksa saya. Tetapi tetap saja saya tidak
akan memainkan lagu-lagu tersebut atas dasar keinginan saya sendiri.
Terkadang saya pernah berpikir, siapakah ibu saya? Saat membaca novel,
saya menebak bahwa saya adalah anak haram, ayah meninggalkan ibu dan
ibu yang masih muda akhirnya membuang saya.
Mungkin karena kepintaran saya yang cukup bagus, ditambah lagi dengan
adanya bantuan dari pengajar yang sepenuh hati membantu, saya dengan
lancar bisa lolos ujian masuk jurusan arsitektur di Universitas Xin
Zhu. Saya menyelesaikan kuliah sambil bekerja sambilan. Biarawati Sun
yang membesarkan saya terkadang datang mengunjungi saya. Jika
teman-teman kuliah saya yang bandel-bandel itu melihat biarawati Sun,
mereka akan langsung berubah menjadi kalem. Banyak teman-teman saya
yang setelah mengetahui latar belakang saya, datang menghibur saya.
Mereka juga mengakui, bahwa saya mempunyai pembawaan yang baik,
dikarenakan saya dibesarkan oleh para biarawati
Saat wisuda, orang tua dari mahasiswa lain semua berdatangan,
sedangkan keluarga saya satu-satunya yang hadir hanya biarawati Sun.
Kepala jurusan saya bahkan meminta biarawati Sun untuk foto bersama.
Di masa wajib militer, saya kembali ke De Lan Center. Tiba-tiba saja
di hari itu biarawati Sun ingin membicarakan hal yang serius dengan
saya. Dia mengambil sebuah amplop surat dari raknya dan dia
mempersilahkan saya untuk melihat isi-isi dari amplop surat itu.
Di dalam amplop surat itu, terdapat dua lembar tiket kereta.
Biarawati Sun berkata pada saya bahwa pada saat polisi mengantar saya
ke tempat ini, dalam baju saya terselip dua lembar tiket perjalanan
dari tempat tinggal asal ibu saya menuju stasiun Xin Zhu.
Tiket pertama adalah tiket bus dari salah satu tempat di bagian
selatan menuju ke Ping Dong. Dan tiket yang satunya lagi adalah tiket
kereta api dari Ping Dong ke Xin Zhu. Ini adalah tiket kereta api yang
lambat. Dari situ saya baru tahu bahwa ibu kandung saya bukanlah orang
yang berada.
Biarawati Sun mengatakan pada saya bahwa mereka biasanya tidak suka
mencari latar belakang dari bayi-bayi yang telah ditinggalkan. Oleh
karena itu, mereka menyimpan dua tiket kereta ini dan memutuskan untuk
memberikannya pada saat saya sudah dewasa.
Mereka telah lama mengamati saya dan pada akhirnya mereka menyimpulkan
bahwa saya adalah orang yang rasional. Jadi seharusnya saya mempunyai
kemampuan untuk mengatasi masalah ini. Mereka pernah pergi ke kota
kecil ini dan menemukan bahwa jumlah penduduk kota kecil itu tidak
banyak. Jadi jika saya benar-benar ingin mencari keluarga saya,
seharusnya saya tidak akan menemui kesulitan.
Saya selalu terpikir untuk bertemu dengan orang tua saya. Tetapi
setelah memegang dua tiket ini, mulai timbul keraguan dalam hati saya.
Saya sekarang hidup dengan baik, mempunyai ijazah lulusan S1, dan
bahkan memiliki seorang teman wanita akan menjadi teman hidup saya.
Mengapa saya harus melihat ke masa lalu? Mencari masa lalu yang
benar-benar asing bagi saya. Lagi pula besar kemungkinan kenyataan
yang didapatkan adalah hal yang tidak menyenangkan.
Biarawati Sun justru mendukung saya untuk pergi ke kota asal ibu saya.
Dia menggangap kalau saya akan memiliki masa depan yang cerah.
Jika teka-teki tentang asal-usul kelahiran saya tidak dijadikan alasan
sebagai bayangan gelap dalam diri saya, dia terus membujuk diri saya
untuk memikirkan kemungkinan terburuk yang akan saya hadapi, yang
seharusnya tidak akan menggoyahkan kepercayaan diri saya terhadap masa
depan saya.
Saya akhirnya berangkat ke kota yang berada di daerah pegunungan, yang
bahkan tidak pernah saya dengar namanya. Dari kota Ping Dong saya
harus naik kereta api selama satu jam lebih untuk tiba di sana.
Saat musim dingin, walaupun berada di daerah selatan, di kota ini
hanya terdapat satu kantor polisi, satu pos kota, satu Sekolah Dasar,
dan satu Sekolah Menengah Pertama, selain itu tidak ada lagi gedung
yang lainnya.
Saya bolak-balik ke kantor polisi dan pos kota untuk mencari data
kelahiran saya. Akhirnya saya menemukan dua dokumen yang berhubungan
dengan diri saya. Dokumen pertama adalah data mengenai kelahiran
seorang anak laki-laki. Dokumen kedua adalah data laporan kehilangan
anak. Hilangnya anak itu adalah di saat hari kedua saya dibuang satu
bulan lebih setelah saya dilahirkan. Menurut keterangan dari
biarawati, saya ditemukan di stasiun Xin Zhu. Sepertinya saya sudah
menemukan data-data kelahiran saya.
Sekarang masalahnya adalah ayah saya telah meninggal dunia dan ibu
saya juga telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu. Saya
mempunyai seorang kakak laki-laki. Kakak saya telah meninggalkan kota
dan tidak tahu ke mana perginya.
Karena ini adalah kota kecil, maka semua orang saling mengenal.
Seorang polisi tua di kantor polisi memberitahu saya, bahwa ibu saya
selalu bekerja di SMP. Dia lalu membawa saya menemui kepala SMP itu.
Kepala sekolah itu adalah seorang wanita dan beliau menyambut saya
dengan ramah. Dia membenarkan bahwa ibu saya pernah bekerja di sini.
Dan beliau sangat baik hati, sedangkan ayah saya adalah orang yang
sangat malas. Saat pria yang lain pergi ke kota untuk mencari
pekerjaan, hanya ayah yang tidak mau pergi. Di kota kecil, ayah hanya
bekerja sebagai pekerja musiman. Padahal di dalam kota sama sekali
tidak ada pekerjaan yang bisa dia kerjakan.
Oleh karena itu, seumur hidup dia hanya mengandalkan ibu saya yang
bekerja sebagai pekerja kasar. Karena tidak memiliki pekerjaan,
suasana hatinya menjadi sangat tidak baik. Jadi seringkali dia mabuk-
mabukan. Dan setelah mabuk, terkadang ayah memukul ibu atau kakak
saya. Walaupun setelah itu ayah merasa menyesal, kebiasaan buruk ini
sangat susah untuk diubah. Ibu dan saudara saya terusik seumur hidup
olehnya. Pada saat kakak duduk di kelas dua SMP, dia kabur dari rumah
dan semenjak saat itu ayah tidak pernah kembali lagi.
Sepengetahuan ibu kepala sekolah, ibu itu memiliki anak kedua. Namun
setelah berumur satu bulan lebih, secara misterius anak itu menghilang
begitu saja. Saat ibu kepala sekolah tahu bahwa saya dibesarkan di
sebuah panti asuhan di daerah utara, beliau mulai menanyakan banyak
hal kepada saya dan saya menjelaskannya satu per satu.
Beliau mulai tergerak hatinya dan kemudian mengeluarkan selembar
amplop surat. Amplop ini ditinggalkan ibu saya sebelum ibu meninggal
dan ditemukan di samping bantalnya. Kepala sekolah berpikir bahwa di
dalamnya pasti terdapat barang-barang yang bermakna. Oleh karena itu,
dia menyimpannya dan menunggu sampai ada keluarganya yang datang
mengambil.
Dengan tangan yang gemetar, saya membuka amplop itu. Dalam amplop itu
berisi tiket kereta api. Semua itu adalah tiket-tiket perjalanan dari
kota kecil di bagian selatan ini menuju kecamatan Bao Shan kabupaten
Xin Zhu, dan semuanya disimpan dengan baik. Kepala sekolah memberitahu
saya bahwa setiap setengah tahun sekali, ibu saya pergi ke daerah di
bagian utara untuk menemui salah satu saudaranya.
Namun, tidak ada satu orangpun yang mengenal siapa saudara itu.
Mereka hanya merasa bahwa setiap ibu saya kembali dari sana, suasana
hatinya menjadi sangat baik.
Ibu saya menganut agama Budha di hari tuanya. Hal yang paling
membanggakan baginya adalah ia berhasil membujuk beberapa orang kaya
beragama Budha untuk mengumpulkan dana sebesar NT 1.000.000 yang
disumbangkan ke panti asuhan yang dikelola oleh agama Katolik. Pada
hari penyerahan dana, ibu saya juga ikut hadir.
Saya merasa merinding seketika. Pada suatu kali, ada satu bus
pariwisata yang membawa para penganut agama Budha yang berasal dari
daerah selatan. Mereka membawa selembar cek bernilai NT 1.000.000
untuk disumbangkan ke De Lan Center.
Para biarawati sangat berterimakasih dan mereka mengumpulkan semua
anak-anak untuk berfoto bersama para penyumbang. Pada saat itu, saya
yang sedang bermain basket. Saya juga ikut dipanggil dan dengan tidak
rela, saya pun ikut berfoto bersama mereka. Sekarang saya menemukan
foto itu di dalam amplop ini. Saya meminta orang untuk menunjukkan
yang mana ibu saya. Saya tersentak seketika. Yang lebih membuat saya
terharu adalah di dalamnya terdapat foto kenangan- kenangan wisuda
saya yang telah difotokopi. Foto itu adalah foto saya bersama
teman-teman saya yang sedang mengenakan topi toga. Saya juga termasuk
di dalam foto itu. Ibu saya, walaupun telah membuang saya, tetap
datang mengunjungi saya. Mungkin saja dia juga menghadiri acara wisuda
saya.
Dengan suara tenang, kepala sekolah berkata, "Kamu seharusnya
berterima kasih pada ibumu.
Dia membuangmu demi mencarikanmu lingkungan hidup yang lebih baik.
Jika kamu tetap tinggal di sini, bisa-bisa kamu hanya lulus SMP, lalu
pergi ke kota mencari kerja. Di sini hampir tidak ada orang yang
mengecap pendidikan SMU. Lebih gawatnya lagi, jika kamu tidak tahan
terhadap pukulan dan amarah ayahmu setiap hari, bisa-bisa kamu seperti
kakakmu yang kabur dari rumah dan tidak pernah kembali lagi." Kepala
sekolah kemudian memanggil guru yang lain untuk menceritakan hal-hal
tentang saya.
Semuanya mengucapkan selamat karena saya bisa lulus dari Universitas
Guo Li. Ada seorang guru yang berkata, bahwa di sini belum ada murid
yang berhasil masuk ke Universitas Guo Li.
Saya tiba-tiba tergerak untuk melakukan sesuatu. Saya bertanya kepada
kepala sekolah apakah di dalam sekolah ada piano. Beliau berkata bahwa
pianonya bukan piano yang cukup bagus, tetapi terdapat organ yang
masih baru. Saya membuka tutup piano dan menghadap matahari di luar
jendela dan saya memainkan satu per satu lagu tentang ibu. Saya ingin
orang-orang tahu, walaupun saya dibesarkan di panti asuhan tetapi saya
bukanlah yatim piatu karena saya memiliki para biarawati yang baik
hati dan senantiasa mendidik saya.
Mereka bagaikan ibu yang membesarkan saya, mengapa saya tidak bisa
menganggap mereka selayaknya ibu saya sendiri? Dan juga ibu saya
selalu memperhatikan saya. Ketegasan dan pengorbanannya lah yang
membuat saya memiliki lingkungan hidup yang baik dan masa depan yang
gemilang.
Prinsip yang saya tetapkan telah dilenyapkan. Saya bukan saja bisa
memainkan lagu peringatan hari ibu, tetapi saya juga bisa
menyanyikannya. Kepala sekolah dan para guru juga ikut bernyanyi.
Suara piano juga tersebar ke seluruh sekolah dan suara piano saya
pasti berkumandang sampai ke lembah. Di senja hari ini, penduduk-
penduduk di kota kecil akan bertanya, "Kenapa ada orang yang memainkan
lagu tentang ibu?" Bagi saya hari ini adalah hari ibu.
Sebuah amplop yang dipenuhi tiket kereta api membuat saya untuk
selamanya tidak takut untuk memperingati hari ibu.
Ini adalah sebuah kisah nyata dari rektor Universitas Ji Nan yang
bernama Li Jia Tong.
Sumber : Milis Airputih (airputih@yahoogroups.com)
berapa lama setelah saya lahir, saya dibuang oleh ibu saya.
Setiap kali peringatan hari ibu, saya selalu merasa tidak leluasa
karena selama peringatan hari ibu semua acara televisi menayangkan
lagu tentang kasih ibu, begitu juga dengan radio dan bahkan iklan
biskuit pun juga menggunakan lagu tentang hari ibu.
Saya tidak bisa meresapi lagu-lagu seperti itu. Setelah sebulan lebih
saya dilahirkan, saya ditemukan oleh seseorang di stasiun kereta api
Xin Zhu. Para polisi yang berada di sekitar stasiun itu kebinggungan
untuk menyusui saya. Tapi pada akhirnya, mereka bisa menemukan seorang
ibu yang bisa menyusui saya. Kalau bukan karena dia, saya pasti sudah
menanggis dan sakit. Setelah saya selesai disusui dan tertidur dengan
tenang, para polisi pelan-pelan membawa saya ke De Lan Center di
kecamatan Bao Shan kabupaten Xin Zhu. Hal ini membuat para biarawati
yang sepanjang hari tertawa ria akhirnya pusing tujuh keliling.
Saya tidak pernah melihat ibu saya. Semasa kecil saya hanya tahu kalau
saya dibesarkan oleh para biarawati. Pada malam hari, di saat
anak-anak yang lain sedang belajar, saya yang tidak ada kerjaan hanya
bisa menggangu para biarawati. Pada saat mereka masuk ke altar untuk
mengikuti kelas malam, saya juga akan ikut masuk kedalam.
Terkadang saya bermain di bawah meja altar, mengganggu biarawati yang
sedang berdoa dengan membuat wajah-wajah yang aneh. Dan lebih sering
lagi ketiduran sambil bersandar di samping biarawati. Biarawati yang
baik hati itu tidak menunggu kelas berakhir terlebih dahulu, tetapi
dia langsung menggendong saya naik untuk tidur. Saya curiga apakah
mereka menyukai saya karena mereka bisa memanfaatkan kesempatan ini
untuk keluar dari altar.
Walaupun kami adalah anak-anak yang terbuang, tetapi sebagian besar
dari kami masih memiliki keluarga. Pada saat tahun baru ataupun hari
raya, banyak sanak saudara yang datang menjemput. Sedangkan saya,
dimana rumah saya pun saya tidak tahu.
Juga karena inilah para biarawati sangat memperhatikan anak-anak yang
tidak memiliki sanak saudara sehingga mereka tidak memperbolehkan
anak-anak lain menggangu kami. Sejak kecil prestasi saya cukup bagus
dan para biarawati mencarikan banyak pekerja sosial untuk menjadi guru
saya. Kalau dihitung-hitung sudah cukup banyak yang menjadi pengajar
saya. Mereka adalah lulusan dan dosen dari universitas Jiao dan
universitas Qing, lembaga penelitian, dan insinyur. Guru yang
mengajarkan saya IPA pada tahun sebelumnya adalah seorang mahasiswa
dan sekarang dia telah menjadi asisten dosen. Guru yang mengajari saya
Bahasa Inggris adalah seorang yang jenius. Tidak heran sejak kecil
kemampuan saya dalam berbahasa Inggris sudah bagus.
Para biarawati juga memaksa saya untuk belajar piano. Semenjak kelas 4
SD, saya telah menjadi pianis di gereja dan pada saat misa saya yang
bertanggung jawab untuk bermain piano. Karena didikan yang saya
dapatkan di gereja, kemampuan berbicara saya pun juga bagus. Di
sekolah saya sering mengikuti lomba berpidato, pernah juga menjadi
perwakilan alumni untuk mengikuti debat.
Tetapi saya sama sekali tidak pernah mendapatkan peran yang penting
dalam acara peringatan hari ibu..
Walaupun saya suka memainkan piano tetapi saya mempunyai satu prinsip.
Saya tidak akan memainkan lagu-lagu yang berhubungan dengan hari ibu,
kecuali jika ada orang yang memaksa saya. Tetapi tetap saja saya tidak
akan memainkan lagu-lagu tersebut atas dasar keinginan saya sendiri.
Terkadang saya pernah berpikir, siapakah ibu saya? Saat membaca novel,
saya menebak bahwa saya adalah anak haram, ayah meninggalkan ibu dan
ibu yang masih muda akhirnya membuang saya.
Mungkin karena kepintaran saya yang cukup bagus, ditambah lagi dengan
adanya bantuan dari pengajar yang sepenuh hati membantu, saya dengan
lancar bisa lolos ujian masuk jurusan arsitektur di Universitas Xin
Zhu. Saya menyelesaikan kuliah sambil bekerja sambilan. Biarawati Sun
yang membesarkan saya terkadang datang mengunjungi saya. Jika
teman-teman kuliah saya yang bandel-bandel itu melihat biarawati Sun,
mereka akan langsung berubah menjadi kalem. Banyak teman-teman saya
yang setelah mengetahui latar belakang saya, datang menghibur saya.
Mereka juga mengakui, bahwa saya mempunyai pembawaan yang baik,
dikarenakan saya dibesarkan oleh para biarawati
Saat wisuda, orang tua dari mahasiswa lain semua berdatangan,
sedangkan keluarga saya satu-satunya yang hadir hanya biarawati Sun.
Kepala jurusan saya bahkan meminta biarawati Sun untuk foto bersama.
Di masa wajib militer, saya kembali ke De Lan Center. Tiba-tiba saja
di hari itu biarawati Sun ingin membicarakan hal yang serius dengan
saya. Dia mengambil sebuah amplop surat dari raknya dan dia
mempersilahkan saya untuk melihat isi-isi dari amplop surat itu.
Di dalam amplop surat itu, terdapat dua lembar tiket kereta.
Biarawati Sun berkata pada saya bahwa pada saat polisi mengantar saya
ke tempat ini, dalam baju saya terselip dua lembar tiket perjalanan
dari tempat tinggal asal ibu saya menuju stasiun Xin Zhu.
Tiket pertama adalah tiket bus dari salah satu tempat di bagian
selatan menuju ke Ping Dong. Dan tiket yang satunya lagi adalah tiket
kereta api dari Ping Dong ke Xin Zhu. Ini adalah tiket kereta api yang
lambat. Dari situ saya baru tahu bahwa ibu kandung saya bukanlah orang
yang berada.
Biarawati Sun mengatakan pada saya bahwa mereka biasanya tidak suka
mencari latar belakang dari bayi-bayi yang telah ditinggalkan. Oleh
karena itu, mereka menyimpan dua tiket kereta ini dan memutuskan untuk
memberikannya pada saat saya sudah dewasa.
Mereka telah lama mengamati saya dan pada akhirnya mereka menyimpulkan
bahwa saya adalah orang yang rasional. Jadi seharusnya saya mempunyai
kemampuan untuk mengatasi masalah ini. Mereka pernah pergi ke kota
kecil ini dan menemukan bahwa jumlah penduduk kota kecil itu tidak
banyak. Jadi jika saya benar-benar ingin mencari keluarga saya,
seharusnya saya tidak akan menemui kesulitan.
Saya selalu terpikir untuk bertemu dengan orang tua saya. Tetapi
setelah memegang dua tiket ini, mulai timbul keraguan dalam hati saya.
Saya sekarang hidup dengan baik, mempunyai ijazah lulusan S1, dan
bahkan memiliki seorang teman wanita akan menjadi teman hidup saya.
Mengapa saya harus melihat ke masa lalu? Mencari masa lalu yang
benar-benar asing bagi saya. Lagi pula besar kemungkinan kenyataan
yang didapatkan adalah hal yang tidak menyenangkan.
Biarawati Sun justru mendukung saya untuk pergi ke kota asal ibu saya.
Dia menggangap kalau saya akan memiliki masa depan yang cerah.
Jika teka-teki tentang asal-usul kelahiran saya tidak dijadikan alasan
sebagai bayangan gelap dalam diri saya, dia terus membujuk diri saya
untuk memikirkan kemungkinan terburuk yang akan saya hadapi, yang
seharusnya tidak akan menggoyahkan kepercayaan diri saya terhadap masa
depan saya.
Saya akhirnya berangkat ke kota yang berada di daerah pegunungan, yang
bahkan tidak pernah saya dengar namanya. Dari kota Ping Dong saya
harus naik kereta api selama satu jam lebih untuk tiba di sana.
Saat musim dingin, walaupun berada di daerah selatan, di kota ini
hanya terdapat satu kantor polisi, satu pos kota, satu Sekolah Dasar,
dan satu Sekolah Menengah Pertama, selain itu tidak ada lagi gedung
yang lainnya.
Saya bolak-balik ke kantor polisi dan pos kota untuk mencari data
kelahiran saya. Akhirnya saya menemukan dua dokumen yang berhubungan
dengan diri saya. Dokumen pertama adalah data mengenai kelahiran
seorang anak laki-laki. Dokumen kedua adalah data laporan kehilangan
anak. Hilangnya anak itu adalah di saat hari kedua saya dibuang satu
bulan lebih setelah saya dilahirkan. Menurut keterangan dari
biarawati, saya ditemukan di stasiun Xin Zhu. Sepertinya saya sudah
menemukan data-data kelahiran saya.
Sekarang masalahnya adalah ayah saya telah meninggal dunia dan ibu
saya juga telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu. Saya
mempunyai seorang kakak laki-laki. Kakak saya telah meninggalkan kota
dan tidak tahu ke mana perginya.
Karena ini adalah kota kecil, maka semua orang saling mengenal.
Seorang polisi tua di kantor polisi memberitahu saya, bahwa ibu saya
selalu bekerja di SMP. Dia lalu membawa saya menemui kepala SMP itu.
Kepala sekolah itu adalah seorang wanita dan beliau menyambut saya
dengan ramah. Dia membenarkan bahwa ibu saya pernah bekerja di sini.
Dan beliau sangat baik hati, sedangkan ayah saya adalah orang yang
sangat malas. Saat pria yang lain pergi ke kota untuk mencari
pekerjaan, hanya ayah yang tidak mau pergi. Di kota kecil, ayah hanya
bekerja sebagai pekerja musiman. Padahal di dalam kota sama sekali
tidak ada pekerjaan yang bisa dia kerjakan.
Oleh karena itu, seumur hidup dia hanya mengandalkan ibu saya yang
bekerja sebagai pekerja kasar. Karena tidak memiliki pekerjaan,
suasana hatinya menjadi sangat tidak baik. Jadi seringkali dia mabuk-
mabukan. Dan setelah mabuk, terkadang ayah memukul ibu atau kakak
saya. Walaupun setelah itu ayah merasa menyesal, kebiasaan buruk ini
sangat susah untuk diubah. Ibu dan saudara saya terusik seumur hidup
olehnya. Pada saat kakak duduk di kelas dua SMP, dia kabur dari rumah
dan semenjak saat itu ayah tidak pernah kembali lagi.
Sepengetahuan ibu kepala sekolah, ibu itu memiliki anak kedua. Namun
setelah berumur satu bulan lebih, secara misterius anak itu menghilang
begitu saja. Saat ibu kepala sekolah tahu bahwa saya dibesarkan di
sebuah panti asuhan di daerah utara, beliau mulai menanyakan banyak
hal kepada saya dan saya menjelaskannya satu per satu.
Beliau mulai tergerak hatinya dan kemudian mengeluarkan selembar
amplop surat. Amplop ini ditinggalkan ibu saya sebelum ibu meninggal
dan ditemukan di samping bantalnya. Kepala sekolah berpikir bahwa di
dalamnya pasti terdapat barang-barang yang bermakna. Oleh karena itu,
dia menyimpannya dan menunggu sampai ada keluarganya yang datang
mengambil.
Dengan tangan yang gemetar, saya membuka amplop itu. Dalam amplop itu
berisi tiket kereta api. Semua itu adalah tiket-tiket perjalanan dari
kota kecil di bagian selatan ini menuju kecamatan Bao Shan kabupaten
Xin Zhu, dan semuanya disimpan dengan baik. Kepala sekolah memberitahu
saya bahwa setiap setengah tahun sekali, ibu saya pergi ke daerah di
bagian utara untuk menemui salah satu saudaranya.
Namun, tidak ada satu orangpun yang mengenal siapa saudara itu.
Mereka hanya merasa bahwa setiap ibu saya kembali dari sana, suasana
hatinya menjadi sangat baik.
Ibu saya menganut agama Budha di hari tuanya. Hal yang paling
membanggakan baginya adalah ia berhasil membujuk beberapa orang kaya
beragama Budha untuk mengumpulkan dana sebesar NT 1.000.000 yang
disumbangkan ke panti asuhan yang dikelola oleh agama Katolik. Pada
hari penyerahan dana, ibu saya juga ikut hadir.
Saya merasa merinding seketika. Pada suatu kali, ada satu bus
pariwisata yang membawa para penganut agama Budha yang berasal dari
daerah selatan. Mereka membawa selembar cek bernilai NT 1.000.000
untuk disumbangkan ke De Lan Center.
Para biarawati sangat berterimakasih dan mereka mengumpulkan semua
anak-anak untuk berfoto bersama para penyumbang. Pada saat itu, saya
yang sedang bermain basket. Saya juga ikut dipanggil dan dengan tidak
rela, saya pun ikut berfoto bersama mereka. Sekarang saya menemukan
foto itu di dalam amplop ini. Saya meminta orang untuk menunjukkan
yang mana ibu saya. Saya tersentak seketika. Yang lebih membuat saya
terharu adalah di dalamnya terdapat foto kenangan- kenangan wisuda
saya yang telah difotokopi. Foto itu adalah foto saya bersama
teman-teman saya yang sedang mengenakan topi toga. Saya juga termasuk
di dalam foto itu. Ibu saya, walaupun telah membuang saya, tetap
datang mengunjungi saya. Mungkin saja dia juga menghadiri acara wisuda
saya.
Dengan suara tenang, kepala sekolah berkata, "Kamu seharusnya
berterima kasih pada ibumu.
Dia membuangmu demi mencarikanmu lingkungan hidup yang lebih baik.
Jika kamu tetap tinggal di sini, bisa-bisa kamu hanya lulus SMP, lalu
pergi ke kota mencari kerja. Di sini hampir tidak ada orang yang
mengecap pendidikan SMU. Lebih gawatnya lagi, jika kamu tidak tahan
terhadap pukulan dan amarah ayahmu setiap hari, bisa-bisa kamu seperti
kakakmu yang kabur dari rumah dan tidak pernah kembali lagi." Kepala
sekolah kemudian memanggil guru yang lain untuk menceritakan hal-hal
tentang saya.
Semuanya mengucapkan selamat karena saya bisa lulus dari Universitas
Guo Li. Ada seorang guru yang berkata, bahwa di sini belum ada murid
yang berhasil masuk ke Universitas Guo Li.
Saya tiba-tiba tergerak untuk melakukan sesuatu. Saya bertanya kepada
kepala sekolah apakah di dalam sekolah ada piano. Beliau berkata bahwa
pianonya bukan piano yang cukup bagus, tetapi terdapat organ yang
masih baru. Saya membuka tutup piano dan menghadap matahari di luar
jendela dan saya memainkan satu per satu lagu tentang ibu. Saya ingin
orang-orang tahu, walaupun saya dibesarkan di panti asuhan tetapi saya
bukanlah yatim piatu karena saya memiliki para biarawati yang baik
hati dan senantiasa mendidik saya.
Mereka bagaikan ibu yang membesarkan saya, mengapa saya tidak bisa
menganggap mereka selayaknya ibu saya sendiri? Dan juga ibu saya
selalu memperhatikan saya. Ketegasan dan pengorbanannya lah yang
membuat saya memiliki lingkungan hidup yang baik dan masa depan yang
gemilang.
Prinsip yang saya tetapkan telah dilenyapkan. Saya bukan saja bisa
memainkan lagu peringatan hari ibu, tetapi saya juga bisa
menyanyikannya. Kepala sekolah dan para guru juga ikut bernyanyi.
Suara piano juga tersebar ke seluruh sekolah dan suara piano saya
pasti berkumandang sampai ke lembah. Di senja hari ini, penduduk-
penduduk di kota kecil akan bertanya, "Kenapa ada orang yang memainkan
lagu tentang ibu?" Bagi saya hari ini adalah hari ibu.
Sebuah amplop yang dipenuhi tiket kereta api membuat saya untuk
selamanya tidak takut untuk memperingati hari ibu.
Ini adalah sebuah kisah nyata dari rektor Universitas Ji Nan yang
bernama Li Jia Tong.
Sumber : Milis Airputih (airputih@yahoogroups.com)
KESOMBONGAN KITA
Di tengah-tengah sebuah training yang saya ikuti, sang trainer memberikan arahannya.
"Letakkan kedua tangan kalian di dada kalian masing-masing!" seorang trainer memulai instruksinya.
"Letakkan, trus, dan rapat hingga kalian merasakan detak jantung kalian masing-masing!" lanjut beliau.
Aku pun menuruti kata-katanya, kuletakkan kedua tanganku perlahan ke atas dadaku.
Kucari-cari sebentar, dan akhirnya terasalah detak jantungku.
Aku pun menunggu instruksi selanjutnya.
"Letakkan dan rasakan detak jantung Anda..!!" begitu instruksi beliau, "Jika sudah terasa, sekarang katakan kepada jantung Anda, Berhenti..!!"
Aku pun agak bingung dengan instruksi tersebut namun tak urung kulakukan juga.
"Katakan, dan perintahkan kepada jantung Anda untuk berhenti!, katakan pada ia untuk berhenti!!"
"Tidak mungkin!!' teriakku dalam hati, "Tidak mungkin bisa!!"
entah, apakah trainer tersebut mendengar apa yang kami rasakan, ia pun melanjutkan kata-katanya..
"Lihatlah.. rasakanlah..!! bahkan jantung kita pun bukan milik kita...!!",
Seketika itu pula, Degg, diri ini kontan tersadar apa maksud dari semua ini.
Ya Rabb,begitu sering diri ini lupa, bahkan jantung, apa yang ada di dalam diri kita ini sekalipun.. bukan milik kita.
***
Ah, padahal begitu sering kita merasa bahwa kita ada diatas segala-galanya.
Seringkali manusia memandang orang lain lebih rendah, lebih buruk, lebih jelek, ataupun pandangan-pandangan yang semacamnya.
Sering kali pula manusia merasa sangat berkuasa, seolah-olah hidup dan mati orang lain berada di tangannya, tanpa sadar bahwa hidupnya sendiri sekalipun, atau bahkan tubuh nya sendiri pun, bukanlah miliknya...
Seorang teman bercerita tentang dirinya.
Ia seorang mahasiswa di Ilmu komputer.
Pernah suatu ketika, ia sedang menyelesaikan sebuah tugas program yang dirasa cukup sulit.
Saking sulitnya seolah-olah tak banyak dari teman sekelasnya yang bisa mengerjakan.
Ketika ia benar-benar selesai mengerjakan program tersebut, entah karena gembira atau apa, ia pun langsung ber pekik, "Saya Pintar..!!"
Kontan teman disebelahnya langsung menepuk teman ini dengan keras. `Pak!!'
Teman yang memukul ini pun berkata, "Kamu jangan sombong, apa yang kamu miliki ini tidak ada apa-apanya..!, ini semata-mata dari Allah SWT"
Kontan teman yang satu ini pun terdiam, ia beristighfar...
Teman, akankah kita menunggu sebuah pukulan keras dari sang Pencipta untuk menyadarkan kita?
Sungguh, sekali-kali kita tidak akan dibiarkan dengan kesombongan kita..
Titanic, kapal terbesar di era awal abad ke 20. mampu mengangkut 3000 penumpang dari Inggris ke Amerika Serikat.
Memiliki teknologi tercanggih saat itu.
Sebuah contoh kesombongan ummat manusia dari perkataan pemiliknya,
"Jangankan tujuh samudera, bahkan Tuhan pun tidak akan mampu menenggelamkan kapal ini!"
Maka di sebuah malam yang dingin, di pelayaran perdananya, kapal ini menabrak sebuah gunung Es.
Kapal besar ini pun tenggelam membawa ribuan penumpangnya, beserta kesombongan yang dibawanya..
Begitulah ketika sang pencipta ingin menunjukkan kekuasaanNya atas manusia.
Untuk menyadarkan bahwa betapa kecil sebenarnya manusia.
Betapa lemah dan tak berdaya-nya seorang manusia.
Lantas jika begini, sampai kapan kita harus menunggu kehancuran karena kesombongan kita?
Akankah kita menunggu datangnya adzab untuk menyadarkan kita?
Paman saya pernah mengatakan, bahwa kehancuran manusia ada pada saat ia mulai sombong dengan apa yang dimilikinya.
Ketika manusia berada pada titik tersebut, maka Allah akan membalik keadaannya.
Sumber: Milis Airputih (airputih@yahoogroups.com)
"Letakkan kedua tangan kalian di dada kalian masing-masing!" seorang trainer memulai instruksinya.
"Letakkan, trus, dan rapat hingga kalian merasakan detak jantung kalian masing-masing!" lanjut beliau.
Aku pun menuruti kata-katanya, kuletakkan kedua tanganku perlahan ke atas dadaku.
Kucari-cari sebentar, dan akhirnya terasalah detak jantungku.
Aku pun menunggu instruksi selanjutnya.
"Letakkan dan rasakan detak jantung Anda..!!" begitu instruksi beliau, "Jika sudah terasa, sekarang katakan kepada jantung Anda, Berhenti..!!"
Aku pun agak bingung dengan instruksi tersebut namun tak urung kulakukan juga.
"Katakan, dan perintahkan kepada jantung Anda untuk berhenti!, katakan pada ia untuk berhenti!!"
"Tidak mungkin!!' teriakku dalam hati, "Tidak mungkin bisa!!"
entah, apakah trainer tersebut mendengar apa yang kami rasakan, ia pun melanjutkan kata-katanya..
"Lihatlah.. rasakanlah..!! bahkan jantung kita pun bukan milik kita...!!",
Seketika itu pula, Degg, diri ini kontan tersadar apa maksud dari semua ini.
Ya Rabb,begitu sering diri ini lupa, bahkan jantung, apa yang ada di dalam diri kita ini sekalipun.. bukan milik kita.
***
Ah, padahal begitu sering kita merasa bahwa kita ada diatas segala-galanya.
Seringkali manusia memandang orang lain lebih rendah, lebih buruk, lebih jelek, ataupun pandangan-pandangan yang semacamnya.
Sering kali pula manusia merasa sangat berkuasa, seolah-olah hidup dan mati orang lain berada di tangannya, tanpa sadar bahwa hidupnya sendiri sekalipun, atau bahkan tubuh nya sendiri pun, bukanlah miliknya...
Seorang teman bercerita tentang dirinya.
Ia seorang mahasiswa di Ilmu komputer.
Pernah suatu ketika, ia sedang menyelesaikan sebuah tugas program yang dirasa cukup sulit.
Saking sulitnya seolah-olah tak banyak dari teman sekelasnya yang bisa mengerjakan.
Ketika ia benar-benar selesai mengerjakan program tersebut, entah karena gembira atau apa, ia pun langsung ber pekik, "Saya Pintar..!!"
Kontan teman disebelahnya langsung menepuk teman ini dengan keras. `Pak!!'
Teman yang memukul ini pun berkata, "Kamu jangan sombong, apa yang kamu miliki ini tidak ada apa-apanya..!, ini semata-mata dari Allah SWT"
Kontan teman yang satu ini pun terdiam, ia beristighfar...
Teman, akankah kita menunggu sebuah pukulan keras dari sang Pencipta untuk menyadarkan kita?
Sungguh, sekali-kali kita tidak akan dibiarkan dengan kesombongan kita..
Titanic, kapal terbesar di era awal abad ke 20. mampu mengangkut 3000 penumpang dari Inggris ke Amerika Serikat.
Memiliki teknologi tercanggih saat itu.
Sebuah contoh kesombongan ummat manusia dari perkataan pemiliknya,
"Jangankan tujuh samudera, bahkan Tuhan pun tidak akan mampu menenggelamkan kapal ini!"
Maka di sebuah malam yang dingin, di pelayaran perdananya, kapal ini menabrak sebuah gunung Es.
Kapal besar ini pun tenggelam membawa ribuan penumpangnya, beserta kesombongan yang dibawanya..
Begitulah ketika sang pencipta ingin menunjukkan kekuasaanNya atas manusia.
Untuk menyadarkan bahwa betapa kecil sebenarnya manusia.
Betapa lemah dan tak berdaya-nya seorang manusia.
Lantas jika begini, sampai kapan kita harus menunggu kehancuran karena kesombongan kita?
Akankah kita menunggu datangnya adzab untuk menyadarkan kita?
Paman saya pernah mengatakan, bahwa kehancuran manusia ada pada saat ia mulai sombong dengan apa yang dimilikinya.
Ketika manusia berada pada titik tersebut, maka Allah akan membalik keadaannya.
Sumber: Milis Airputih (airputih@yahoogroups.com)
KADO BAGI KEHIDUPAN
Kepuasan terbesar dalam hidup adalah
berhasil melakukan sesuatu yang orang lain
kira Anda tak mampu melakukannya
Walter Bagehot
Penulis, jurnalis Inggris
(1826-1877)
Usia kita di dunia ini tak panjang. Orang jaman sekarang, tak banyak yang bisa hidup sampai seratus tahun. Dari sedikit waktu itu, sejarah kehidupan kita di dunia terukir. Kelak, orang akan mengenangkan kita setelah mati dengan prestasi-prestasi yang pernah kita capai. Atau bisa pula banyak orang justru akan mengenang keburukan perilaku kita semasa hidup di dunia ini. Semua itu tergantung dari apa yang kita perbuat, apa yang kita lakukan.
Tujuan hidup memang bukan untuk dikenangkan, bukan pula untuk menjadi seorang pahlawan. Tetapi, ketika kita melakukan sesuatu, sekecil apapun untuk kebaikan dunia ini, kebaikan alam, kebaikan sesama manusia, disitulah sejarah kepahlawanan muncul dengan sendirinya. Orang akan mencatat dalam ingatan, bahkan dalam buku-buku yang nantinya menjadi pembelajaran anak-anak cucu kita di sekolah-sekolah. Kepahlawanan akan datang secara otomatis ketika orang berbuat kebaikan yang langka, ketika orang lain tak mampu dan tak mampu mengerjakannya.
Kita, memang tak perlu terlalu berambisi mencari identitas kepahlawanan. Ia akan datang seiring dengan ketulusan sikap serta ketulusan perilaku manusia untuk rela berkorban kepada sesamanya. Naluri kemanusiaan yang akan menuntunnya. Memberikan yang terbaik dari yang ia punyai, entah berupa harta, tenaga maupun pikiran untuk sebuah kehidupan, ya kehidupan di dunia ini.
Seperti yang dilakukan oleh lelaki yang satu ini.
Saya mengenalnya sekitar satu tahun lamanya. Riwayat hidupnya cukup unik. Setamat STM, ia bekerja sebagai tukang las, kemudian tukang cetak. Karena tak punya cukup uang untuk meneruskan kuliah, sementara semangat belajarnya tinggi, ia masuk ke Universitas Terbuka. Dengan ijasah S1 UT, nekat mengikuti program S2 di luar negeri. Empat kali gagal, baru kali kelima berhasil yang kemudian mengantarkannya belajar manajemen pendidikan di Inggris. Sepulang dari sana, bekerja menjadi karyawan sebuah instansi pendidikan, menjadi PNS pada sebuah Universitas. Karena punya cukup kapasitas secara keilmuan, kemudian diperbantukan untuk mengajar di program studi Bisnis Internasional. Sejak itu, nasib hidupnya mulai berubah.
Ia juga suka menulis. Tiga buku pengembangan diri berhasil ditulisanya. Atas pengalaman tersebut, saya dan beberapa kawan dari Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Purwokerto mengundangnya untuk memotivasi anggota untuk lebih giat menulis lagi. Dari forum itulah saya mendapatkan banyak pelajaran darinya. Seperti pendapatnya tentang seorang penulis sukses. Menurutnya, penulis sukses adalah ketika “Hari ini menulis”.
Sementara saya juga terkesan dengan kata-katanya “Berikan sesuatu pada kehidupan, niscaya kehidupan akan mencukupimu”. Kata-kata itu berawal ketika ia sudah menulis banyak artikel di koran lokal sementara satu rupiahpun tak pernah dibayarkan. Ia menerima dengan ikhlas saja, walau sebenarnya tak etis sebuah perusahaan media tak membayarkan honor kepada penulis. Yang ada dalam pikirannya, hanya ilmu yang ia punyai, maka diapun berikan ilmunya kepada orang lain. Alhamdulillah, dengan ketulusan dan itikat baik memberikan sesuatu pada kehidupan, akhirnya dari dua bukunya saja hasilnya melebihi gajinya selama satu tahun. Kini menyusul buku ketiga dan keempatnya.
Diam-diam, saya salut terhadapnya
Dan, mulai berpikir tentang kado terbaik
yang bisa saya berikan bagi kehidupan ini...
Sumber: Milis Airputih (airputih@yahoogroups.com)
berhasil melakukan sesuatu yang orang lain
kira Anda tak mampu melakukannya
Walter Bagehot
Penulis, jurnalis Inggris
(1826-1877)
Usia kita di dunia ini tak panjang. Orang jaman sekarang, tak banyak yang bisa hidup sampai seratus tahun. Dari sedikit waktu itu, sejarah kehidupan kita di dunia terukir. Kelak, orang akan mengenangkan kita setelah mati dengan prestasi-prestasi yang pernah kita capai. Atau bisa pula banyak orang justru akan mengenang keburukan perilaku kita semasa hidup di dunia ini. Semua itu tergantung dari apa yang kita perbuat, apa yang kita lakukan.
Tujuan hidup memang bukan untuk dikenangkan, bukan pula untuk menjadi seorang pahlawan. Tetapi, ketika kita melakukan sesuatu, sekecil apapun untuk kebaikan dunia ini, kebaikan alam, kebaikan sesama manusia, disitulah sejarah kepahlawanan muncul dengan sendirinya. Orang akan mencatat dalam ingatan, bahkan dalam buku-buku yang nantinya menjadi pembelajaran anak-anak cucu kita di sekolah-sekolah. Kepahlawanan akan datang secara otomatis ketika orang berbuat kebaikan yang langka, ketika orang lain tak mampu dan tak mampu mengerjakannya.
Kita, memang tak perlu terlalu berambisi mencari identitas kepahlawanan. Ia akan datang seiring dengan ketulusan sikap serta ketulusan perilaku manusia untuk rela berkorban kepada sesamanya. Naluri kemanusiaan yang akan menuntunnya. Memberikan yang terbaik dari yang ia punyai, entah berupa harta, tenaga maupun pikiran untuk sebuah kehidupan, ya kehidupan di dunia ini.
Seperti yang dilakukan oleh lelaki yang satu ini.
Saya mengenalnya sekitar satu tahun lamanya. Riwayat hidupnya cukup unik. Setamat STM, ia bekerja sebagai tukang las, kemudian tukang cetak. Karena tak punya cukup uang untuk meneruskan kuliah, sementara semangat belajarnya tinggi, ia masuk ke Universitas Terbuka. Dengan ijasah S1 UT, nekat mengikuti program S2 di luar negeri. Empat kali gagal, baru kali kelima berhasil yang kemudian mengantarkannya belajar manajemen pendidikan di Inggris. Sepulang dari sana, bekerja menjadi karyawan sebuah instansi pendidikan, menjadi PNS pada sebuah Universitas. Karena punya cukup kapasitas secara keilmuan, kemudian diperbantukan untuk mengajar di program studi Bisnis Internasional. Sejak itu, nasib hidupnya mulai berubah.
Ia juga suka menulis. Tiga buku pengembangan diri berhasil ditulisanya. Atas pengalaman tersebut, saya dan beberapa kawan dari Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Purwokerto mengundangnya untuk memotivasi anggota untuk lebih giat menulis lagi. Dari forum itulah saya mendapatkan banyak pelajaran darinya. Seperti pendapatnya tentang seorang penulis sukses. Menurutnya, penulis sukses adalah ketika “Hari ini menulis”.
Sementara saya juga terkesan dengan kata-katanya “Berikan sesuatu pada kehidupan, niscaya kehidupan akan mencukupimu”. Kata-kata itu berawal ketika ia sudah menulis banyak artikel di koran lokal sementara satu rupiahpun tak pernah dibayarkan. Ia menerima dengan ikhlas saja, walau sebenarnya tak etis sebuah perusahaan media tak membayarkan honor kepada penulis. Yang ada dalam pikirannya, hanya ilmu yang ia punyai, maka diapun berikan ilmunya kepada orang lain. Alhamdulillah, dengan ketulusan dan itikat baik memberikan sesuatu pada kehidupan, akhirnya dari dua bukunya saja hasilnya melebihi gajinya selama satu tahun. Kini menyusul buku ketiga dan keempatnya.
Diam-diam, saya salut terhadapnya
Dan, mulai berpikir tentang kado terbaik
yang bisa saya berikan bagi kehidupan ini...
Sumber: Milis Airputih (airputih@yahoogroups.com)
KISAH LELAKI TUA DI AMERIKA
Ada laki-laki tua, seorang Muslim Amerika yang tinggal di sebuah tanah
pertanian di pegunungan sebelah Timur Kentucky. Dia tinggal besama
seorang cucu laki-lakinya yang masih muda.
Setiap pagi-pagi sekali, Sang Kakek duduk di meja dapur sambil membaca Al Qur'an.
Cucu lelakinya sangat ingin menjadi seperti Kakeknya dan mencoba meniru segala yang dilakukannya.
Suatu hari cucunya bertanya, "Kakek, aku mencoba untuk membaca Qur'an seperti dirimu. Tetapi aku tidak memahaminya, dan seringkali apa yang harus kumengerti langsung terlupa begitu aku menutup buku (Qur'an) itu.
Apa yang sebaiknya kulakukan, ketika aku membaca Qur'an?"
Sang kakek terdiam sambil memindahkan bongkahan batubara dari keranjang ke dalam kompornya, dan mulai menjawab,
"Bawalah keranjang batubara ini turun ke sungai dan bawakan aku sekeranjang air."
Anak lelaki itu melakukan perintahnya, tetapi tentu saja air yang dibawanya bocor keluar sebelum ia sempat kembali ke rumah.
Sang Kakek tertawa dan berkata, " Lain kali kamu harus bergerak agak cepat," dan menyuruh cucunya kembali ke sungai untuk mencoba kembali membawa air dalam keranjang.
Sekali ini sang cucu berlari dengan cepat, tetapi lagi-lagi keranjangnya telah kosong sebelum dia kembali ke rumah.
Sambil terenggah-enggah ia berkata kepada kakeknya bahwa tidak mungkin membawa air dalam keranjang, dan lalu dia malah pergi untuk mengambil ember.
Kakeknya berkata," Aku tidak ingin seember air, aku menginginkan sekeranjang air."
Kamu hanya tidak berusaha lebih keras." Lalu Dia pergi ke jendela untuk melihat cucunya mencoba lagi.
Saat ini cucunya tahu bahwa hal itu tidak masuk akal, tetapi dia ingin menunjukkan kepada kakeknya bahwa walaupun ia berlari secepat yang dia bisa, airnya akan selalu bocor keluar sebelum ia sampai kembali di rumah.
Anak laki-laki itu kembali mengisi keranjang dengan air sungai dan berlari kencang, tetapi ketika ia mencapai kakeknya, keranjang itu telah kosong lagi. Demikianlah yang terjadi berkali-kali.
Sambil terenggah-enggah ia berkata, " Lihatlah Kek, ini sama sekali tidak ada gunanya!"
"Kamu pikir itu tidak ada gunanya?" kata kakeknya, "Lihatlah keranjang itu."
Anak itu melihat keranjangnya dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa keranjangnya tampak berbeda.
Keranjangnya berganti rupa dari keranjang tua yang sangat kotor menjadi keranjang yang bersih, di luar dan di dalamnya.
"Cucuku, itulah yang terjadi ketika kau membaca Al Qur'an.
Kau tidak memiliki kemampuan untuk mengingat semuanya, tetapi ketika kau membacanya, engkau akan menjadi berubah, di luar dan di dalam.
Itulah perbuatan/kehendak Allah SWT dalam kehidupan kita."
Sumber: Milis Air Putih
Setiap pagi-pagi sekali, Sang Kakek duduk di meja dapur sambil membaca Al Qur'an.
Cucu lelakinya sangat ingin menjadi seperti Kakeknya dan mencoba meniru segala yang dilakukannya.
Suatu hari cucunya bertanya, "Kakek, aku mencoba untuk membaca Qur'an seperti dirimu. Tetapi aku tidak memahaminya, dan seringkali apa yang harus kumengerti langsung terlupa begitu aku menutup buku (Qur'an) itu.
Apa yang sebaiknya kulakukan, ketika aku membaca Qur'an?"
Sang kakek terdiam sambil memindahkan bongkahan batubara dari keranjang ke dalam kompornya, dan mulai menjawab,
"Bawalah keranjang batubara ini turun ke sungai dan bawakan aku sekeranjang air."
Anak lelaki itu melakukan perintahnya, tetapi tentu saja air yang dibawanya bocor keluar sebelum ia sempat kembali ke rumah.
Sang Kakek tertawa dan berkata, " Lain kali kamu harus bergerak agak cepat," dan menyuruh cucunya kembali ke sungai untuk mencoba kembali membawa air dalam keranjang.
Sekali ini sang cucu berlari dengan cepat, tetapi lagi-lagi keranjangnya telah kosong sebelum dia kembali ke rumah.
Sambil terenggah-enggah ia berkata kepada kakeknya bahwa tidak mungkin membawa air dalam keranjang, dan lalu dia malah pergi untuk mengambil ember.
Kakeknya berkata," Aku tidak ingin seember air, aku menginginkan sekeranjang air."
Kamu hanya tidak berusaha lebih keras." Lalu Dia pergi ke jendela untuk melihat cucunya mencoba lagi.
Saat ini cucunya tahu bahwa hal itu tidak masuk akal, tetapi dia ingin menunjukkan kepada kakeknya bahwa walaupun ia berlari secepat yang dia bisa, airnya akan selalu bocor keluar sebelum ia sampai kembali di rumah.
Anak laki-laki itu kembali mengisi keranjang dengan air sungai dan berlari kencang, tetapi ketika ia mencapai kakeknya, keranjang itu telah kosong lagi. Demikianlah yang terjadi berkali-kali.
Sambil terenggah-enggah ia berkata, " Lihatlah Kek, ini sama sekali tidak ada gunanya!"
"Kamu pikir itu tidak ada gunanya?" kata kakeknya, "Lihatlah keranjang itu."
Anak itu melihat keranjangnya dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa keranjangnya tampak berbeda.
Keranjangnya berganti rupa dari keranjang tua yang sangat kotor menjadi keranjang yang bersih, di luar dan di dalamnya.
"Cucuku, itulah yang terjadi ketika kau membaca Al Qur'an.
Kau tidak memiliki kemampuan untuk mengingat semuanya, tetapi ketika kau membacanya, engkau akan menjadi berubah, di luar dan di dalam.
Itulah perbuatan/kehendak Allah SWT dalam kehidupan kita."
Sumber: Milis Air Putih
Sunday, April 1, 2007
YANG JUARA ADIKKU
"Juara pertama kita berikan kepada adik kecil kita, Tita Maharani !" ,
demikian Pengumuman juri lomba lukis kelompok umur balita. Pengumuman
itu serta merta menyemburatkan kebahagiaan kepada sepasang suami isteri
yang tidak menyangka putrinya berhasil meraih penghargaan tertinggi
perlombaan hari itu.
Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar, tiba-tiba raut muka sang ayah menjadi muram. Si isteri pun bertanya, " Tidakkah Abi bahagia, Tita memenangkan lomba ?". , " Abi bahagia sekali ummi, jawab sang ayah, namun tidakkah umi ingat …… Tati, kakak kembarnya juga ikut dalam lomba ini dan sama sekali tidak menang ?, Abi tidak ingin Tati sedih melihat adiknya membawa piala itu." , tambah sang ayah.
Dengan perasaan gembira yang berkurang setengahnya, suami isteri itu mencium kedua putri kembarnya. "Selamat yah dik, Kakak., Abi dan Umi bangga sama kalian". Lalu, berempat mereka melangkah ke podium untuk menerima piala. Dua putri kecil itu terlihat bahagia memegang piala milik sang adik tersebut.
Usai menuruni podium, sang suami membawa piala tersebut entah kemana. Sementara sang istri menuntun dua putri kembar mereka kembali ke tempat duduknya. Perlahan tapi pasti, sang isteri mencoba merangkai kata " Hari ini Adik juara lomba, percayalah, kakak juga akan dapat piala yang sama. Karena selama ini kakak sayang sama Adik. Kakak mengerti sayang ?" , tanya sang ibu kepada anaknya tersebut. Rasa haru pun menjalar di sisi hatinya. "Iya Mi, Kakak ngerti, jawab sang kakak, Adik jadi juara tapi Kakak juga dapat piala, karena sayang sama Adek." , ujar sang kakak sambil menyungingkan senyum di bibirnya.
Akhirnya, sang suami pun datang membawa dua piala yang sama persis bentuknya. Keduanya menghambur dengan ceria. Entahlah, apakah mereka mengerti arti sebuah JUARA atau tidak ? namun, kita yakin kearifan sang bapak akan menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa saling menghargai kepada dua orang putri kembarnya, melebihi arti JUARA itu sendiri.
"Yang juara adikku ! , Aku dapat piala karena aku sayang sama adikku." , Kata-kata itu selalu terlontar dari bibir sang Kakak setiap kali orang-orang bertanya dan memuji piala yang mereka bawa.
Semoga cerita ini membuahkan hikmah bagi kita semua. Karena biasanya kecerdasan anak kembar tidak selalu sama. Jika tidak arif menyikapinya, bisa menyebabkan salah satunya rendah diri. Wallaahu a'lam (patra)© 2003 www.manajemenqolbu.com***
Vila Sekpim, 17 April 2003 - ManajemenQolbu.Com
Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar, tiba-tiba raut muka sang ayah menjadi muram. Si isteri pun bertanya, " Tidakkah Abi bahagia, Tita memenangkan lomba ?". , " Abi bahagia sekali ummi, jawab sang ayah, namun tidakkah umi ingat …… Tati, kakak kembarnya juga ikut dalam lomba ini dan sama sekali tidak menang ?, Abi tidak ingin Tati sedih melihat adiknya membawa piala itu." , tambah sang ayah.
Dengan perasaan gembira yang berkurang setengahnya, suami isteri itu mencium kedua putri kembarnya. "Selamat yah dik, Kakak., Abi dan Umi bangga sama kalian". Lalu, berempat mereka melangkah ke podium untuk menerima piala. Dua putri kecil itu terlihat bahagia memegang piala milik sang adik tersebut.
Usai menuruni podium, sang suami membawa piala tersebut entah kemana. Sementara sang istri menuntun dua putri kembar mereka kembali ke tempat duduknya. Perlahan tapi pasti, sang isteri mencoba merangkai kata " Hari ini Adik juara lomba, percayalah, kakak juga akan dapat piala yang sama. Karena selama ini kakak sayang sama Adik. Kakak mengerti sayang ?" , tanya sang ibu kepada anaknya tersebut. Rasa haru pun menjalar di sisi hatinya. "Iya Mi, Kakak ngerti, jawab sang kakak, Adik jadi juara tapi Kakak juga dapat piala, karena sayang sama Adek." , ujar sang kakak sambil menyungingkan senyum di bibirnya.
Akhirnya, sang suami pun datang membawa dua piala yang sama persis bentuknya. Keduanya menghambur dengan ceria. Entahlah, apakah mereka mengerti arti sebuah JUARA atau tidak ? namun, kita yakin kearifan sang bapak akan menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa saling menghargai kepada dua orang putri kembarnya, melebihi arti JUARA itu sendiri.
"Yang juara adikku ! , Aku dapat piala karena aku sayang sama adikku." , Kata-kata itu selalu terlontar dari bibir sang Kakak setiap kali orang-orang bertanya dan memuji piala yang mereka bawa.
Semoga cerita ini membuahkan hikmah bagi kita semua. Karena biasanya kecerdasan anak kembar tidak selalu sama. Jika tidak arif menyikapinya, bisa menyebabkan salah satunya rendah diri. Wallaahu a'lam (patra)© 2003 www.manajemenqolbu.com***
Vila Sekpim, 17 April 2003 - ManajemenQolbu.Com
YANG HANYA TERPIKIRKAN
Sore itu cuaca Bandung terasa agak panas. Dalam perjalanan, saya
berhenti di depan sebuah plaza, ingin membeli jajanan sekedar pelepas
lapar dan dahaga. Sambil menunggu pesanan datang, tiba-tiba ada
sekelompok ABG yang menarik perhatian. Biasa… dengan segala kelincahan
dan keriangan remaja seumur mereka, tertawa, berteriak dan saling
dorong. Bahagia sekali. Dan saya yakin, saat ini memori anda juga sedang
bermain mengingat tingkah polah ketika masa-masa itu terlewati, ya kan ?
Tapi bukan sorak-sorainya yang menarik… setelah dilihat dengan seksama, ternyata kebahagiaan itu berasal dari seorang bocah jalanan yang berada di antara mereka. Jika disesuaikan dengan postur tubuhnya, diperirakan berusia kurang lebih empat tahun.
Subhanallah, apa yang mereka lakukan hanya pernah mampir di pikiran saya dan sama sekali tidak menyangka hal itu akan dilakukan oleh mereka (yang kata orang, dunia mereka penuh hura-hura dan buang waktu). Mereka tertawa geli karena baju baru yang mereka belikan lebih besar dari ukuran anak tersebut, tubuhnya jadi tenggelam sampai sebatas lutut. Sementara baju kumal yang tadi dipakai mereka buang ke tong sampah yang berdekatan. Tidak hanya sampai di situ, anak kecil itu digendong beramai-ramai dan dielus-elus penuh kehangatan, tidak sedikitpun terlihat kesan jijik ketika melakukan itu semua. Terakhir, bergantian mereka menggendong dan berpose ceria di setiap bidikan kamera yang ditujukan. Maha Kaya Engkau ya Rabb dengan kasih sayang-Mu.
Ah, pemandangan yang indah itu harus berakhir karena jajanan yang dipesan sudah datang dan masih banyak antrean di belakang mobil yang saya kemudikan. Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini yang masih saja tidak peka dengan kebutuhan saudara-saudaranya.
Wahai adik-adik yang telah memberiku pelajaran berharga ini, semoga Allah memuliakan kalian. Terimakasih.
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”
Ayo Sahabat-sahabat, masih banyak kesempatan buat kita !!!
Oleh: Patra Rina Dewi
--------
Sumber : ManajemenQolbu.Com
Tapi bukan sorak-sorainya yang menarik… setelah dilihat dengan seksama, ternyata kebahagiaan itu berasal dari seorang bocah jalanan yang berada di antara mereka. Jika disesuaikan dengan postur tubuhnya, diperirakan berusia kurang lebih empat tahun.
Subhanallah, apa yang mereka lakukan hanya pernah mampir di pikiran saya dan sama sekali tidak menyangka hal itu akan dilakukan oleh mereka (yang kata orang, dunia mereka penuh hura-hura dan buang waktu). Mereka tertawa geli karena baju baru yang mereka belikan lebih besar dari ukuran anak tersebut, tubuhnya jadi tenggelam sampai sebatas lutut. Sementara baju kumal yang tadi dipakai mereka buang ke tong sampah yang berdekatan. Tidak hanya sampai di situ, anak kecil itu digendong beramai-ramai dan dielus-elus penuh kehangatan, tidak sedikitpun terlihat kesan jijik ketika melakukan itu semua. Terakhir, bergantian mereka menggendong dan berpose ceria di setiap bidikan kamera yang ditujukan. Maha Kaya Engkau ya Rabb dengan kasih sayang-Mu.
Ah, pemandangan yang indah itu harus berakhir karena jajanan yang dipesan sudah datang dan masih banyak antrean di belakang mobil yang saya kemudikan. Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini yang masih saja tidak peka dengan kebutuhan saudara-saudaranya.
Wahai adik-adik yang telah memberiku pelajaran berharga ini, semoga Allah memuliakan kalian. Terimakasih.
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”
Ayo Sahabat-sahabat, masih banyak kesempatan buat kita !!!
Oleh: Patra Rina Dewi
--------
Sumber : ManajemenQolbu.Com
SEBUAH KISAH IRONIS DI IRLANDIA UTARA
Saya ibu terburuk di dunia ini. Oh Tuhan biarlah aku menceritakan hal ini sebelum ajal menjemput.......
20 tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam memberi ia nama Eric. Semakin berkembang semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak/pelayan, namun suami saya Sam mencegah niat buruk saya.
Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun yang kedua setelah melahirkan Eric, saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil, saya menamakannya Angelica. Saya sangat menyanyangi Angelica demikian juga Sam,
seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian
anak yang indah-indah..... tapi tidak demikian dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya melarangnya dengan dalih menghemat keuangan keluarga dan Sam selalu menuruti perkataan saya.
Di saat Angelica berumur 2 tahun Sam meninggal dunia dan pada saat itu Eric sudah berumur 4 tahun. Keluarga kami semakin miskin disertai hutang yang semakin menumpuk. Saya mengambil sebuah keputusan yang membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya itu beserta Eric yang masih tertidur lelap, di gubuk yang terpaksa kami tinggali. Setelah saya menjual rumah untuk melunasi hutang-hutang........
Setahun.....2 tahun.........5 tahun..... 10 tahun ...... telah berlalu. sejak kejadian itu ...Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Ia seorang pendeta di gereja St. Maria. 5 tahun lamanya umur pernikahan kami, dan berkatnya sifat2 saya yang semula pemarah, egois dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit. Saya menjadi lebih sabar
dan penyanyang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami sekolahkan dia di asrama putri perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.
Hingga suatu malam..........
Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. wajahnya agak tampan, ia tampak pucat sekali..... ia melihat ke arah saya sambil tersenyum ia berkata, "Tante, tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada mommy" Setelah mengatakan itu ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya. "Tunggu... sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?" "Nama saya elic tante" Eric......??? Eric....... ya Tuhan kau benar-benar Eric ????? Saya langsung tersentak dan bangun. rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba teirngat kembali kisah ironis yang telah
terjadi dulu kala, seperti pemutaran film lama di kepala saya. Namun baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Dan saya mengambil keputusan untuk mati saja saat itu, yah saya harus mati, mati, mati..........
Se inchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke urat nadi saya, saat itu saya teringat kembali dengan Eric, yah Eric... Eric mommy akan menjemputmu Eric.......
Sore itu saya memarkirkan mobil Civic biru saya di samping sebuah gubuk dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary apa yang yang sebenarnya terjadi Mary???" "Oh Brad .. kau pasti akan membenci saya setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu kala". Tapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak......... Tapi ternyata Tuhan sungguh berbaik hati pada saya, ia memberikan suami yang begitu baik dan pengertian kepada saya......... Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti Brad dari belakang, mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang 2 meter di hadapan
saya. Dan saya mulai ingat betapa gubuk tersebut pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric.......sa.......saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu............
dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka
pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap........ Tidak terlihat apapun juga!!
Perlahan-lahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan
kecil itu, dan saya tidak melihat siapapun di dalamnya......... Hanya sepotong kain butut di atas tanah. Saya mengambilnya dan mengamatinya... air mata saya kembali mengalir, karena saya mengenali potongan kain itu adalah baju butut yang dulu dikenakan Eric
sehari-harinya...........
Beberapa saat kemudian dengan perasaan yang sulit dilukiskan saya pun keluar dari ruangan itu..... air mata saya mengalir dengan deras dan saat itu saya hanya diam saja. Saat saya dan Brad mulai naik ke mobil, meninggalkan tempat tersebut, saya melihat seseorang di belakang mobil kami dan saya sempat kaget karena keadaan saat itu sudah gelap, dan terlihat wajah orang itu begitu kotor, ternyata seorang wanita tua..... kembali saya
tersentak kaget ketika ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.... "Hei!! siapa kamu, dan mau apa kamu kemari!" Dengan memberanikan diri sayapun bertanya, "Bibi apa kamu kenal dengan seorang anak bernama Eric, ia dulu tinggal di sini!" Ia ,"kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk." "Tahukah kamu 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini. Ia terus menunggu dan memanggil mommy...... mommy, karena tidak tega saya terkadang memberinya makanan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Meskipun saya orang miskin dan pekerjaan saya mengumpulkan sampah namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu. Sampai tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini, ia belajar menulis setiap harinya selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu ..................."
Sayapun membaca kertas itu..."Mommy mengapa mommy tidak pernah kembali lagi..... mommy marah sama eric yah... mom biarlah eric yang pergi saja, tapi mommy harus berjanji kalau mommy tidak akan marah sama eric lagi. Bye Mom..."
Saya menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan di mana dia sekarang??? Saya akan sangat menyanyanginya sekarang. saya tidak akan meninggalkannya lagi bu... tolong katakan!! Brad memeluk saya yang bergetar keras..."
"Nyonya semua sudah terlambat, (dengan nada melembut), sehari sebelum nyonya datang
eric telah meninggal dunia. ia meninggal di belakang gubuk ini". "Tubuhnya sangat kurus , ia sangat lemah. hanya demi menunggumu ia terus bertahan di belakang gubuk ini,
tanpa berani masuk ke dalam gubuk ini. Ia takut apabila mommy-nya datang akan pergi lagi bila melihat ia disana ... Ia hanya berharap dapat melihat mommy-nya dari belakang gubuk
ini...... meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu nyonya di sana". "Nyonya dosa anda tidak terampunkan!"
Saya langsung pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi...!!
20 tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam memberi ia nama Eric. Semakin berkembang semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak/pelayan, namun suami saya Sam mencegah niat buruk saya.
Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun yang kedua setelah melahirkan Eric, saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil, saya menamakannya Angelica. Saya sangat menyanyangi Angelica demikian juga Sam,
seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian
anak yang indah-indah..... tapi tidak demikian dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya melarangnya dengan dalih menghemat keuangan keluarga dan Sam selalu menuruti perkataan saya.
Di saat Angelica berumur 2 tahun Sam meninggal dunia dan pada saat itu Eric sudah berumur 4 tahun. Keluarga kami semakin miskin disertai hutang yang semakin menumpuk. Saya mengambil sebuah keputusan yang membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya itu beserta Eric yang masih tertidur lelap, di gubuk yang terpaksa kami tinggali. Setelah saya menjual rumah untuk melunasi hutang-hutang........
Setahun.....2 tahun.........5 tahun..... 10 tahun ...... telah berlalu. sejak kejadian itu ...Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Ia seorang pendeta di gereja St. Maria. 5 tahun lamanya umur pernikahan kami, dan berkatnya sifat2 saya yang semula pemarah, egois dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit. Saya menjadi lebih sabar
dan penyanyang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami sekolahkan dia di asrama putri perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.
Hingga suatu malam..........
Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. wajahnya agak tampan, ia tampak pucat sekali..... ia melihat ke arah saya sambil tersenyum ia berkata, "Tante, tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada mommy" Setelah mengatakan itu ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya. "Tunggu... sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?" "Nama saya elic tante" Eric......??? Eric....... ya Tuhan kau benar-benar Eric ????? Saya langsung tersentak dan bangun. rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba teirngat kembali kisah ironis yang telah
terjadi dulu kala, seperti pemutaran film lama di kepala saya. Namun baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Dan saya mengambil keputusan untuk mati saja saat itu, yah saya harus mati, mati, mati..........
Se inchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke urat nadi saya, saat itu saya teringat kembali dengan Eric, yah Eric... Eric mommy akan menjemputmu Eric.......
Sore itu saya memarkirkan mobil Civic biru saya di samping sebuah gubuk dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary apa yang yang sebenarnya terjadi Mary???" "Oh Brad .. kau pasti akan membenci saya setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu kala". Tapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak......... Tapi ternyata Tuhan sungguh berbaik hati pada saya, ia memberikan suami yang begitu baik dan pengertian kepada saya......... Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti Brad dari belakang, mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang 2 meter di hadapan
saya. Dan saya mulai ingat betapa gubuk tersebut pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric.. Eric.......sa.......saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu............
dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka
pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap........ Tidak terlihat apapun juga!!
Perlahan-lahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan
kecil itu, dan saya tidak melihat siapapun di dalamnya......... Hanya sepotong kain butut di atas tanah. Saya mengambilnya dan mengamatinya... air mata saya kembali mengalir, karena saya mengenali potongan kain itu adalah baju butut yang dulu dikenakan Eric
sehari-harinya...........
Beberapa saat kemudian dengan perasaan yang sulit dilukiskan saya pun keluar dari ruangan itu..... air mata saya mengalir dengan deras dan saat itu saya hanya diam saja. Saat saya dan Brad mulai naik ke mobil, meninggalkan tempat tersebut, saya melihat seseorang di belakang mobil kami dan saya sempat kaget karena keadaan saat itu sudah gelap, dan terlihat wajah orang itu begitu kotor, ternyata seorang wanita tua..... kembali saya
tersentak kaget ketika ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.... "Hei!! siapa kamu, dan mau apa kamu kemari!" Dengan memberanikan diri sayapun bertanya, "Bibi apa kamu kenal dengan seorang anak bernama Eric, ia dulu tinggal di sini!" Ia ,"kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk." "Tahukah kamu 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini. Ia terus menunggu dan memanggil mommy...... mommy, karena tidak tega saya terkadang memberinya makanan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Meskipun saya orang miskin dan pekerjaan saya mengumpulkan sampah namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu. Sampai tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini, ia belajar menulis setiap harinya selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu ..................."
Sayapun membaca kertas itu..."Mommy mengapa mommy tidak pernah kembali lagi..... mommy marah sama eric yah... mom biarlah eric yang pergi saja, tapi mommy harus berjanji kalau mommy tidak akan marah sama eric lagi. Bye Mom..."
Saya menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan di mana dia sekarang??? Saya akan sangat menyanyanginya sekarang. saya tidak akan meninggalkannya lagi bu... tolong katakan!! Brad memeluk saya yang bergetar keras..."
"Nyonya semua sudah terlambat, (dengan nada melembut), sehari sebelum nyonya datang
eric telah meninggal dunia. ia meninggal di belakang gubuk ini". "Tubuhnya sangat kurus , ia sangat lemah. hanya demi menunggumu ia terus bertahan di belakang gubuk ini,
tanpa berani masuk ke dalam gubuk ini. Ia takut apabila mommy-nya datang akan pergi lagi bila melihat ia disana ... Ia hanya berharap dapat melihat mommy-nya dari belakang gubuk
ini...... meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu nyonya di sana". "Nyonya dosa anda tidak terampunkan!"
Saya langsung pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi...!!
Sebening Kaca
"Puspa Thea, dimana dikau Mba'?, kenapa tak ada khabar beritanya?". Nisa bertanya-tanya dalam hati seraya mencermati surat-surat sahabatnya. Sudah hampir tiga bulan ini Mba' Pupu tak pernah lagi mengiriminya e-mail. Perlahan dibacanya surat terakhir wanita lembut itu sebagai pelepas rindu.
Date: Sat, 13 Oct 2001
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Pa khabar Sa? Mba' kangen banget dech. Semoga Allah yang Maha Penyayang selalu melimpahkan kasih sayang-Nya buat Nisa.
Sa.. pedih.. perih.. sakit.. rasanya kalau Mba' baca berita tentang saudara-saudara kita di Afghan, rasanya Mba' ingin sekali berbuat sesuatu untuk mereka, tapi..
Mba' cuma bisa berdo'a agar Allah yang Maha Kuasa menolong saudara-saudara kita itu.
Usaha lain yang bisa Mba' lakukan sekarang mempersiapkan putra-putri Mba' jadi hamba Allah yang di hati mereka nggak ada cinta kecuali cinta pada Allah, do'akan Mba' yach.., biar Mba' bisa jadi ibu yang baik, dan Allah berkenan menitipkan anak-anak yang kelak jadi mujahid / mujahidah.
Sa sehat, kan?. Salam sayang Mba' selalu buat Nisa Semoga rasa saling menyayangi ini mengantarkan kita jadi hamba yang dicintai Allah, amin.
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
Mba'mu.. yang selalu kangen padamu, kapan yach Allah mempertemukan kita?..
Nisa menatap lekat e-mail tersebut, terbayang dalam benaknya hanya menjawab singkat surat itu. Ia bermaksud hendak mereplay kembali, namun tiba-tiba Ayu datang menjemputnya. Mereka janjian ke rumah Cathy pagi ini.
*****
"Ayah.. Ibu.. jangan bertengkar dooong! aku jadi pusiiing..." Teriak Cathy berusaha menghentikan pertikaian orangtuanya, namun mereka tak juga mau berhenti. Pertengkaran itu terjadi karena Ibunya tidak memperkenankannya berjilbab.
"Kamu masih muda nak.., belum pantas mengenakan jilbab!, rambut bagus kok ditutupi, mana ada pemuda zaman sekarang melirik wanita yang hanya kelihatan wajah dan tangannya? kalau Cathy nggak laku bagaimana? mau jadi perawan tua?!. Wanita berjilbab itu harus baik prilakunya, eh..Cathy tingkahnya masih begini begitu.. jangan kasi malu Ibu..!"
Cathy tidak terima disuruh melepas jilbabnya, namun Ibunya terus mendesak, buntut-buntutnya ia berkata, "Ibu jahat...," Ayah datang membela, "Biarlah Bu.., seharusnya kita bangga punya anak yang mau menutupi auratnya.."
Ibu merasa terpojok dan balik memarahi Ayah, maka terjadilah pertengkaran itu. Hal ini berulangkali terjadi sejak Cathy mengenakan pakaian yang disyariatkan Allah.
"Kita ngobrol di luar aja yuk?..," Cathy mengajak Ayu dan Nisa ke halaman rumahnya yang luas, mirip taman bermain kanak-kanak. Sejenak wajah manis itu terdiam, ia tampak jauh lebih cantik dengan gaun muslimahnya.
"Kenapa Allah memberikan Ibu seperti itu pada Cathy ya? yang Beliau fikirkan hanyalah dunia, beda jauh dengan Ayah, yang selalu berorientasi ke akhirat. Seandainya Ibuku seperti Ibumu Nisa.. Ayu.. alangkah bahagianya aku!. Cathy jadi menyesal punya Ibu.."
Sebelum sempat menghabiskan kalimatnya, Ayu buru-buru menceramahinya, "Jangan begitu, Cathy.. walau bagaimanapun ia adalah Ibu yang mengandung dan membesarkanmu.."
Cathy membela diri, "Siapa suruh mengandung dan membesarkanku? kenapa nggak dibiarkan mati aja sekalian?.., Beliau lebih senang anaknya diazab Allah daripada selamat. Apakah Itu Ibu namanya?!."
Nisa berusaha melerai kedua sahabatnya. "Daripada bertengkar, kita pergi aja yuk?, belanja, baca buku." Setelah pamit pada orangtua Cathy, merekapun pergi.
*****
Di toko buku, mereka bertiga tampak asyik memilih bacaan kesukaan masing-masing. Nisa dan Ayu ke rak buku Islami, dan Cathy ke rak majalah. Setelah agak lama terbuai dalam lautan pena, Cathy mendekati Nisa, ia geleng-geleng kepala melihat buku yang dibaca sahabatnya, Tafsir Qur'an, wuih.. mengerikan, baginya jangankan membaca, membayangkan isinya saja sudah membuatnya pusing.
Sejenak mata bundar itu terpendar pada sebuah buku, "Derita Nanda, Apa Salahku Hingga Ibu Tega Membunuhku?!" Hatinya berdebar membaca judulnya, secepat kilat jemari kecil itu menangkap, ingin tahu isinya. Setelah beberapa saat, buru-buru ia menutupnya kembali. Jantung Cathy berdetak lebih cepat, ia mengurut dada, "Astaghfirullaah.." Buku itu berisi kekejaman seorang Ibu yang tega membunuh anaknya sendiri karena takut miskin, sejenak ia ingat Ibunya,
"Makasih Ya Allah, Engkau memberiku Ibu yang jauh lebih baik," bathinnya. Tiba-tiba Nisa dan Ayu mengagetkan dari belakang.
Sampai di sini, mereka berpisah, Ayu ada acara keluarga. Sementara Cathy ikut Nisa ke supermarket. Gadis manis itu tampak bingung hendak membeli apa, karena semua kebutuhan sudah dibeli Ibu. Iseng diambilnya saja makanan kecil, coklat, kacang, kue-kue. Tanpa sengaja ia melihat isi keranjang belanjaan Nisa, susu tanpa lemak, gula rendah kalori, buah-buahan, ia terheran-heran.
"Kurus-kurus kok diet sich Nisa?, nggak takut kekurangan gizi?!," Nisa tersenyum. "Susu dan gula ini untuk Ibu, Beliau dapat gejala kencing manis". Cathy terbelalak, "Untuk Ibu?, Beliaukan bisa beli sendiri?!." Pertanyaannya tak digubris Nisa, iapun tak memerlukan jawaban. Sesaat ingatan Cathy melayang pada buku yang dibacanya barusan, sejenak ia termenung, mulai mengingat-ingat kesukaan Ibunya. Minuman serat yang kerap dipromosikan TV diambilnya.
*****
Ada seribu satu macam rasa yang sulit diungkap Cathy saat berada di rumah Nisa. Rumah itu tidak semewah rumahnya, malah cenderung sederhana, tapi.. mengapa hatinya begitu tenang? tidak ada sesuatupun yang istimewa, tetapi.. mengapa begitu menyenangkan?, apakah karena ada seorang wanita teduh yang layak di sebut ibu?.
"Malam ini aku bobok sini ya?," kata Cathy memelas. "Boleh.. tapi harus ijin orangtua dulu..", ucap Nisa seraya tersenyum padanya. Wajah manis itu terlihat
bahagia sekali mendengar jawaban Nisa. "Bentar ya.. Cathy.." Nisa berlalu meninggalkannya sendiri.
Di kamar sohibnya yang kecil, kembali ia merasakan sesuatu yang sulit diungkap, Cathy menatap lekat ke sekeliling ruangan. Ada seperangkat pakaian shalat, tasbih, Al Qur'an, tergeletak rapi di atas tikar permadani. Meja kerja dan deretan buku-buku Islami. Sementara dinding putih itu dibiarkan kosong, hanya dihias kaligragi Allah dan Muhammad.
Perlahan ia merebahkan diri, capek seharian berjalan. Ketika hendak mengambil bantal, ia melihat secarik kertas terlipat rapi, rasa ingin tahu mengalahkan segalanya, cepat dibukanya lipatan kertas itu, ternyata e-mail dari seorang wanita. Isi surat itu biasa-biasa saja, namun.. ketika ia sampai pada baris ke limabelas.
Dulu.. aku sempat berprasangka buruk pada Allah, Nisa... Aku merasa Allah nggak sayang padaku, aku merasa Allah nggak pernah memberiku kebahagiaan dalam hidup. Sejak umur 5 tahun, kedua orangtuaku bercerai.. kami 4
bersaudara terpencar, ada yang diambil orang lain. Aku dan adikku yang bungsu (perempuan) tinggal dengan ayah dan ibu tiri, sedang adik yang nomor 2 ikut ibu kandung. Aku tinggal dan dididik Ibu tiri yang subhanallah.. baik dan sayang sekali padaku. (Beliau sekarang sudah almarhum)
Ayah nggak kerja lagi, untuk biaya hidup sehari-hari, ibu tiriku berjualan sayur mayur gendongan. Aku tak ingin membebani mereka, sehingga kuputuskan untuk tinggal dengan ibu kandungku, Beliaulah yang membiayai
aku sekolah.
SMA kelas tiga, tahun 1987, aku dan 2 adik perempuanku diusir dari rumah (waktu itu aku baru pulang dari bimbingan belajar kira-kira jam 19.30), buku-buku pelajaranku habis disobek-sobek ibu, bahkan pada saat itu Beliau marah sambil mengacung-acungkan sebilah kapak mengancam kami.
"Keluar kamu anak-anak!, kalau tidak.. ibu bunuh kamu satu-satu!,"
Malam itu juga aku dan adik-adikku menginap di rumah tetangga depan rumah. Aku bingung saat itu, Sa.. kemana aku dan adik-adik harus pergi? kalau ke rumah ayah.. pasti kami akan jadi beban mereka. Ku coba tinggal di rumah Om (adik Ibu kandung), tapi.. istrinya keberatan kami tinggal di rumahnya dengan alasan ekonomi, padahal saat itu aku sudah bilang bahwa hanya butuh tempat berteduh pada saat malam saja, sedangkan masalah makan, kami akan berusaha cari sendiri, tapi istrinya tetap tak peduli.
Akhirnya aku ke rumah tetangga yang tidak jauh dari rumah Omku, Beliau mau menerima kami, sebagai imbalan aku bekerja untuk mereka, dari mulai ngurus rumah sampai mengurus anaknya, pokoknya sebelum mereka bangun, aku sudah masak dan nyuci. Aku diberi upah tiap hari Rp. 3000,- untuk ongkos sekolah, makan dikasi oleh yang punya rumah. Yang terfikir di benakku cuma satu, aku harus sekolah terus bagaimanapun caranya, asal aku tetap di jalan yang Allah
perbolehkan.
Alhamdulillah Sa.., aku diterima di D III-FMIPA UI jurusan matematika (beasiswa dengan ikatan dinas dari Depdikbud). Waktu aku baca pengumuman UMPTN di Kompas dan tahu diterima di UI, aku coba hubungi Ibu untuk minta bantuan Beliau mengenai biaya buku, kost, dan makanku, tetapi.. sampai di rumahnya, pintu pagar itu tak pernah dibukanya. Beliau hanya mengintip dari celah gorden, dan menyuruh pembantunya menyerahkan secarik kertas,
Segeralah menjauh dari pintu gerbang rumah ini, anak-anak!, aku tidak mau kalian kunjungi! Kami kapok??? nggak Nisa.. aku dan adik perempuanku tetap sering nengokin Ibu meskipun akhirnya kami Cuma bisa berdiri saja di depan pintu gerbang sambil kehujanan dan kepanasan.
Dalam hati, aku suka menyalahkan Allah, kenapa Dia memberikan kami ibu seperti ini? kenapa Dia membiarkan keluarga kami berantakan seperti itu? yach.. pokoknya segala ketidakpuasan kutumpahkan pada-Nya. Kesulitan hidup terus berlanjut selama aku kuliah, tapi aku yakin, selama aku tidak melanggar larangan-Nya, Allah pasti membantuku.
Alhamdulillah, aku selesai kuliah tepat waktu dan langsung diangkat jadi pegawai negeri di lingkungan SMAN 39 Jakarta. Tahun 1994 aku menikah, dan masya Allah Sa.. penderitaanku ternyata tak sampai di sini..
Mertuaku termasuk orang yang meterialistik, setiap sesuatu selalu diukur dengan uang, tuntutannya agar aku dan suami yang menanggung semua kebutuhan rumah tangganya. Masya Allah Sa.. ibunya minta kami membiayai adik-adiknya sekolah, sementara gajiku saat itu baru Rp. 114.900,- dan suamiku Rp. 85.000,-/bulan dengan uang makan Rp. 2.500,-/hari kerja, tapi.. aku bilang pada suami bahwa aku nggak keberatan, kita berikan apa yang masih bisa kita berikan. Bagiku yang terpenting, suamiku punya tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.
Ibu dan ayah mertuaku masih belum puas juga.. sampai-sampai Beliau seperti penjajah dalam bahtera kami. Beliau ingin mengatur segalanya, bahkan anak-anak diajarinya berkata-kata kasar pada orangtua, diajarinya berpola hidup konsumtif, tapi alhamdulillah.. dengan pendekatan ke anak-anak, aku
coba mengarahkan mereka pada kehidupan yang Allah suka, sederhana, nggak berlebihan, membeli sesuatu kalau emang sangat dibutuhkan.
Lama-kelamaan sikap mertuaku sangat menganggu fikiranku, Sa.. omongannya ke setiap tetangga yang ditemuinya bikin telingaku panas, aku nggak betah lagi tinggal serumah dengan mereka. Beliau selalu bercerita ke tetangga bahwa ibuku bekas pelacur, dan akupun kalau tidak dinikahi anaknya, sudah jadi pelacur seperti ibuku.. masya Allah.. aku bisa tahan kalau cuma aku yang mereka hina dan caci maki, tapi kalau mereka menghina ibuku, aku nggak rela! meskipun ibuku kasar sama aku.
Akhirnya, aku kompromi sama suami untuk pindah saja. Ternyata... suamikupun sudah lama ingin mengajakku pindah, tapi.. karena dulu aku yang menyarankan tinggal di situ (dengan pertimbangan daripada uangnya untuk bayar kontrakan, lebih baik untuk adiknya sekolah).
Kami pindahpun ekspansi mereka nggak berhenti, Sa.. yach.. pokoknya hal itu berlangsung terus sampai akhirnya Allah menghendaki sesuatu perubahan pada kami. Aku diberinya kesempatan kuliah lagi, aku kenal milis Islam ini, dan aku sadar ternyata Allah sayang padaku, Sa.. diberikan-Nya aku ladang amal yang sangat banyak, dengan hadirnya ibuku dan mertuaku yang sikapnya masya Allah dalam hidupku. Aku merasa malu Sa.. selama ini aku selalu berburuk sangka pada-Nya, apalagi kalau aku baca terjemahan surat Ar Rahman, masya Allah Sa.. aku bener-bener malu.. yach, nikmat mana lagi yang mau aku dustakan?..
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam sayang selalu
Puspa Thea
Sehabis membaca surat itu, ada getar kerinduan di hati Cathy pada sosok yang akhir-akhir ini dimusuhinya. Betapa sayangnya Allah telah menganugerahinya seorang ibu yang tak pernah mau membunuhnya, mengusirnya dari rumah, ataupun membiarkannya kehujanan dan kepanasan. Nikmat Allah yang mana lagi yang harus aku dustakan?, desir hatinya.
Sesaat kemudian ia tertegun melihat sosok penuh keibuan di balik lipatan terakhir surat, Subhanallah.. mata itu bening seperti kaca, Qalbunya yang bersih memancarkan cahaya keseluruh wajahnya. Puspa Thea, itukah namanya?
Sayup-sayup Cathy mendengar telapak kaki melangkah, secepat kilat ia merapikan segala sesuatu. "Silahkan di minum Non Cathy.., maaf ya kelamaan, tadi Nisa masak air dulu..," Cathy menyentuh cangkir hangat yang disuguhkan Nisa, Ya Allah.. ibu selalu membuatkan coklat susu untukku, katanya lirih.
"Nisa.. a ku ma u pu lang..," Ucapnya terpatah, Nisa terheran-heran. "Lho.. katanya mau bobok sini?!". Nisa mengiringi kepergian sahabatnya. Ia tak habis fikir kenapa secepat itu Cathy berubah.
*****
Dalam perjalanan menuju tempat kerja, Nisa hampir tak percaya dengan penglihatannya. Ia melihat Cathy begitu mesra dengan Ibunya di pasar tradisional. Jari-jari tangan mungil itu tampak penuh menenteng belanjaan,
sesekali sang ibu berusaha menolongnya, tapi Cathy tidak mau, ia terus mengelak dan tersenyum. Sesampai di kantor ia menelpon Cathy. Gadis itu terdengar ceria sekali, tak sepatah katapun bernada keluh kesah mengenai ibu yang dulu selalu keluar dari mulutnya. Apakah gerangan yang terjadi?
*****
"Masuk, Nisa..", sapa Ibu Cathy ramah setelah menjawab salamnya. Kali ini, suasana rumah itu begitu berbeda dari sebelumnya. Di pekarangan terlihat Ayah Cathy membaca koran dengan asyiknya,
"Langsung ke dalam aja, ya.. Cathy sedang istirahat, kasihan dia.. dari pagi bantuin Tante kerja" Ujar wanita itu dengan senyum merekah, Beliau tampak begitu bahagia. Nisa melangkahkan satu-satu kakinya supaya Cathy tak terusik, sayup-sayup terdengar merdu suara gadis itu,
Ya Allah Tuhanku, anugerahilah aku kemampuan untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan anugerahi pula aku kemampuan) untuk beramal shaleh yang Engkau ridhai, serta jadikanlah kebajikan bersinambung untukku pada anak keturunanku. sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al AhQaaf 46:15)
"Eh, Nisa.. ". Ia tersipu malu, tak berapa lama kemudian mereka larut dalam perbincangan panjang mengenai perubahan yang terjadi. "Sebening kaca.. Nisa, bisakah aku memilikinya?" Nisa terkesima mendengar penuturan sahabatnya, ternyata Cathy telah membanya surat Mba' Puspa Thea, Melati yang berhati sebening kaca. Melalui goresan pena wanita itu, Allah menitipkannya hidayah.
*****
Nisa mencek inboxnya, banyak surat bertebaran di sana, beberapa Melati baru bermunculan menyapanya ramah. Tetapi, mengapa tak ada satupun surat dari Mba' Pupu?. Kerinduan Nisa semakin menyesak dada. Perlahan ia mulai menggerakkan jemari tangannya menekan tut-tuts komputer, menulis sepucuk surat.
Assalaamu'alaikum Warahmatullaah Wabarakaatuh
Bagaimana khabarmu, Mba’? si kecil dan suami tercinta? Nisa do'akan semoga kalian semua sehat, senantiasa dalam lindungan Allah Swt.
Maafkan aku Mba', tanpa sengaja salah satu suratmu terbaca sahabatku. Tapi.. tanpa sengaja pula engkau telah berdakwah, melalui bahasa Qalbumu yang terukir indah di atas pena itu..
Mba'.. Nisa rindu sekali, rindu cerita-ceritamu.. rindu kekayaan bathinmu. kapan ya.. Allah mempertemukan kita?
Wassalaamu'alaikum Warahmatullaah Wabarakaatuh
Salam manis dan sayang
Adikmu, Nisa.
18 Januari 2002
Ratna Dewi
"Puspa Thea, dimana dikau Mba'?, kenapa tak ada khabar beritanya?". Nisa bertanya-tanya dalam hati seraya mencermati surat-surat sahabatnya. Sudah hampir tiga bulan ini Mba' Pupu tak pernah lagi mengiriminya e-mail. Perlahan dibacanya surat terakhir wanita lembut itu sebagai pelepas rindu.
Date: Sat, 13 Oct 2001
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Pa khabar Sa? Mba' kangen banget dech. Semoga Allah yang Maha Penyayang selalu melimpahkan kasih sayang-Nya buat Nisa.
Sa.. pedih.. perih.. sakit.. rasanya kalau Mba' baca berita tentang saudara-saudara kita di Afghan, rasanya Mba' ingin sekali berbuat sesuatu untuk mereka, tapi..
Mba' cuma bisa berdo'a agar Allah yang Maha Kuasa menolong saudara-saudara kita itu.
Usaha lain yang bisa Mba' lakukan sekarang mempersiapkan putra-putri Mba' jadi hamba Allah yang di hati mereka nggak ada cinta kecuali cinta pada Allah, do'akan Mba' yach.., biar Mba' bisa jadi ibu yang baik, dan Allah berkenan menitipkan anak-anak yang kelak jadi mujahid / mujahidah.
Sa sehat, kan?. Salam sayang Mba' selalu buat Nisa Semoga rasa saling menyayangi ini mengantarkan kita jadi hamba yang dicintai Allah, amin.
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
Mba'mu.. yang selalu kangen padamu, kapan yach Allah mempertemukan kita?..
Nisa menatap lekat e-mail tersebut, terbayang dalam benaknya hanya menjawab singkat surat itu. Ia bermaksud hendak mereplay kembali, namun tiba-tiba Ayu datang menjemputnya. Mereka janjian ke rumah Cathy pagi ini.
*****
"Ayah.. Ibu.. jangan bertengkar dooong! aku jadi pusiiing..." Teriak Cathy berusaha menghentikan pertikaian orangtuanya, namun mereka tak juga mau berhenti. Pertengkaran itu terjadi karena Ibunya tidak memperkenankannya berjilbab.
"Kamu masih muda nak.., belum pantas mengenakan jilbab!, rambut bagus kok ditutupi, mana ada pemuda zaman sekarang melirik wanita yang hanya kelihatan wajah dan tangannya? kalau Cathy nggak laku bagaimana? mau jadi perawan tua?!. Wanita berjilbab itu harus baik prilakunya, eh..Cathy tingkahnya masih begini begitu.. jangan kasi malu Ibu..!"
Cathy tidak terima disuruh melepas jilbabnya, namun Ibunya terus mendesak, buntut-buntutnya ia berkata, "Ibu jahat...," Ayah datang membela, "Biarlah Bu.., seharusnya kita bangga punya anak yang mau menutupi auratnya.."
Ibu merasa terpojok dan balik memarahi Ayah, maka terjadilah pertengkaran itu. Hal ini berulangkali terjadi sejak Cathy mengenakan pakaian yang disyariatkan Allah.
"Kita ngobrol di luar aja yuk?..," Cathy mengajak Ayu dan Nisa ke halaman rumahnya yang luas, mirip taman bermain kanak-kanak. Sejenak wajah manis itu terdiam, ia tampak jauh lebih cantik dengan gaun muslimahnya.
"Kenapa Allah memberikan Ibu seperti itu pada Cathy ya? yang Beliau fikirkan hanyalah dunia, beda jauh dengan Ayah, yang selalu berorientasi ke akhirat. Seandainya Ibuku seperti Ibumu Nisa.. Ayu.. alangkah bahagianya aku!. Cathy jadi menyesal punya Ibu.."
Sebelum sempat menghabiskan kalimatnya, Ayu buru-buru menceramahinya, "Jangan begitu, Cathy.. walau bagaimanapun ia adalah Ibu yang mengandung dan membesarkanmu.."
Cathy membela diri, "Siapa suruh mengandung dan membesarkanku? kenapa nggak dibiarkan mati aja sekalian?.., Beliau lebih senang anaknya diazab Allah daripada selamat. Apakah Itu Ibu namanya?!."
Nisa berusaha melerai kedua sahabatnya. "Daripada bertengkar, kita pergi aja yuk?, belanja, baca buku." Setelah pamit pada orangtua Cathy, merekapun pergi.
*****
Di toko buku, mereka bertiga tampak asyik memilih bacaan kesukaan masing-masing. Nisa dan Ayu ke rak buku Islami, dan Cathy ke rak majalah. Setelah agak lama terbuai dalam lautan pena, Cathy mendekati Nisa, ia geleng-geleng kepala melihat buku yang dibaca sahabatnya, Tafsir Qur'an, wuih.. mengerikan, baginya jangankan membaca, membayangkan isinya saja sudah membuatnya pusing.
Sejenak mata bundar itu terpendar pada sebuah buku, "Derita Nanda, Apa Salahku Hingga Ibu Tega Membunuhku?!" Hatinya berdebar membaca judulnya, secepat kilat jemari kecil itu menangkap, ingin tahu isinya. Setelah beberapa saat, buru-buru ia menutupnya kembali. Jantung Cathy berdetak lebih cepat, ia mengurut dada, "Astaghfirullaah.." Buku itu berisi kekejaman seorang Ibu yang tega membunuh anaknya sendiri karena takut miskin, sejenak ia ingat Ibunya,
"Makasih Ya Allah, Engkau memberiku Ibu yang jauh lebih baik," bathinnya. Tiba-tiba Nisa dan Ayu mengagetkan dari belakang.
Sampai di sini, mereka berpisah, Ayu ada acara keluarga. Sementara Cathy ikut Nisa ke supermarket. Gadis manis itu tampak bingung hendak membeli apa, karena semua kebutuhan sudah dibeli Ibu. Iseng diambilnya saja makanan kecil, coklat, kacang, kue-kue. Tanpa sengaja ia melihat isi keranjang belanjaan Nisa, susu tanpa lemak, gula rendah kalori, buah-buahan, ia terheran-heran.
"Kurus-kurus kok diet sich Nisa?, nggak takut kekurangan gizi?!," Nisa tersenyum. "Susu dan gula ini untuk Ibu, Beliau dapat gejala kencing manis". Cathy terbelalak, "Untuk Ibu?, Beliaukan bisa beli sendiri?!." Pertanyaannya tak digubris Nisa, iapun tak memerlukan jawaban. Sesaat ingatan Cathy melayang pada buku yang dibacanya barusan, sejenak ia termenung, mulai mengingat-ingat kesukaan Ibunya. Minuman serat yang kerap dipromosikan TV diambilnya.
*****
Ada seribu satu macam rasa yang sulit diungkap Cathy saat berada di rumah Nisa. Rumah itu tidak semewah rumahnya, malah cenderung sederhana, tapi.. mengapa hatinya begitu tenang? tidak ada sesuatupun yang istimewa, tetapi.. mengapa begitu menyenangkan?, apakah karena ada seorang wanita teduh yang layak di sebut ibu?.
"Malam ini aku bobok sini ya?," kata Cathy memelas. "Boleh.. tapi harus ijin orangtua dulu..", ucap Nisa seraya tersenyum padanya. Wajah manis itu terlihat
bahagia sekali mendengar jawaban Nisa. "Bentar ya.. Cathy.." Nisa berlalu meninggalkannya sendiri.
Di kamar sohibnya yang kecil, kembali ia merasakan sesuatu yang sulit diungkap, Cathy menatap lekat ke sekeliling ruangan. Ada seperangkat pakaian shalat, tasbih, Al Qur'an, tergeletak rapi di atas tikar permadani. Meja kerja dan deretan buku-buku Islami. Sementara dinding putih itu dibiarkan kosong, hanya dihias kaligragi Allah dan Muhammad.
Perlahan ia merebahkan diri, capek seharian berjalan. Ketika hendak mengambil bantal, ia melihat secarik kertas terlipat rapi, rasa ingin tahu mengalahkan segalanya, cepat dibukanya lipatan kertas itu, ternyata e-mail dari seorang wanita. Isi surat itu biasa-biasa saja, namun.. ketika ia sampai pada baris ke limabelas.
Dulu.. aku sempat berprasangka buruk pada Allah, Nisa... Aku merasa Allah nggak sayang padaku, aku merasa Allah nggak pernah memberiku kebahagiaan dalam hidup. Sejak umur 5 tahun, kedua orangtuaku bercerai.. kami 4
bersaudara terpencar, ada yang diambil orang lain. Aku dan adikku yang bungsu (perempuan) tinggal dengan ayah dan ibu tiri, sedang adik yang nomor 2 ikut ibu kandung. Aku tinggal dan dididik Ibu tiri yang subhanallah.. baik dan sayang sekali padaku. (Beliau sekarang sudah almarhum)
Ayah nggak kerja lagi, untuk biaya hidup sehari-hari, ibu tiriku berjualan sayur mayur gendongan. Aku tak ingin membebani mereka, sehingga kuputuskan untuk tinggal dengan ibu kandungku, Beliaulah yang membiayai
aku sekolah.
SMA kelas tiga, tahun 1987, aku dan 2 adik perempuanku diusir dari rumah (waktu itu aku baru pulang dari bimbingan belajar kira-kira jam 19.30), buku-buku pelajaranku habis disobek-sobek ibu, bahkan pada saat itu Beliau marah sambil mengacung-acungkan sebilah kapak mengancam kami.
"Keluar kamu anak-anak!, kalau tidak.. ibu bunuh kamu satu-satu!,"
Malam itu juga aku dan adik-adikku menginap di rumah tetangga depan rumah. Aku bingung saat itu, Sa.. kemana aku dan adik-adik harus pergi? kalau ke rumah ayah.. pasti kami akan jadi beban mereka. Ku coba tinggal di rumah Om (adik Ibu kandung), tapi.. istrinya keberatan kami tinggal di rumahnya dengan alasan ekonomi, padahal saat itu aku sudah bilang bahwa hanya butuh tempat berteduh pada saat malam saja, sedangkan masalah makan, kami akan berusaha cari sendiri, tapi istrinya tetap tak peduli.
Akhirnya aku ke rumah tetangga yang tidak jauh dari rumah Omku, Beliau mau menerima kami, sebagai imbalan aku bekerja untuk mereka, dari mulai ngurus rumah sampai mengurus anaknya, pokoknya sebelum mereka bangun, aku sudah masak dan nyuci. Aku diberi upah tiap hari Rp. 3000,- untuk ongkos sekolah, makan dikasi oleh yang punya rumah. Yang terfikir di benakku cuma satu, aku harus sekolah terus bagaimanapun caranya, asal aku tetap di jalan yang Allah
perbolehkan.
Alhamdulillah Sa.., aku diterima di D III-FMIPA UI jurusan matematika (beasiswa dengan ikatan dinas dari Depdikbud). Waktu aku baca pengumuman UMPTN di Kompas dan tahu diterima di UI, aku coba hubungi Ibu untuk minta bantuan Beliau mengenai biaya buku, kost, dan makanku, tetapi.. sampai di rumahnya, pintu pagar itu tak pernah dibukanya. Beliau hanya mengintip dari celah gorden, dan menyuruh pembantunya menyerahkan secarik kertas,
Segeralah menjauh dari pintu gerbang rumah ini, anak-anak!, aku tidak mau kalian kunjungi! Kami kapok??? nggak Nisa.. aku dan adik perempuanku tetap sering nengokin Ibu meskipun akhirnya kami Cuma bisa berdiri saja di depan pintu gerbang sambil kehujanan dan kepanasan.
Dalam hati, aku suka menyalahkan Allah, kenapa Dia memberikan kami ibu seperti ini? kenapa Dia membiarkan keluarga kami berantakan seperti itu? yach.. pokoknya segala ketidakpuasan kutumpahkan pada-Nya. Kesulitan hidup terus berlanjut selama aku kuliah, tapi aku yakin, selama aku tidak melanggar larangan-Nya, Allah pasti membantuku.
Alhamdulillah, aku selesai kuliah tepat waktu dan langsung diangkat jadi pegawai negeri di lingkungan SMAN 39 Jakarta. Tahun 1994 aku menikah, dan masya Allah Sa.. penderitaanku ternyata tak sampai di sini..
Mertuaku termasuk orang yang meterialistik, setiap sesuatu selalu diukur dengan uang, tuntutannya agar aku dan suami yang menanggung semua kebutuhan rumah tangganya. Masya Allah Sa.. ibunya minta kami membiayai adik-adiknya sekolah, sementara gajiku saat itu baru Rp. 114.900,- dan suamiku Rp. 85.000,-/bulan dengan uang makan Rp. 2.500,-/hari kerja, tapi.. aku bilang pada suami bahwa aku nggak keberatan, kita berikan apa yang masih bisa kita berikan. Bagiku yang terpenting, suamiku punya tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.
Ibu dan ayah mertuaku masih belum puas juga.. sampai-sampai Beliau seperti penjajah dalam bahtera kami. Beliau ingin mengatur segalanya, bahkan anak-anak diajarinya berkata-kata kasar pada orangtua, diajarinya berpola hidup konsumtif, tapi alhamdulillah.. dengan pendekatan ke anak-anak, aku
coba mengarahkan mereka pada kehidupan yang Allah suka, sederhana, nggak berlebihan, membeli sesuatu kalau emang sangat dibutuhkan.
Lama-kelamaan sikap mertuaku sangat menganggu fikiranku, Sa.. omongannya ke setiap tetangga yang ditemuinya bikin telingaku panas, aku nggak betah lagi tinggal serumah dengan mereka. Beliau selalu bercerita ke tetangga bahwa ibuku bekas pelacur, dan akupun kalau tidak dinikahi anaknya, sudah jadi pelacur seperti ibuku.. masya Allah.. aku bisa tahan kalau cuma aku yang mereka hina dan caci maki, tapi kalau mereka menghina ibuku, aku nggak rela! meskipun ibuku kasar sama aku.
Akhirnya, aku kompromi sama suami untuk pindah saja. Ternyata... suamikupun sudah lama ingin mengajakku pindah, tapi.. karena dulu aku yang menyarankan tinggal di situ (dengan pertimbangan daripada uangnya untuk bayar kontrakan, lebih baik untuk adiknya sekolah).
Kami pindahpun ekspansi mereka nggak berhenti, Sa.. yach.. pokoknya hal itu berlangsung terus sampai akhirnya Allah menghendaki sesuatu perubahan pada kami. Aku diberinya kesempatan kuliah lagi, aku kenal milis Islam ini, dan aku sadar ternyata Allah sayang padaku, Sa.. diberikan-Nya aku ladang amal yang sangat banyak, dengan hadirnya ibuku dan mertuaku yang sikapnya masya Allah dalam hidupku. Aku merasa malu Sa.. selama ini aku selalu berburuk sangka pada-Nya, apalagi kalau aku baca terjemahan surat Ar Rahman, masya Allah Sa.. aku bener-bener malu.. yach, nikmat mana lagi yang mau aku dustakan?..
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam sayang selalu
Puspa Thea
Sehabis membaca surat itu, ada getar kerinduan di hati Cathy pada sosok yang akhir-akhir ini dimusuhinya. Betapa sayangnya Allah telah menganugerahinya seorang ibu yang tak pernah mau membunuhnya, mengusirnya dari rumah, ataupun membiarkannya kehujanan dan kepanasan. Nikmat Allah yang mana lagi yang harus aku dustakan?, desir hatinya.
Sesaat kemudian ia tertegun melihat sosok penuh keibuan di balik lipatan terakhir surat, Subhanallah.. mata itu bening seperti kaca, Qalbunya yang bersih memancarkan cahaya keseluruh wajahnya. Puspa Thea, itukah namanya?
Sayup-sayup Cathy mendengar telapak kaki melangkah, secepat kilat ia merapikan segala sesuatu. "Silahkan di minum Non Cathy.., maaf ya kelamaan, tadi Nisa masak air dulu..," Cathy menyentuh cangkir hangat yang disuguhkan Nisa, Ya Allah.. ibu selalu membuatkan coklat susu untukku, katanya lirih.
"Nisa.. a ku ma u pu lang..," Ucapnya terpatah, Nisa terheran-heran. "Lho.. katanya mau bobok sini?!". Nisa mengiringi kepergian sahabatnya. Ia tak habis fikir kenapa secepat itu Cathy berubah.
*****
Dalam perjalanan menuju tempat kerja, Nisa hampir tak percaya dengan penglihatannya. Ia melihat Cathy begitu mesra dengan Ibunya di pasar tradisional. Jari-jari tangan mungil itu tampak penuh menenteng belanjaan,
sesekali sang ibu berusaha menolongnya, tapi Cathy tidak mau, ia terus mengelak dan tersenyum. Sesampai di kantor ia menelpon Cathy. Gadis itu terdengar ceria sekali, tak sepatah katapun bernada keluh kesah mengenai ibu yang dulu selalu keluar dari mulutnya. Apakah gerangan yang terjadi?
*****
"Masuk, Nisa..", sapa Ibu Cathy ramah setelah menjawab salamnya. Kali ini, suasana rumah itu begitu berbeda dari sebelumnya. Di pekarangan terlihat Ayah Cathy membaca koran dengan asyiknya,
"Langsung ke dalam aja, ya.. Cathy sedang istirahat, kasihan dia.. dari pagi bantuin Tante kerja" Ujar wanita itu dengan senyum merekah, Beliau tampak begitu bahagia. Nisa melangkahkan satu-satu kakinya supaya Cathy tak terusik, sayup-sayup terdengar merdu suara gadis itu,
Ya Allah Tuhanku, anugerahilah aku kemampuan untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan anugerahi pula aku kemampuan) untuk beramal shaleh yang Engkau ridhai, serta jadikanlah kebajikan bersinambung untukku pada anak keturunanku. sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al AhQaaf 46:15)
"Eh, Nisa.. ". Ia tersipu malu, tak berapa lama kemudian mereka larut dalam perbincangan panjang mengenai perubahan yang terjadi. "Sebening kaca.. Nisa, bisakah aku memilikinya?" Nisa terkesima mendengar penuturan sahabatnya, ternyata Cathy telah membanya surat Mba' Puspa Thea, Melati yang berhati sebening kaca. Melalui goresan pena wanita itu, Allah menitipkannya hidayah.
*****
Nisa mencek inboxnya, banyak surat bertebaran di sana, beberapa Melati baru bermunculan menyapanya ramah. Tetapi, mengapa tak ada satupun surat dari Mba' Pupu?. Kerinduan Nisa semakin menyesak dada. Perlahan ia mulai menggerakkan jemari tangannya menekan tut-tuts komputer, menulis sepucuk surat.
Assalaamu'alaikum Warahmatullaah Wabarakaatuh
Bagaimana khabarmu, Mba’? si kecil dan suami tercinta? Nisa do'akan semoga kalian semua sehat, senantiasa dalam lindungan Allah Swt.
Maafkan aku Mba', tanpa sengaja salah satu suratmu terbaca sahabatku. Tapi.. tanpa sengaja pula engkau telah berdakwah, melalui bahasa Qalbumu yang terukir indah di atas pena itu..
Mba'.. Nisa rindu sekali, rindu cerita-ceritamu.. rindu kekayaan bathinmu. kapan ya.. Allah mempertemukan kita?
Wassalaamu'alaikum Warahmatullaah Wabarakaatuh
Salam manis dan sayang
Adikmu, Nisa.
18 Januari 2002
Ratna Dewi
PELAJARAN TERSENYUM
Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan
kuliah. Kelas terakhir yang saya ambil adalah sosiologi. Dosen kami
adalah seorang yang sangat inspiratif dengan kualitas yang saya harapkan
setiap orang memilikinya. Tugas terakhirnya diberi nama "Tersenyum".
Seluruh mahasiswa diminta untuk pergi keluar dan tersenyum kepada tiga
orang dan mendokumentasikan reaksi mereka.
Saya adalah seorang yang mudah bersahabat, selalu tersenyum pada setiap orang, dan menyapa "hallo". Saya pikir, tugas ini sangatlah mudah. Segera setelah menerima tugas itu, saya bersama suami dan anak bungsu saya pergi ke restoran McDonald's. Waktu itu pagi di bulan Maret yang sangat dingin dan kering.
Kami berdiri dalam antrian menunggu untuk dilayani. Tiba-tiba semua orang di sekitar kami menyingkir, bahkan suami saya ikut menyingkir. Saya tidak bergerak sama sekali. Suatu perasaan panik menguasai diri saya. Saya berbalik untuk melihat mengapa mereka semua menyingkir. Ketika itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang sangat menyengat. Tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma.
Ketika saya memandang laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri dekat dengan saya, ia "tersenyum". Matanya berwarna biru langit indah seakan berharap untuk dapat diterima. "Good day," katanya sambil menghitung beberapa koin yang telah ia kumpulkan. Lelaki yang kedua berdiri di belakang temannya. Tangan bergerak-gerak aneh. Saya menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita keterbelakangan mental. Sedangkan lelaki bermata biru adalah penolongnya. Saya menahan haru ketika berdiri di sana bersama mereka. Wanita muda di counter menanyai pesanan lelaki itu. Yang lalu dijawabnya, "Kopi saja, nona" karena hanya itulah yang mampu mereka beli. Asal tahu saja, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, kita harus membeli sesuatu. Ia hanya ingin menghangatkan badan.
Kemudian saya benar-benar merasakan desakan yang sedemikian kuat sehingga saya hampir saja merengkuh dan memeluk lelaki kecil bermata biru itu. Tetapi saya menyadari bahwa semua mata di restoran menatap saya, menilai semua tindakan saya. Saya tersenyum dan berkata pada wanita di belakang counter untuk memberikan pada saya dua paket makan pagi lagi dalam nampan terpisah.
Kemudian saya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu sebagai tempat istirahatnya. Saya meletakkan nampan itu di atas meja. Saya menyentuh tangan tangan dingin lelaki bermata biru itu. Ia melihat ke arah saya, dengan air mata berlinang ia berkata "Terima kasih."
Saya menepuk tangannya dan berkata, "Saya tidak melakukannya untukmu. Tuhan berada di sini bekerja melalui diriku untuk memberimu harapan." Saya mulai menangis ketika saya berjalan meninggalkannya dan bergabung dengan suami dan anak saya. Ketika saya duduk, suami saya tersenyum dan berkata, "Itulah sebabnya mengapa Tuhan memberikan kamu kepadaku, Sayang. Untuk memberiku harapan." Kami saling berpegangan tangan. Saat itu kami tahu bahwa hanya karena rahmat-Nyalah kami dapat memberikan sesuatu pada orang lain. Hari itu, cahaya kasih Tuhan yang murni dan indah ditunjukkan pada saya.
--------
Saya kembali ke kampus, pada hari terakhir kuliah, dengan cerita ini di tangan. Saya menyerahkan "proyek" itu dan dosen membacanya. Kemudian ia memandang saya dan berkata, "Bolehkan saya membagikan ceritamu kepada yang lain?" Saya mengangguk perlahan. Kemudian ia meminta perhatian dari kelas. Ia mulai membaca dan saat itu saya tahu bahwa kami, sebagai manusia dan bagian dari Tuhan, membagikan pengalaman ini untuk menyembuhkan dan untuk disembuhkan.
Dengan caraku sendiri saya telah menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap jiwa yang menghadiri ruang kelas di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan satu pelajaran terbesar yang pernah saya pelajari : "Penerimaan Tanpa Syarat". Banyak cinta dan kasih sayang yang dikirimkan kepada setiap orang yang mungkin membaca cerita ini dan mempelajari bagaimana untuk "Mencintai Sesama Dan Memanfaatkan Benda-Benda - Bukannya Mencintai Benda Dan Memanfaatkan Sesama."
Saya adalah seorang yang mudah bersahabat, selalu tersenyum pada setiap orang, dan menyapa "hallo". Saya pikir, tugas ini sangatlah mudah. Segera setelah menerima tugas itu, saya bersama suami dan anak bungsu saya pergi ke restoran McDonald's. Waktu itu pagi di bulan Maret yang sangat dingin dan kering.
Kami berdiri dalam antrian menunggu untuk dilayani. Tiba-tiba semua orang di sekitar kami menyingkir, bahkan suami saya ikut menyingkir. Saya tidak bergerak sama sekali. Suatu perasaan panik menguasai diri saya. Saya berbalik untuk melihat mengapa mereka semua menyingkir. Ketika itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang sangat menyengat. Tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma.
Ketika saya memandang laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri dekat dengan saya, ia "tersenyum". Matanya berwarna biru langit indah seakan berharap untuk dapat diterima. "Good day," katanya sambil menghitung beberapa koin yang telah ia kumpulkan. Lelaki yang kedua berdiri di belakang temannya. Tangan bergerak-gerak aneh. Saya menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita keterbelakangan mental. Sedangkan lelaki bermata biru adalah penolongnya. Saya menahan haru ketika berdiri di sana bersama mereka. Wanita muda di counter menanyai pesanan lelaki itu. Yang lalu dijawabnya, "Kopi saja, nona" karena hanya itulah yang mampu mereka beli. Asal tahu saja, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, kita harus membeli sesuatu. Ia hanya ingin menghangatkan badan.
Kemudian saya benar-benar merasakan desakan yang sedemikian kuat sehingga saya hampir saja merengkuh dan memeluk lelaki kecil bermata biru itu. Tetapi saya menyadari bahwa semua mata di restoran menatap saya, menilai semua tindakan saya. Saya tersenyum dan berkata pada wanita di belakang counter untuk memberikan pada saya dua paket makan pagi lagi dalam nampan terpisah.
Kemudian saya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu sebagai tempat istirahatnya. Saya meletakkan nampan itu di atas meja. Saya menyentuh tangan tangan dingin lelaki bermata biru itu. Ia melihat ke arah saya, dengan air mata berlinang ia berkata "Terima kasih."
Saya menepuk tangannya dan berkata, "Saya tidak melakukannya untukmu. Tuhan berada di sini bekerja melalui diriku untuk memberimu harapan." Saya mulai menangis ketika saya berjalan meninggalkannya dan bergabung dengan suami dan anak saya. Ketika saya duduk, suami saya tersenyum dan berkata, "Itulah sebabnya mengapa Tuhan memberikan kamu kepadaku, Sayang. Untuk memberiku harapan." Kami saling berpegangan tangan. Saat itu kami tahu bahwa hanya karena rahmat-Nyalah kami dapat memberikan sesuatu pada orang lain. Hari itu, cahaya kasih Tuhan yang murni dan indah ditunjukkan pada saya.
--------
Saya kembali ke kampus, pada hari terakhir kuliah, dengan cerita ini di tangan. Saya menyerahkan "proyek" itu dan dosen membacanya. Kemudian ia memandang saya dan berkata, "Bolehkan saya membagikan ceritamu kepada yang lain?" Saya mengangguk perlahan. Kemudian ia meminta perhatian dari kelas. Ia mulai membaca dan saat itu saya tahu bahwa kami, sebagai manusia dan bagian dari Tuhan, membagikan pengalaman ini untuk menyembuhkan dan untuk disembuhkan.
Dengan caraku sendiri saya telah menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap jiwa yang menghadiri ruang kelas di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan satu pelajaran terbesar yang pernah saya pelajari : "Penerimaan Tanpa Syarat". Banyak cinta dan kasih sayang yang dikirimkan kepada setiap orang yang mungkin membaca cerita ini dan mempelajari bagaimana untuk "Mencintai Sesama Dan Memanfaatkan Benda-Benda - Bukannya Mencintai Benda Dan Memanfaatkan Sesama."
Maafkan Ibu Telah Membentakmu Tadi siang.
Saya menabrak seorang yang tidak dikenal ketika ia lewat. "Oh, maafkan saya" adalah reaksi saya. Ia berkata, "Maafkan saya juga. Saya tidak melihat Anda."
Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan. Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.
Namun cerita lainnya terjadi di rumah, lihat bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kita kasihi, tua dan muda.
Pada hari itu juga, saat saya tengah memasak makan malam, anak lelaki saya berdiri diam-diam di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya jatuh. "Minggir," kata saya dengan marah.
Ia pergi, hati kecilnya hancur. Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya.
Ketika saya berbaring di tempat tidur, kata nurani seakan berbicara padaku, "Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu gunakan, tetapi anak-anak yang engkau kasihi, sepertinya engkau perlakukan dengan sewenang-wenang.
Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa kuntum bunga dekat pintu." "Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu; merah muda, kuning dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang akan ia buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu."
Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes. Saya pelan-pelan pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya, "Bangun, nak, bangun," kataku. "Apakah bunga-bunga ini engkau petik untukku?" Ia tersenyum, " Aku menemukannya jatuh dari pohon. "
"Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu. Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru."
Aku berkata, "Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu; Ibu seharusnya tidak membentakmu seperti tadi."
Si kecilku berkata, "Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu."
Aku pun membalas, "Anakku, aku mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukai bunga-bunga ini, apalagi yang biru."
Apakah anda menyadari bahwa jika kita mati besok, perusahaan di mana kita bekerja sekarang bisa saja dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari? Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan selama sisa hidup mereka.
Mari kita renungkan, kita melibatkan diri lebih dalam kepada pekerjaan kita ketimbang keluarga kita sendiri, suatu investasi yang tentunya kurang bijaksana, bukan?
Jadi apakah anda telah memahami apa tujuan cerita di atas? Apakah anda tahu apa arti kata KELUARGA? Dalam bahasa Inggris, KELUARGA = FAMILY.
FAMILY = (F)ATHER (A)ND (M)OTHER, (I), (L)OVE,(Y)OU
Jangan biarkan kasih sayang kita terhadap suami/istri, juga anak-anak kita terkikis...tumbuhkanlah dan semakin perbanyaklah waktu untuk keluarga kita
Saya menabrak seorang yang tidak dikenal ketika ia lewat. "Oh, maafkan saya" adalah reaksi saya. Ia berkata, "Maafkan saya juga. Saya tidak melihat Anda."
Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan. Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.
Namun cerita lainnya terjadi di rumah, lihat bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kita kasihi, tua dan muda.
Pada hari itu juga, saat saya tengah memasak makan malam, anak lelaki saya berdiri diam-diam di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya jatuh. "Minggir," kata saya dengan marah.
Ia pergi, hati kecilnya hancur. Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya.
Ketika saya berbaring di tempat tidur, kata nurani seakan berbicara padaku, "Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu gunakan, tetapi anak-anak yang engkau kasihi, sepertinya engkau perlakukan dengan sewenang-wenang.
Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa kuntum bunga dekat pintu." "Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu; merah muda, kuning dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang akan ia buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu."
Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes. Saya pelan-pelan pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya, "Bangun, nak, bangun," kataku. "Apakah bunga-bunga ini engkau petik untukku?" Ia tersenyum, " Aku menemukannya jatuh dari pohon. "
"Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu. Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru."
Aku berkata, "Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu; Ibu seharusnya tidak membentakmu seperti tadi."
Si kecilku berkata, "Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu."
Aku pun membalas, "Anakku, aku mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukai bunga-bunga ini, apalagi yang biru."
Apakah anda menyadari bahwa jika kita mati besok, perusahaan di mana kita bekerja sekarang bisa saja dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari? Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan selama sisa hidup mereka.
Mari kita renungkan, kita melibatkan diri lebih dalam kepada pekerjaan kita ketimbang keluarga kita sendiri, suatu investasi yang tentunya kurang bijaksana, bukan?
Jadi apakah anda telah memahami apa tujuan cerita di atas? Apakah anda tahu apa arti kata KELUARGA? Dalam bahasa Inggris, KELUARGA = FAMILY.
FAMILY = (F)ATHER (A)ND (M)OTHER, (I), (L)OVE,(Y)OU
Jangan biarkan kasih sayang kita terhadap suami/istri, juga anak-anak kita terkikis...tumbuhkanlah dan semakin perbanyaklah waktu untuk keluarga kita
Hikmah Dari Bi Tini
Kondisiku sebagai seorang ibu muda yang juga wanita bekerja membuatku banyak pening memikirkan keseimbangan dalam menjalani roda kerumahtangaan dan roda dunia profesional. Keinginan untuk lebih memfokuskan aktivitasku di rumah terpaksa harus tertunda karena ikatan dinas yang masih harus dijalani. Banyak letupan ketidakrelaan dalam hati ini ketika terpaksa harus kucari seorang pengasuh untuk buah hatiku. Tetesan air mata tak pernah lupa singgah tiap kali adegan kemesraan ibu dan anak singgah di pelupuk mataku dalam perjalanan ke kantor. Kepedihan yang begitu menyiksa batinku.
Tiada kesan tertentu ketika pertama kali berkenalan dengan Bi Tini yang kepadanya mau tak mau aku percayakan buah hatiku . Dia banyak bercerita tentang riwayat hidupnya terutama kesedihan hatinya sepeninggal suami tercinta. Tiga orang anaknya yang masih menjadi tanggungannya membuat dia harus tetap memupuk semangat hidup dan mencari nafkah walau harus dengan meninggalkan mereka di kampung. Pada saat itu,kisah hidupnya bukanlah prioritas renunganku karena aku masih harus berjuang melawan
kegelisahan hatiku sendiri dan rasa bersalah yang begitu mendera karena meninggalkan si cantik kecilku hampir 12 jam sehari. Seiring dengan berjalannya waktu, lewat banyak limpahan sayang, dukungan, dan nasihat dari saudara-saudara yang mencintaiku karena ALLAH aku mulai bisa menapaki hari-hari sibukku dengan lebih ikhlas dan tenang, di saat itulah aku mulai bisa melihat sosok lain dari Bi Tini, lebih dari sekedar pengasuh anakku.
Hatiku begitu tersentuh saat melihat tetesan air matanya di tengah ceritanya (yang berulang-ulang) tentang kepedihannya sepeninggal suaminya, tentang beban yang harus ditanggungnya saat ini. Entahlah, aku seperti menemukan frekuensi kepedihan yang sama denganku. Saat itu aku hanya mampu merangkulnya, mengajaknya untuk bersabar dan mensyukuri keadaannya sekarang (betapa aku merasa menjadi orang munafik saat mengucapkannya). Membayangkan kondisinya membuatku merasa menjadi sosok yang begitu pengecut. Betapa kuat dan tegarnya Bi Tini. Sudah kehilangan suami, masih pula harus berpisah jauh dengan anak-anaknya. Sebagai seorang ibu, pastilah amat berat berpisah jauh dengan anak-anaknya. Aku saja yang 'cuma' meninggalkan anak ke kantor sudahbegitu berat rasanya. Sebagai seorang istri kepedihan manalagi yang bisa menandingirasa sepi dan rindu pada suami yang telah tiada. Aku saja sering merasa sedih ketika suami sedang sedikit lebih sibuk sehingga perhatiannya padaku berkurang.Subhanallah, betapa besar hikmah yang aku dapat dari kehadiran Bi Tini dalam hidupku.
Sudah dalam guratan recanaNya pertemuanku dengan Bi Tini. Kalau tidak ada keharusan' untuk aku bekerja di luar rumah, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Bi Tini dan tidak dapat belajar banyak dari ketegarannya. Ketiga anak yatim yang kini menjadi tanggungan Bi Tini pun dapat menjadi ladang amal untuk keluargaku. Kami memang bukan orang kaya, namun aku dan suami merasa yakin bahwa di dalam sedikit harta yang kami miliki ada banyak titipan untuk anak-anak yatim dan fakir miskin.Maka nikmat Allah yang mana lagi yang masih harus kukeluhkan ? Betapa bijaksana
Allah swt dalam mendidik hamba-hambanya dan betapa meruginya diri ini jika banyakmengeluh dan merasa menderita.(http://manajemenqolbu.com)***
adisthea@yahoo.com
Kondisiku sebagai seorang ibu muda yang juga wanita bekerja membuatku banyak pening memikirkan keseimbangan dalam menjalani roda kerumahtangaan dan roda dunia profesional. Keinginan untuk lebih memfokuskan aktivitasku di rumah terpaksa harus tertunda karena ikatan dinas yang masih harus dijalani. Banyak letupan ketidakrelaan dalam hati ini ketika terpaksa harus kucari seorang pengasuh untuk buah hatiku. Tetesan air mata tak pernah lupa singgah tiap kali adegan kemesraan ibu dan anak singgah di pelupuk mataku dalam perjalanan ke kantor. Kepedihan yang begitu menyiksa batinku.
Tiada kesan tertentu ketika pertama kali berkenalan dengan Bi Tini yang kepadanya mau tak mau aku percayakan buah hatiku . Dia banyak bercerita tentang riwayat hidupnya terutama kesedihan hatinya sepeninggal suami tercinta. Tiga orang anaknya yang masih menjadi tanggungannya membuat dia harus tetap memupuk semangat hidup dan mencari nafkah walau harus dengan meninggalkan mereka di kampung. Pada saat itu,kisah hidupnya bukanlah prioritas renunganku karena aku masih harus berjuang melawan
kegelisahan hatiku sendiri dan rasa bersalah yang begitu mendera karena meninggalkan si cantik kecilku hampir 12 jam sehari. Seiring dengan berjalannya waktu, lewat banyak limpahan sayang, dukungan, dan nasihat dari saudara-saudara yang mencintaiku karena ALLAH aku mulai bisa menapaki hari-hari sibukku dengan lebih ikhlas dan tenang, di saat itulah aku mulai bisa melihat sosok lain dari Bi Tini, lebih dari sekedar pengasuh anakku.
Hatiku begitu tersentuh saat melihat tetesan air matanya di tengah ceritanya (yang berulang-ulang) tentang kepedihannya sepeninggal suaminya, tentang beban yang harus ditanggungnya saat ini. Entahlah, aku seperti menemukan frekuensi kepedihan yang sama denganku. Saat itu aku hanya mampu merangkulnya, mengajaknya untuk bersabar dan mensyukuri keadaannya sekarang (betapa aku merasa menjadi orang munafik saat mengucapkannya). Membayangkan kondisinya membuatku merasa menjadi sosok yang begitu pengecut. Betapa kuat dan tegarnya Bi Tini. Sudah kehilangan suami, masih pula harus berpisah jauh dengan anak-anaknya. Sebagai seorang ibu, pastilah amat berat berpisah jauh dengan anak-anaknya. Aku saja yang 'cuma' meninggalkan anak ke kantor sudahbegitu berat rasanya. Sebagai seorang istri kepedihan manalagi yang bisa menandingirasa sepi dan rindu pada suami yang telah tiada. Aku saja sering merasa sedih ketika suami sedang sedikit lebih sibuk sehingga perhatiannya padaku berkurang.Subhanallah, betapa besar hikmah yang aku dapat dari kehadiran Bi Tini dalam hidupku.
Sudah dalam guratan recanaNya pertemuanku dengan Bi Tini. Kalau tidak ada keharusan' untuk aku bekerja di luar rumah, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Bi Tini dan tidak dapat belajar banyak dari ketegarannya. Ketiga anak yatim yang kini menjadi tanggungan Bi Tini pun dapat menjadi ladang amal untuk keluargaku. Kami memang bukan orang kaya, namun aku dan suami merasa yakin bahwa di dalam sedikit harta yang kami miliki ada banyak titipan untuk anak-anak yatim dan fakir miskin.Maka nikmat Allah yang mana lagi yang masih harus kukeluhkan ? Betapa bijaksana
Allah swt dalam mendidik hamba-hambanya dan betapa meruginya diri ini jika banyakmengeluh dan merasa menderita.(http://manajemenqolbu.com)***
adisthea@yahoo.com
Bunga Untuk Ibu
Ibu pernah memintaku membersihkan lantai sesaat setelah aku menumpahkan bubur saat sarapan pagi. Tapi, bukan sapu atau kain lap pel yang kuambil ke belakang, karena aku malah berlari keluar melalaui pintu belakang untuk menyusul teman-teman bermain. Hal yang hampir sama juga kulakukan, saat ibu berharap aku menyapu halaman bekas aku dan teman-teman bermain dan mengotori halaman dengan sobekan kertas. Meski beberapa teman melirikkan matanya agar aku segera menuruti ibu, tapi yang kulakukan justru tak menggubris perintahnya dan selekas mungkin mengajak teman-teman bermain di tempat lain.
Pernah satu kali, ibu memanggilku saat aku belajar. Dengan alasan "sedang belajar" aku tak mengindahkan panggilannya, meski entah sudah hitungan keberapa namaku disebutnya. Dan jika, dalam kondisi tak sabar setelah berkali-kali aku tak juga menyahut, ibu menghampiri ke kamarku, segera aku berpura-pura tertidur dengan buku yang masih dalam dekapan. Itu kulakukan, karena aku malas keluar rumah untuk membelikan barang belanjaan ibu di warung depan gang yang hanya berjarak tidak lebih 20 meter.
Diwaktu lain, ibu berpesan agar aku segera pulang setelah pulang sekolah. Namun seperti biasa, aku selalu mampir ke tempat-tempat biasa aku bermain, dan mengatakan kepada ibu bahwa terlalu banyak aktifitas di sekolah yang harus aku ikuti, demi memperkaya pengalaman dan ketrampilan. Sesekali, aku juga mengelabui ibu dengan tuntutan uang ini-itu dari sekolah yang wajib dibayar selain uang SPP. Kupikir, mungkin ibuku bodoh sehingga selalu mempercayai setiap permintaan uang tersebut yang sesungguhnya selalu kugunakan untuk mentraktir teman-temanku, sekedar untuk menunjukkan kelas sosial dan 'sogokan' agar aku bisa diterima oleh teman-teman. Meski setelah itu kuketahui, bahwa tidak jarang ibu berhutang untuk menutupi semua 'biaya' itu berharap agar aku bisa menjadi anak yang cerdas, trampil dan bisa diandalkan, aku masih tetap tak menyesal.
Disuatu hari minggu, saat aku tak sekolah, dan tak ada kegiatan apapun diluar rumah. Ibu memintaku mengantarkannya ke pasar karena hari itu akan ada acara keluarga di rumah, yang karena itu ibu harus belanja lebih banyak dari biasanya. Segera otakku berputar mencari-cari alasan agar aku bisa "bebas" dari tanggungjawab itu. Akhirnya, kuberbohong kepada ibu dengan mengatakan bahwa di sekolah ada kegiatan ekstrakurikuler yang "wajib" diikuti oleh semua siswa. Niat berangkat ke sekolah, aku justru nongkrong di Mall, bertemu dengan teman-teman sepermainanku yang -bisa jadi- kebanyakan juga lari dari tanggungjawab membantu orang tua di hari libur.
Kemarin, ibu berharap aku mau membantunya melakukan beberapa pekerjaan rumah yang lumayan berat karena ibu saat itu tak sanggup melakukan semuanya. Ibuku tengah sakit. Tapi aku malah tak mempedulikannya, karena kupikir tak semestinya aku melakukan semua tugas rumah tangga itu. Akhirnya, dalam keadaan sakit, dengan nafas yang tersengal, ibu sendiri yang mengerjakannya, sementara aku tetap asik dengan urusan dan mainanku.
Hari ini, ada sekuntum bunga persembahan dariku yang pasti tak ada harganya dari semua pengorbanan ibu. Tak membalas semua cintanya, tak membayar jerihnya, tak menghilangkan semua luka dan kecewanya, tak meringankan bebannya, tak menghentikan tangisnya, tak membasuh setitikpun peluhnya, bahkan tak menyembuhkan sakitnya, apalagi mengembalikan ibu kepadaku. Karena ibu, yang penuh cinta dan kasih terhadap anaknya ini, kini terbujur lurus dihadapanku. Kupikir, karena aku tak mencintainya dengan segala perilaku burukku terhadap ibu, Allah lebih mencintainya dan mengambilnya dariku. Maafkan aku ibu. Kuharap ibu tahu, bunga cintaku tak pernah luruh. Wallahu 'a'lam bishshowaab (Bayu Gautama, Untuk seorang sahabat, kuyakin ia melihatmu menangis)
Sumber : Eramuslim - Publikasi 06/05/2003 15:41 WIB
Ibu pernah memintaku membersihkan lantai sesaat setelah aku menumpahkan bubur saat sarapan pagi. Tapi, bukan sapu atau kain lap pel yang kuambil ke belakang, karena aku malah berlari keluar melalaui pintu belakang untuk menyusul teman-teman bermain. Hal yang hampir sama juga kulakukan, saat ibu berharap aku menyapu halaman bekas aku dan teman-teman bermain dan mengotori halaman dengan sobekan kertas. Meski beberapa teman melirikkan matanya agar aku segera menuruti ibu, tapi yang kulakukan justru tak menggubris perintahnya dan selekas mungkin mengajak teman-teman bermain di tempat lain.
Pernah satu kali, ibu memanggilku saat aku belajar. Dengan alasan "sedang belajar" aku tak mengindahkan panggilannya, meski entah sudah hitungan keberapa namaku disebutnya. Dan jika, dalam kondisi tak sabar setelah berkali-kali aku tak juga menyahut, ibu menghampiri ke kamarku, segera aku berpura-pura tertidur dengan buku yang masih dalam dekapan. Itu kulakukan, karena aku malas keluar rumah untuk membelikan barang belanjaan ibu di warung depan gang yang hanya berjarak tidak lebih 20 meter.
Diwaktu lain, ibu berpesan agar aku segera pulang setelah pulang sekolah. Namun seperti biasa, aku selalu mampir ke tempat-tempat biasa aku bermain, dan mengatakan kepada ibu bahwa terlalu banyak aktifitas di sekolah yang harus aku ikuti, demi memperkaya pengalaman dan ketrampilan. Sesekali, aku juga mengelabui ibu dengan tuntutan uang ini-itu dari sekolah yang wajib dibayar selain uang SPP. Kupikir, mungkin ibuku bodoh sehingga selalu mempercayai setiap permintaan uang tersebut yang sesungguhnya selalu kugunakan untuk mentraktir teman-temanku, sekedar untuk menunjukkan kelas sosial dan 'sogokan' agar aku bisa diterima oleh teman-teman. Meski setelah itu kuketahui, bahwa tidak jarang ibu berhutang untuk menutupi semua 'biaya' itu berharap agar aku bisa menjadi anak yang cerdas, trampil dan bisa diandalkan, aku masih tetap tak menyesal.
Disuatu hari minggu, saat aku tak sekolah, dan tak ada kegiatan apapun diluar rumah. Ibu memintaku mengantarkannya ke pasar karena hari itu akan ada acara keluarga di rumah, yang karena itu ibu harus belanja lebih banyak dari biasanya. Segera otakku berputar mencari-cari alasan agar aku bisa "bebas" dari tanggungjawab itu. Akhirnya, kuberbohong kepada ibu dengan mengatakan bahwa di sekolah ada kegiatan ekstrakurikuler yang "wajib" diikuti oleh semua siswa. Niat berangkat ke sekolah, aku justru nongkrong di Mall, bertemu dengan teman-teman sepermainanku yang -bisa jadi- kebanyakan juga lari dari tanggungjawab membantu orang tua di hari libur.
Kemarin, ibu berharap aku mau membantunya melakukan beberapa pekerjaan rumah yang lumayan berat karena ibu saat itu tak sanggup melakukan semuanya. Ibuku tengah sakit. Tapi aku malah tak mempedulikannya, karena kupikir tak semestinya aku melakukan semua tugas rumah tangga itu. Akhirnya, dalam keadaan sakit, dengan nafas yang tersengal, ibu sendiri yang mengerjakannya, sementara aku tetap asik dengan urusan dan mainanku.
Hari ini, ada sekuntum bunga persembahan dariku yang pasti tak ada harganya dari semua pengorbanan ibu. Tak membalas semua cintanya, tak membayar jerihnya, tak menghilangkan semua luka dan kecewanya, tak meringankan bebannya, tak menghentikan tangisnya, tak membasuh setitikpun peluhnya, bahkan tak menyembuhkan sakitnya, apalagi mengembalikan ibu kepadaku. Karena ibu, yang penuh cinta dan kasih terhadap anaknya ini, kini terbujur lurus dihadapanku. Kupikir, karena aku tak mencintainya dengan segala perilaku burukku terhadap ibu, Allah lebih mencintainya dan mengambilnya dariku. Maafkan aku ibu. Kuharap ibu tahu, bunga cintaku tak pernah luruh. Wallahu 'a'lam bishshowaab (Bayu Gautama, Untuk seorang sahabat, kuyakin ia melihatmu menangis)
Sumber : Eramuslim - Publikasi 06/05/2003 15:41 WIB
MENGALIR SEPERTI AIR
Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya, "Guru, saya sudah bosan hidup. Benar-benar jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati." Sang Guru tersenyum, "Oh, kamu sakit."
"Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati."
Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan, "Kamu sakit. Dan penyakitmu itu bernama, 'Alergi Hidup'. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan."
Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.
Usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga, pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita. "Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku." kata sang Guru.
"Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup." Pria itu menolak tawaran sang Guru. "Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?" "Ya, memang saya sudah bosan hidup."
"Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisasnya kau minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang."
Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut "obat" oleh sang Guru tadi. Lalu, ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai! Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah malam terakhirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan berbisik, "Sayang, aku mencintaimu."
Sekali lagi, karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Esoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali, "Sayang, apa yang terjadi hari ini?
Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku, sayang."
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini, Bos kita kok aneh ya?" Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, "Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu." Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, "Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu tertekan karena perilaku kami."
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?
Ia mendatangi sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi, "Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan."
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Konon, ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP!
Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya, "Guru, saya sudah bosan hidup. Benar-benar jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati." Sang Guru tersenyum, "Oh, kamu sakit."
"Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati."
Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan, "Kamu sakit. Dan penyakitmu itu bernama, 'Alergi Hidup'. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan."
Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.
Usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga, pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita. "Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku." kata sang Guru.
"Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup." Pria itu menolak tawaran sang Guru. "Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?" "Ya, memang saya sudah bosan hidup."
"Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisasnya kau minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang."
Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut "obat" oleh sang Guru tadi. Lalu, ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai! Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah malam terakhirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan berbisik, "Sayang, aku mencintaimu."
Sekali lagi, karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Esoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali, "Sayang, apa yang terjadi hari ini?
Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku, sayang."
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini, Bos kita kok aneh ya?" Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.
Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, "Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu." Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, "Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu tertekan karena perilaku kami."
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?
Ia mendatangi sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi, "Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan."
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Konon, ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP!
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar