Minggu, 27 Mei 2012

Ini adalah makanan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kisah ini adalah
kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki seorang anak
laki-laki. Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah ibu dan anak
laki-lakinya untuk saling menopang.

Ibunya bersusah payah seorang membesarkan anaknya, saat itu kampung
tersebut belum memiliki listrik. Saat membaca buku, sang anak tersebut
diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih
menjahitkan baju untuk sang anak.

Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas.

Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah
sehingga tidak bisa lagi bekerja disawah.

Saat itu setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa tiga puluh kg
beras untuk dibawa kekantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibuya tidak
mungkin bisa memberikan tiga puluh kg beras tersebut.

Dan kemudian berkata kepada ibunya: " Ma, saya mau berhenti sekolah dan
membantu mama bekerja disawah". Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata
: "Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi kamu
harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan kamu,
pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan kesekolah
nanti berasnya mama yang akan bawa kesana".

Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan kesekolah,
mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang
anak ini dipukul oleh mamanya.

Sang anak akhirnya pergi juga kesekolah. Sang ibunya terus berpikir dan
merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh.

Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa Ibunya
datang kekantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya.

pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan
mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata : " Kalian para
wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat, disini
isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini tempat
penampungan beras campuran". Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali
meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut.

Awal Bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk kedalam
kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari
kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata:
"Masih dengan beras yang sama". Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin
itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian berkata : "Tak perduli
beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah
jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa
matang sempurna.

Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya".

Sang ibu sedikit takut dan berkata : "Ibu pengawas, beras dirumah kami
semuanya seperti ini jadi bagaimana? Pengawas itu pun tidak mau tahu dan
berkata : "Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa menanam bermacam-
macam jenis beras". Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut
akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi.

Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas
kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata: "Kamu sebagai mama
kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama.
Bawa pulang saja berasmu itu !".

Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut
dan berkata: "Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari
mengemis". Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak
bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk diatas lantai,
menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan
membengkak.

Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata: "Saya menderita rematik
stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk bercocok
tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah untuk
membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah
lagi."

Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada dikampung
sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya.

Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi
kekampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap pelan-pelan
kembali kekampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang
terkumpul diserahkan kesekolah.

Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas itupun
mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata:
"Bu sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa
diberikan sumbangan untuk keluarga ibu." Sang ibu buru- buru menolak dan
berkata: "Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah
anaknya, maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan
mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu
pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini."

Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam- diam
kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut
selama tiga tahun. Setelah Tiga tahun kemudian, sang anak tersebut lulus
masuk ke perguruan tinggi qing hua dengan nilai 627 point.

Dihari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak
ini duduk diatas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak
murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang
diundang. Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras.

Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan kisah
sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah.

Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru
dan berkata : "Inilah sang ibu dalam cerita tadi."

Dan mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik
keatas mimbar.

Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat kebelakang dan
melihat gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan sang
anakpun saling bertatapan. Pandangan mama yang hangat dan lembut kepada
anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat mamanya dan
berkata: "Oh Mamaku...... ......... ...

Inti dari Cerita ini adalah:

Pepatah mengatakan: "Kasih ibu sepanjang masa, sepanjang jaman dan
sepanjang kenangan" Inilah kasih seorang mama yang terus dan terus memberi
kepada anaknya tak mengharapkan kembali dari sang anak. Hati mulia seorang
mama demi menghidupi sang anak berkerja tak kenal lelah dengan satu
harapan sang anak mendapatkan kebahagian serta sukses dimasa depannya.
Mulai sekarang, katakanlah kepada mama dimanapun mama kita berada dengan
satu kalimat: " Terimakasih Mama.. Aku Mencintaimu, Aku Mengasihimu. ..
selamanya".

TERIMAKASIH TUHAN, TELAH MENGINGATKANKU

Sore, pulang kantor, seperti biasa aku menunggu bis didepan Chase Plaza, untuk membawaku pulang, bertemu dengan kedua anak-anakku yang masih berusia 2 tahun dan 9 bulan. Mikhail dan Fara namanya. Cuaca menggerahkan tubuhku.

Penat seharian kerja, dengan segala masalah yang ada selama bekerja. Sudah seminggu ini aku selalu lupa menanyakan keadaan kedua anakku Entah menanyakan sudah makan siang atau belum, bagaimana keseharian mereka, atau hanya sekedar memainkan telfon untuk mendengarkan suara sang buah hatiku, si sulung Mikhail yang sudah banyak bicara. Bahkan aku juga lupa bahwa saat ini kedua buah hati tercinta sedang sakit flu. Aku terlalu sibuk sehingga sempat melupakan mereka. Tapi ah, aku pikir aku meninggalkan buah hati bersama orangtuaku dan pengasuhnya. Jadi, untuk apa aku pusingkan akan hal itu? Jahatkah aku?

Aku rasa betul, aku jahat. Tapi aku lebih mementingkan pekerjaanku
daripada keluargaku.

Aku termenung. Tadi pagi sebelum berangkat aku lagi-lagi lupa membekalkan suami dengan dua potong roti omelete kesukaannya. Aku juga lupa membekalkan teh hangat manis dimobilnya. Aku sempat merajuk gara-gara suamiku menanyakan sarapan rutinnya untuk dimobil. Aku kan cape Mas, aku kan harus siapkan bekal anak-anak sebelum mereka dititipkan ketempat Oma-nya. Aku kan harus selesaikan cucian sebelum aku mandi tadi pagi. Dan sejuta alasanku untuk tidak lagi dibahas masalah sarapan rutin mobil. Dan ini sudah terjadi selama satu minggu pula. Ah, aku juga melupakan kebiasaanku yang disukai suami, ternyata. Bahkan, aku lupa minta maaf dengan kelakuanku seminggu ini.

Bahkan, akupun lupa Shalat sudah seminggu ini !!! Alangkah ajaibnya diriku. Tapi kurasa Tuhan mengerti. Begitu pikirku selama dikantor. Dan akupun tenggelam dengan pekerja anku dikantor.

Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 5.25 sore, langit mendung, dengan udara lembab. Haus. Aku lupa minum sebelum pulang tadi. Mestinya aku sediakan segelas minum untuk bekalku diperjalanan. Aku membutuhkan 2 jam perjalanan dari kantor sampai rumahku di Bintaro. Lagi-lagi, alasan sibuk yang membuatku lupa membawa gelas hijauku yang dulu biasa "tidur" dalam tasku.

Pada saat itulah mataku tertuju dengan 2 orang kakak beradik, anak pengamen jalanan. Tidak beralas kaki, kotor dan kumuh. Usia mereka sekitar 4 dan 2 tahun. Mataku tertuju dengan sang adik. Wajahnya kuyu. Kotor dan diam. Terlihat wajah manisnya walaupun kurasa anak kecil itu tidak pernah mandi. Tidak beralas kaki. Terlihat ada luka ditelapak kakinya yang mungil, semungil telapak kaki buah hatiku Mikhail. Sang adik tertawa saat seorang wanita muda memberikan pecahan Rp. 2000 kepada kakaknya. Alangkah senangnya si kakak. Diberikan selembar kepada sang adik, dan sang a dikpun menerima dengan hati riang. Dipandangnya uang lembaran Rp. 1000 itu sambil bernyanyi kecil. Ah, dia menyanyikan lagu masa kecilku dulu. Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya. Aku membayangkan buah hatiku Mikhail menyanyikan lagu itu. Pasti tangannya tidak lepas dari pipiku, karena pada bait lagu "dor" buah hatiku selalu memukul pipiku.

Aku tersenyum pada si kecil. Suaranya. Ya, suaranya masih pula cadel. Tangan kanannya memegang lembaran seribuan, tangan kirinya memegang alat musik kecrekan dari tutup botol. Alangkah polos wajahnya. Sang kakak duduk ditrotoar sambil menghalau lalat yang berseliweran dikepala adik. Kutahu, pasti dia tidak keramas. Uh, mandi saja mungkin jarang apalagi mencuci rambut?

Tiba-tiba saja, waktu sudah menunjukkan pukul 5.35 sore. Belum gelap. Tapi aku tak tahu sudah berapa bis jurusanku yang terlewatkan karena kekhusyukanku memandang 2 bocah polos didepanku?. Aku rogoh dompetku. Duh, makin menipis. Aku harus beli susu sang buah hatiku yang kecil. Aku juga harus beli alat kosmetikku yang sudah hancur dimainkan anak sulungku. Pokoknya aku memang harus beli hari ini. Tapi pemandangan didepanku meluluhkan hatiku. Kuambil selembar duapuluh ribuan dan kuberikan kepada sang kakak. Terkejut, tentu saja. Sang adik tidak kalah terkejut. Sambil teriak, sang adik bertanya pada kakaknya: aku bisa makan hari ini ya kak ya. Hhh.. aku tersenyum pilu. Begitu bahagianya mereka menerima lembaran dariku.

Aku tegur kakaknya "kamu berdua belum makan?"
Pertanyaanku dijawab dengan sebuah anggukan kepala yang pelan. Saat itu juga aku menitikkan air mata. Aku kasihan sekali. Adiknya tidak memakai celana apapun. Bahkan aku bisa melihat bahwa adiknya seorang perempuan. Beberapa orang yang sedang menunggu bis, menjadikan percakapanku dengan bocah-bocah itu sebagai tontonan mereka. Beberapa ada yang memberikan selembar 5000an. Ah, Jakarta !

"Kamu mau makan? Ma u saya belikan makanan?" Lagi-lagi pertanyaanku dijawab dengan sebuah anggukan kecil. Sang adik tersenyum kepadaku. Ah, polosnya senyuman itu. Tanpa beban. Tanpa arti. Tapi yang kutahu, senyuman itu senyuman bahagia dari kepolosannya. Aku ajak mereka ke sebuah warung nasi Padang didekat Chase Plaza, kantorku. Aku tawarkan makanan sesuka mereka. Raut wajah mereka memucat. Aku mengerti, mereka sudah lapar dan dahaga. Kupandangi mereka makan. Duh, lahapnya. Aku sendiri tidak makan seharian tadi, karena lagi-lagi kesibukanku dikantor. Apakah aku sudah sedemikian kuatnya sehingga aku mampu melupakan makan siang, mampu melupakan kewajibanku sebagai istri dan ibu dari 2 orang buah hati terkasih?

Aku ambil rokok mentholku, dan kuhisap perlahan. Duh, rokok tidak pernah lepas dariku, seakan dialah pasangan hidupku. Kuperhatikan sang adik. "Siapa nama kamu?" Jawaban malu-malu keluar dari bibirnya "Ririn, Ibu". Ah, namanya Ririn. Sebuah nama indah.

Tapi kenapa nasibnya tidak indah?. Aku melamun. Tiba-tiba saja aku jadi cengeng luar biasa. Airmataku menitik. Duh, sejahat inikah yang namanya Jakarta? Hingga mampu menciptakan dua orang bocah yang sedang makan dihadapanku menjadi pengamen jalanan dengan alat kecrekan seadanya ditengah-tengah gedung tinggi? Bahkan, celana dalampun mereka tidak punya. Mungkin punya, tapi cuma beberapa. Aku tidak menanyakan hal itu. Kurasa tidak perlu. Bodohnya aku !.

"Kamu rumah dimana?" Aku tidak mendapatkan jawaban. Hanya gelengan kepala si kecil. Ah, mereka tidak punya rumah. Rumah mereka di bedeng kardus, dekat stasiun Senen. "Jalan kaki dan numpang bis dari Senen untuk ngamen" kata sang kakak. Aku melamun. Kuhisap rokokku dalam-dalam. Rumah kardus? Pengap? Tanpa orang tua? Nyamuk? Penyakit? Kotoran dimana-mana? Adakah yang peduli dengan masa depan Ririn kecil? Adakah yang peduli? Kenapa mereka ada di Jakarta? Kenapa bisa bertemu denganku disini?

Tiba-t iba saja lamunanku buyar. "Ibu, terima kasih kami sudah makan enak".
Mataku berkaca-kaca. "Ya, sama-sama. Semoga kamu kenyang dan senang" jawabku berat. Ririn kecil tersenyum. Kurasa ia kekenyangan. Keringat didahinya berbicara. Lalu ia mulai memainkan kecrekan gembelnya. Bunyinya tidak beraturan. Tidak ada nada sama sekali. Hanya suara cadelnya yang membuatku tersenyum. Aku berkaca-kaca. Senangnya bisa memberikan arti buat mereka. "Ibu, jangan melamun. Aku mau nyanyi buat Ibu". Ah, menyanyi? Buatku? Apa istimewanya aku?. Aku tertegun. Suara cadel itu. Suara polos itu. Mereka menyanyikan sebuah lagu untukku. Aku tidak mengerti lagunya. Tapi terdengar indah ditelingaku. Ah, aku diberi hadiah: lagu !.

"Sekarang kamu berdua pulang. Masih ada yang merindukan kamu berdua. Ini bekal buat dijalanan". Aku berikan selembar duapuluh ribuan, seliter air mineral, roti manis dan sandal buat kedua bocah itu. Kebesaran. Tapi tidak apa. Mereka senan g sekali memakai sandal baru. Aku pandangi kedua bocah dengan senyum. Mereka berlarian mengejar bis. Entah kemana lagi mereka pergi. Mencari uang lagikah? Atau pulang kerumah kardus mereka di pinggiran stasiun Senen seperti ucapan mereka tadi? Aku terharu, air mataku menetes. Ah Jakarta... jahat sekali kamu.

Sudah jam 7 lewat 10. Aku pasti terlambat sekali sampai rumah ibuku. Aku harus menjemput buah hatiku dan setelah itu pulang kerumahku. Aku duduk dalam bis. Terdiam. Aku lagi-lagi meneteskan airmata. Apakah aku ditegur Tuhan? Apakah aku disentil olehNya? Mata polos itu. Mata polos itu menegurku, Tuhan.

Aku lupa bersyukur dengan apa yang telah diberikanNya untukku. Aku lupa dengan anak-anakku. Aku lupa dengan suami dan tanggung jawabku sebagai ibu dan istri. Mata Ririn kecil menusukku tajam. Aku ditegur olehnya. Oleh mata kecil polos tanpa duka itu.

Fara kecil tertidur dipangkuanku. Mikhail, buah hatiku yang sulung dengan mesra mem ainkan rambut Papanya. "Papa, hari ini aku sudah bisa belajar mewarnai. Hari ini aku tadi makannya banyak. Aku tadi mau minum obat. Aku hari ini jadi anak Papa yang pintar". Celotehannya yang cadel membuatku tersenyum berkaca-kaca. "Mikhail enggak mau cerita dengan Mama?" tanyaku. "Mikhail enggak mau cerita dengan Mama. Mama kan mama yang sibuk". Bahkan si sulungpun kini sudah mulai menjauh dariku. Dia malah lebih sayang dengan Papanya. Suamiku. Duh, rasanya seperti tertusuk jarum. Sakit. Tapi aku diam. Ini memang semua salahku.

Tertidur. Mikhail dan Fara tertidur sudah. Tanggapan akan ceritaku dari suami, hanya tersenyum. Bijaksana sekali. "Itulah teguran Allah untukmu. Maka bersujudlah. Mohon ampun padaNya". Malam itu juga aku Shalat. Memohon ampun pada yang Kuasa atas kemalasanku sebagai Ibu. Mohon ampun telah melupakanNya.

Kupandang kedua wajah polos buah hatiku tercinta. Pulas. Tampak genangan liur dibantal mereka. Far a tersenyum. Buah hati kecilku itu kalau tidur memang suka tersenyum kecil. Sayangnya Mama...

Setetes air mata kembali mengalir dipipiku. Entah siapa kedua bocah yang kutemui sore tadi sepulang kantor, entah siapa Ririn kecil yang memandangku polos, entah siapa yang telah menyanyikan sebuah lagu untukku disebuah warung nasi. Yang aku tahu, mata lugu itu telah menegurku dengan sangat tajam. Terima kasih Allah, telah mengirimkan dua bocah kecil, miskin tiada arti, untuk merubah hidupku. Mungkinkah mereka Engkau kirim untukku?
 
SEORANG KAWAN BERNAMA YATIMAN

Tahun 1997 adalah tahun yang luar biasa berat untuk saya. Sebuah tragedi besar terjadi dalam hidup saya oleh sebuah pengkhianatan dan fitnah yang dilakukan teman dekat saya. Tahun itu, saya baru saja terkena PHK akibat krisis moneter yang memorak porandakan perusahaan tempat saya bekerja sebelumnya. Saya terdampar di sebuah pabrik bakery yang manajemennya masih tradisional.

Saya tak hendak berkisah tentang siapa dia dan apa yang dilakukannya. Permasalahannya telah membaur dan berkelindan dengan masalah-masalah lain yang membuat keadaan bertambah keruh.

Akibat kejadian itu berikut kondisi-kondisi psikologis yang kurang baik, saya sempat mengidap penyakit semacam insomnia selama setahun lebih. Saya sangat sulit tidur. Dalam sehari, tak jarang saya hanya mampu lelap selama lima belas menit. Kadang-kadang, saya berangkat tidur jam delapan malam, namun belum juga bisa tidur hingga adzan shubuh. Ada kalanya tidur selama setengah jam di awal malam dan selebihnya, sampai pagi, jangan harap bisa pejam ini mata. Saat itu, yang saya butuhkan adalah teman ngobrol. Saya ingin ada orang yang bisa saya ajak berbagi.

Suatu sore, saya melihat ada karyawan baru, namanya Yatiman. Pertama kali saya melihatnya, langsung tumbuh perasaan benci. Kenapa? Dia sangat mirip dengan teman saya yang baru saja mengkhianati dan memfitnah saya. Tidak hanya wajahnya yang mirip, tetapi juga tutur katanya, suaranya, bahkan cara berjalannya. Potongan rambutnya pula, rambut lurus gaya mandarin ala Andy Lau.

Jujur, setiap melihatnya, saya lantas teringat dengan teman saya tersebut, dan karenanya, saya menjadi sangat benci. Apa lacur, kendati saya berusaha menjaga jarak, dia justru ‘ditakdirkan’ lebih sering berada di dekat saya. Ia berada dalam satu group dengan saya. Bahkan, di mess, ia berada tepat di samping saya. Ini berarti, ia lebih sering tidur di samping saya.

Seiring dengan waktu, saya mulai berusaha menata hati dan memperbaiki sikap padanya. Apalagi, saya tak melihat sedikit pun hal buruk padanya. Ia jujur, jenaka, dan ramah. Hampir setiap malam, sebelum tidur, seraya bertelekan pada lengannya, ia bertanya dan bercerita macam-macam kepada saya. Potongan-potongan hidup dan episode masa lalunya menjadi puzzle yang semakin kita bisa menghubungkan, maka semakin menariklah itu. Pun, saya jadi mengenal Yatiman dari cerita-ceritanya yang beranjak usang.

Lama-lama, sikap saya mencair. Tanpa sadar, kami menjadi teman ngobrol yang bahkan tak jarang mengusik tidur teman lain dan membuat mereka menghardik, “Ssst… Sudah malam! Jangan berisik!”

Yang saya suka dari Yatiman adalah sikapnya yang empatik. Yatiman adalah seorang teman yang istimewa untuk saya. Kendati lelah setelah bekerja seharian, ia tak bosan mendengar cerita saya dengan gaya empatiknya yang luar biasa. Ia mau bersabar mendengar cerita-cerita saya, keluhan-keluhan saya yang saya ulang-ulang hampir setiap malam. Volume suara saya yang semula tinggi berangsur-angsur turun –karena khawatir mengganggu yang lain– hingga akhirnya berubah menjadi bisik-bisik. Kadang-kadang dalam keadaan setengah lelap setengah terjaga, ia masih menyempatkan diri menanggapi dengan “oo… jadi begitu?”, “Terus?”, “Wah… hebat!”, “Mm… jadi gitu, ya?”

Terus terang, saya merasa nyaman. Humor-humornya kadang garing dan agak-agak gagap, tetapi saya tertawa dan terhibur. Tahun 1999, ia pindah kerja ke Lampung. Proses pepindahannya terbilang mendadak. Saya menangis. Saya tak bisa membayangkan bagaimana sepinya jika dia tak ada. Alangkah panjang malam-malam saya karena tak ada teman cerita. Toh, seperti ia katakan, hanya jasad kami berpisah, sedangkan hati tetap dekat.

Saat berpisah, kami berpelukan lamaaa… tanpa mampu saling berucap. Suara kami cekat di tenggorokan. Saat itu, saya mati-matian menahan linangan air mata. Barulah setelah mobil yang membawanya berlalu, saya menghambur ke kamar mandi dan menuntaskan isak di sana. Lamaaa…. Hampir dua jam saya menangis tanpa suara di kamar mandi. Teman-teman yang lain maklum dan tidak berusaha menghentikan tangis saya. Tak juga mereka mengetuk pintu kamar mandi. Mereka tahu saya sedang bersedih dengan kesedihan yang luar biasa.

Sesudah hari itu, cukup lama saya melupakan kesedihan. Setiap melihat bekas lemari pakaian Yat, hati saya terserobot rasa haru dan rindu. Setiap makan siang, saya selalu terkenang makan bersamanya seraya ngobrol banyak hal. Kendati masih ada teman-teman yang lain, namun rasanya semua jadi tak lengkap.

Darinya, sungguh, saya belajar banyak cara memberi perhatian pada orang lain. Saya selalu berharap bisa menjadi ‘dirinya untuk saya’ pada setiap orang yang saya kenal. Saya ingin… selalu menjadi teman yang istimewa untuk semua orang di mana hal itu bisa dilakukan dengan hal-hal sederhana, sesederhana yang dilakukan Yatiman pada saya.

Yat, dengan rindu untukmu.
 
SEPOTONG MAAF UNTUK MAMA

"Ki... Tolongin mama sebentar dong."
Aku merungut sambil beringsut setengah malas. Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di rumah. Sejak bang Edo kuliah di Jakarta, akulah yang jadi tempat mama minta tolong. Biasanya bang Edolah yang mengantar mama ke supermarket, ke pengajian, atau sekadar membawakan tas mama yang pulang dari kantor. Rajin ya ?

Memang begitulah abangku yang satu itu. Sedang aku ? Wuih, biasanya aku dengan bandelnya menghindar. Tapi sekarang aku sudah tidak bisa lari lagi.

"Ki, anterin mama ke rumahnya bu Dedi ya ? Ada arisan."
Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Aduh, rasanya malas sekali harus menghabiskan berjam-jam bersama ibu-ibu. Belum lagi nanti ditodong pertanyaan, "Mana nih calonnya? Kan kuliahnya sudah tingkat akhir...". Risih saja ditanya hal-hal semacam itu.
"Mmm, ini Ma. Kiki mau belajar, nanti ujian." "Yah, Ki. Kan cuma sebentar. Paling dua jam..." "Soalnya bahannya banyak banget, Ma. Nanti Kiki dapat nilai jelek lagi." "Ya, sudah. Mama pergi sendiri..."

Aku menunduk sambil pergi. Rasanya tidak enak melihat sinar kecewa di mata mama. Memang, sejak papa meninggal, mama makin sering minta ditemani ke mana-mana. Mungkin mama kesepian.
Di hari kerja, mama disibukkan dengan urusan kantornya. Sedang di akhir pekan, mama selalu minta ditemani anak-anaknya. Kalau bang Edo sih anak manis. Dia mau saja menuruti keinginan mama. Kalau aku dilarang pergi di akhir pekan, rasanya seperti hukuman. Maklumlah aktivis. Kesempatan ada di rumah tidak terlalu banyak.

Aku masuk ke dalam kamarku dan mulai membuka buku. Sebetulnya aku tidak bohong sih. Memang akan ada ujian. Tapi sebenarnya masih dua minggu lagi. Jadi aku tidak bohong kan? Aku berusaha berkonsentrasi memahami apa yang tertulis di buku tebal itu. Entah kenapa pikiranku malah melayang-layang. Dari jauh terdengar derum mobil mama menjauh dari rumah. Ada perasaan bersalah yang menyelip di hatiku.

Akhir pekan berikutnya, bang Edo pulang ke Bandung. Aku sih biasa-biasa saja. Tapi, mama senang sekali. Semalam sebelumnya, mama memasakkan semua masakan kesukaan bang Edo. Ah, dasar anak kesayangan. Tapi aku tidak iri. Biarkan saja. Setidaknya akhir pekan ini aku bebas berkeliaran. Tugas jadi pendamping mama diambil alih bang Edo untuk minggu ini.

"Ki, kenapa sih kamu nggak mau nganterin mama ?", tanya bang Edo sambil mencomot sebuah pisang goreng dari atas meja. Aku hanya melirik sekilas dari komik yang sedang aku baca. "Ya, biarin aja. Mama kan udah gede. Pergi sendiri kan juga bisa."
"Masa kamu nggak kasian ? Mama tuh sedih banget lho sama kelakuan kamu."
"Kata siapa ?"
"Mama sendiri yang bilang."
"Kan bisa dianter supir. Masa abang nggak ngerti sih ? Urusanku kan banyakjuga."
"Huu... Mana, cuma baca komik gitu !"

Aku cuma bisa nyengir tersindir. Tak lama kemudian abang pergi bersama mama. Kelihatannya mereka akan pergi ke resepsi pernikahan. Habis, bajunya rapi sekali. Tawaran untuk ikut seperti biasa aku tolak.

"Ki, mama minta tolong dong..."
Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh, mama.... Belum sempat aku menjawab, mama sudah melongok ke dalam kamar. Aku hanya bisa meringis.
"Ki, tolong ambilin berkas kerja mama di bu Joko dong." "Lho, kok bisa ada di bu Joko, Ma ?" "Iya, tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke sana. Kayaknya berkas-berkas itu ketinggalan deh di sana. Soalnya di mobil udah nggak ada. Bisa nggak kamu ambilin ?"

Aku melongo. Rasanya ingin teriak. Kali ini aku benar-benar sibuk !
Besok ada dua tugas yang harus dikumpulkan. Belum lagi sorenya ada
ujian akhir. Mana sempat mampir-mampir ke rumah orang ? Mana sudah malam begini...
"Aduh, Mama.... Kiki bener-bener sibuk... Besok ada ujian dan
tugas-tugas yang harus dikumpulin. Jadi..." "Ya, udah kalo kamu nggak mau.", balas mama dengan ketus.
Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku.
"...Kamu tuh memang nggak pernah kasihan sama Mama...", bisik mama lirih dengan sedikit terisak.

Suara mama sedikit sumbang. Sepertinya mama sedang terkena flu. Aku menatap langit-langit dengan lesu. Dengan lemas akhirnya aku memanggil mama. "Iya deh Ma... Biar Kiki yang pergi..."

Gelap. Gelap sekali. Apalagi banyak lampu jalanan yang sudah mati.
Jalanan jadi tidak jelas terlihat. Capek rasanya harus berusaha
melihat. Itulah sebabnya aku tidak suka menyetir malam-malam.

Rumah Bu Joko sebenarnya tidak jauh dari rumah kami. Tapi karena sudah malam, palang-palang jalan di kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada penjaganya. Jadinya, aku harus mengambil jalan memutar yang letaknya cukup jauh. Kalau tidak salah, satu-satunya palang yang tidak ditutup ketika malam adalah... Ah, dari sini belok kiri.
Astaghfirulllah... Ternyata ditutup juga... Aku membaringkan kepalaku di atas kemudi. Rasanya penat sekali. Entah, harus masuk ke kompleks ini lewat jalan yang mana. Akhirnya kususuri perumahan itu jalan demi jalan. Semuanya terkunci. Setelah setengah jam berputar-putar, barulah aku menemukan jalan masuknya. Jalan itu begitu sempit. Jika ada dua mobil berpapasan dari arah yang berlawanan, pastilah salah satunya harus mengalah.

Rasanya lega sekali ketika sampai di depan rumah bu Joko. Kutekan
belnya sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, tetap tidak ada jawaban.
Tiga kali, empat kali, hasilnya tetap sama. Aku menunduk lesu.
Jangan-jangan Mereka sudah tidur... Hampir saja aku berbalik pulang.
Tapi kata-kata mama terngiang di kepalaku. "Tolong ya Ki... Soalnya
berkas-berkas itu mau mama pakai untuk presentasi besok pagi."
Akhirnya dengan menelan setumpuk rasa malu, kutekan lagi bel rumah mereka sambil mengucapkan salam keras-keras.

Dari belakang aku mendengar suara berdehem. Aduh, ada hansip. Aku
menangguk basa-basi. Aduh, mama ! Bikin malu saja ! "Oh, kertas apa ya ?", tanya bu Joko dengan mata setengah mengantuk. Dasternya melambai-lambai kusut. Aku jadi tidak enak sendiri menganggu malam-malam begini.
Menit-menit selanjutnya, kami berdua mencari-cari berkas yang dikatakan mama. Tidak hanya di ruang tamu. Tapi juga di ruang tengah, ruang makan dan dapur. Soalnya tadi mama juga mampir di tempat-tempat itu. Ternyata tetap saja hasilnya nihil. Lalu aku menelepon ke rumah.
"Ma, berkasnya nggak ada tuh. Mama simpan di map warna apa ?"
"He..he...he...Udah ketemu, Ki. Ternyata sama bi Isah diturunin dari mobil terus ditaruh di meja makan."
"Tau gitu kenapa nggak telpon Kiki ! Kiki kan bawa handphone !"
"Wah, maaf Ki... Mama nggak tahu kamu bawa handphone. Mama kira..."
"Ah, udahlah ! Mama nyusahin Kiki aja !"
Aku lantas membanting gagang telepon dengan sedikit kejam. Aku berbalik dan menemukan bu Joko menatapku dengan tatapan ngeri. Aku memaksakan sebuah enyum, minta maaf lalu pamit secepatnya.

Setengah ngebut aku memacu mobilku. Hujan rintik-rintik membuat ruang pandangku semakin sempit. Nyaris jam dua belas malam. Hah, dua jam terbuang percuma. Kalau dipakai untuk mengerjakan tugas, mungkin sekarang sudah selesai... Dasar mama ...

Brakkk!!! Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Bunyinya seperti kaleng yang robek. Sesaat aku merasa semuanya semakin gelap. Aku tidak bisa lagi membedakan mana atas dan bawah. Sekujur tubuhku seperti dihimpit dari berbagai arah. Sejenak kesadaranku seperti lenyap.

Penduduk-penduduk sekitar mulai berdatangan. Mereka membantuku keluar dari mobil yang sepertinya ringsek parah. Mataku dibasahi sesuatu. Ketika kusentuh, rasanya lengket. Ya Tuhan, darah... Tubuhku lebih gemetar karena takut daripada karena sakit.

"Neng, nggak apa-apa neng ?", tanya seseorang.
Aku berusaha berdiri walau sempoyongan. Kucoba menggerakkan tangan, kaki, serta mencek apakah semuanya masih ada. Kupejamkan mata dan berusaha mencari sumber sakit. Sepertinya tubuhku baik-baik saja. Tidak ada yang patah.

Aku menatap rongsokan mobilku dengan tidak percaya. Ternyata aku
menabrak sebuah truk besar yang sedang diparkir di pinggir jalan.
Sumpah, aku tidak melihatnya sama sekali tadi !

"Neng, nggak apa-apa ?", ucap seseorang mengulangi pertanyaannya. Aku berusaha menjawab. Tapi yang terasa malah sakit dan darah. Orang di hadapanku lalu mengucap istighfar. Barulah aku sadar apa yang menyebabkannya. Darah segar berlomba mengucur dari mulutku. Lidahku... Aku langsung tak sadarkan diri.

Ketika tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Rasa nyeri mengikuti dan menghajarku tanpa ampun. Air mata menetes dari mataku... Ya Tuhan, sakit sekali....

"Udah, Ki. Jangan banyak bergerak. Dokter bilang kamu butuh banyak
istirahat."
Aku hanya bisa menatap mata mama yang sembab tanpa bisa menjawab sepatah kata pun. Hanya bisa mengeluarkan suara merintih yang menyedihkan. Mama ikut menangis mendengarnya. Aku hanya bisa mengira-ngira. Dan dokter pun membenarkannya. Kecelakaan itu tidak mencederaiku parah. Tidak ada tulang yang patah, tidak ada luka dalam. Hanya satu, lidahku nyaris putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi. Akibatnya aku lidahku harus dijahit.

Sayangnya tidak ada bius yang bisa meredakan sakitnya. Setelah itupun dokter tidak yakin aku bisa berbicara selancar sebelumnya. Tangisku meluber lagi. Yang langsung teringat adalah setumpuk kata-kata dan perilaku kasar yang selama ini kulontarkan pada mama. Ini betul-betul hukuman dari Tuhan ...
Walau sepertinya hanya luka ringan, namun sakitnya teramat sangat. Setiap kali jarum disisipkan dan benangnya ditarik, sepertinya nyawaku dirobek dan dikoyak-koyak. Aku hanya bisa melolong tanpa bisa melawan. Apa boleh buat. Kata dokter kalau lukanya di tempat lain, sakitnya mungkin bisa diredam dengan bius. Tapi tidak bisa jika lukanya di lidah.

Hari-hari selanjutnya betul-betul siksaan. Lupakanlah tentang kuliah,
tugas atau ujian. Untuk minum saja aku tersiksa. Aku menjerit-jerit
tiap ada benda yang harus melewati mulutku. Agar tubuhku tidak
kekurangan cairan, tubuhku dipasangi infus. Aku hanya bisa menangis. Menangis karena sakit, dan penyesalan. Selama aku dirawat, mamalah yang dengan telaten menungguiku. Dengan sabar ia membantuku untuk apapun yang aku perlukan.

Kami hanya bisa berkomunikasi lewat sehelai kertas. Berkali-kali aku tuliskan, "Mama, maafkan Kiki..." Mama juga sudah berkali-kali mengatakan telah memaafkan aku. Tapi tetap saja rasa
bersalah itu tak kunjung hilang. Ini benar-benar peringatan keras dari
Tuhan. Aku benar-benar malu. Walau aktif di kegiatan keagamaan,
ternyata nilai-nilai itu belum benar-benar mengalir dalam darahku. Aku tersenguk-senguk setiap ingat bagaimana cara aku memperlakukan mama.

Bagaimana mungkin aku merasa diberatkan dengan permintaannya padahal aku sudah menyusahkannya seumur hidup? Tuhan, ampuni aku... Aku benar-benar telah membelakangi nuraniku sendiri.... Jangan biarkan aku mati sebagai anak durhaka.... Kukira penderitaanku berakhir jika sudah diizinkan pulang ke rumah. Ternyata hukuman ini belum berakhir di situ. Bulan-bulan selanjutnya aku harus berlatih mengucapkan kata-kata yang selama ini mengalir mudah dari bibirku. Kembali lagi mama membimbingku belajar bicara seperti yang ia lakukan ketika aku kecil.

Himpitan penyesalan itu baru hilang ketika kata-kata itu berhasil
kuucapkan walau patah-patah. "Mama... Maafkan Kiki..."

RENUNGAN

Siang ini temanku tiba-tiba menelpon,”Makan siang yuk," ajaknya. “Oke,” jawabku. Akhirnya dia menjemputku di
lobby of Jakarta Stock Exchange building. Selepas SCBD, kami masih belum ada ide mau makan di mana. Ide ke soto Pak Sadi segera terpatahkan begitu melihat bahwa yang parkir sudah sampai seberang-seberang. Akhirnya kami memutuskan makan gado-gado di
kertanegara. Bisa makan di mobil soalnya. Sampai di sana masih sepi. Baru ada beberapa mobil. Kami masih bisa memilih parkir yang enak. Mungkin karena masih pada Jumat'an. Begitu parkir, seperti biasa, joki gado-gado sudah menanyakan mau makan apa, minum apa. Kami pesan dua porsi gado-gado + teh botol (karena ada pepatah
"apapun makanannya, minumnya selalu teh botol ---promosi hehehehe).

Sambil menunggu pesanan, kami pun ngobrol. Tiba-tiba ada seorang pemuda lusuh nongol di jendela mobil kami, kami agak kaget. "Semir Om?" tanyanya. Aku lirik sepatuku. Ugh, kapan ya terakhir aku nyemir sepatuku sendiri? Aku sendiri lupa. Saking lamanya. Maklum, aku kan karyawan sok sibuk... Tanpa sadar tanganku membuka sepatu dan memberikan sepatuku padanya. Dia menerimanya lalu membawanya ke emperan sebuah rumah. Tempat yang terlihat dari tempat kami parkir. Tempat yang cukup teduh. Mungkin supaya nyemirnya nyaman.

Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil ngobrol. Sambil memperhatikan pemuda tadi nyemir sepatuku. Pembicaraan pun bergeser ke pemuda itu. Umur sekitar 20-an. Terlalu tua untuk jadi penyemir sepatu. Biasanya pemuda umur segitu kalo tidak jadi tukang parkir atau jadi kernet, atau yah jadi pak ogah. Pandangan matanya kosong. Melamun. Seperti orang sedih. Seperti ada yang dipikirkan. Tangannya seperti menyemir secara otomatis. Kadang-kadang matanya melayang ke arah mobil-mobil yang hendak parkir. Lalu pandangannya kembali kosong. Perbincangan kami mulai ngelantur ke mana-mana. Tentang kira-kira umur dia berapa, pagi tadi dia mandi apa nggak, kenapa dia jadi penyemir dan lain lain. Kami masih makan saat dia selesai menyemir. Dia menyerahkan sepatunya padaku. Belum lagi dia kubayar, dia bergerak menjauh, menuju mobil-mobil yang parkir sesudah kami.

Mata kami lekat padanya. Kami melihatnya mendekati sebuah mobil. Menawarkan jasa. Ditolak. Nyengir. Kelihatannya dia memendam kesedihan. Pergi ke mobil satunya. Ditolak lagi. Melangkah lagi dengan gontai ke mobil lainnya. Menawarkan lagi. Ditolak lagi. Dan setiap kali dia ditolak, sepertinya kami juga merasakan penolakan itu.
Sepertinya sekarang kami jadi ikut menyelami apa yang dia rasakan. Tiba-tiba kami tersadar. Konyol ah. Bagaimanapun juga siapa yang bilang hidup ini adil? Kenapa jadi kita yang mengharapkan bahwa semua orang harus menyemir? Hihihi...

Perbincangan pun bergeser ke topik lain. Di kejauhan aku masih bisa melihat pemuda tadi, masih menenteng kotak semirnya di satu tangan, mendapatkan penolakan dari satu mobil ke mobil lainnya. Bahkan, selain penolakan, di beberapa mobil, dia juga mendapat pandangan curiga. Akhirnya dia kembali ke bawah pohon. Duduk di atas kotak semirnya. Tertunduk lesu...

Kami pun selesai makan. Ah, iya. Aku belum bayar penyemir tadi. Kulambai dia. Kutarik 2 buah lembaran ribuan dari kantong kemejaku. Uang sisa parkir. Lalu kuberikan kepadanya. Soalnya setahuku jasa nyemir biasanya Rp. 2.000,-.
Dia berkata kalem, "Kebanyakan om. Seribu aja".
BOOM. Jawaban itu tiba-tiba serasa petir di hatiku.
Ini tidak dapat kupikir dengan logika!
Bayangkan, orang seperti dia masih berani menolak uang yang bukan haknya. Aku masih terbengong-bengong sewaktu menerima uang
Rp. 1.000,- yang dia kembalikan.

Se-ri-bu Ru-pi-ah. Bisa buat apa sih sekarang? Tetapi, dia merasa cukup dibayar segitu. Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa ngeri. Betapa aku masih sedemikian kerdil. Betapa aku masih suka merasa kurang dengan gajiku. Padahal keadaanku sudah - sangat jauh - lebih baik dari dia. Tuhan sudah sedemikian baik bagiku, tapi perilakuku belum seberapa dibandingkan dengan pemuda itu, yang dalam kekurangannya, masih mau memberi, ke aku, yang sudah berkelebihan.

Siang ini aku merasa mendapat pelajaran berharga. Siang ini aku seperti diingatkan. Bahwa kejujuran itu langka. Bahwa kepuasan itu ada di rasa syukur.
 
MENCINTAI KEHIDUPAN DAN HIDUP

Saat itu aku anak tunggal yang punya segala sesuatu yang kuinginkan. Tapi bahkan seorang anak kaya yang cantik dan manja pun juga bisa merasa kesepian sekali-kali, jadi ketika ibu memberitahuku bahwa ia hamil, aku benar-benar luar biasa gembiranya, wuihhh... begitu penuh suka cita. Aku mulai membayangkan kau, bakal betapa bagusnya dan bagaimana kita ini akan selalu bersama-sama dan kau akan begitu mirip menyerupai aku.

Jadi, ketika kau lahir, kuamati tangan-tanganmu yang kecil mungil dan dengan bangga kau kutontonkan pada sahabat-sahabatku. Mereka menyentuhmu dan kadang-kadang mencubitmu, tapi kau tak pernah bereaksi. Waktu kau lima bulan, beberapa hal mulai meresahkan ibu. Kau tampaknya begitu diam, hampir-hampir tak pernah bergerak dan seakan mati rasa, dan tangismu itu begitu aneh bunyinya, mirip-mirip seperti anak kucing.

Akhirnya kami membawamu ke dokter. Sampai ke dokter ketigabelas
mengamatimu tanpa suara dan berkata bahwa kau mengidap sindroma "cry du chat" (kri-du-sya) --- (tangisnya kucing dalam Bahasa Perancis).

Saat aku tanya apa artinya itu, ia menatapku, penuh belas kasih dan dengan lembut berkata, "Adikmu tak pernah akan mampu berjalan atau bicara."

Dokter itu bilang, ini suatu kondisi yang menimpa satu dari 50.000
kelahiran, menyebabkan korban jadi terbelakang dan cacat. Ibu jadi kaget sekali dan naik darah, ia marah-marah. Kupikir itu kurang adil.

Waktu kami pulang, ibu menggendongmu dalam tangannya dan mulai
menangis. Aku melihatmu dan menyadari bahwa omongan-omongan akan beredar bahwa kau tak normal. Jadi, untuk mempertahankan popularitasku, aku lakukan apa yang tidak termakan akal sehat, kuanggap kau bukan lagi milikku. Ayah dan ibu tidak tahu soal ini, tapi aku mengeraskan diriku agar tidak mencintaimu selama kau tumbuh.

Ibu dan ayah mengucurimu dengan cinta kasih dan perhatian dan itu
membuatku pahit getir. Dan dengan berlalunya tahun demi tahun, kepahitan itu berubah menjadi kemarahan, dan kemudian menjadi kebencian. Ibu tak pernah melepaskan harapan terhadapmu. Ia tahu ia harus melakukan dan bertahan demi kamu. Setiap kali ia letakkan mainanmu ke bawah, kau akan bergulingan dan bukannya merangkak. Kulihat hati ibu patah hancur setiap kali ia menyimpan mainan mainanmu, dan mengikatkan potongan plastik stirofom di perutmu agar kau tak bisa mengguling. Tapi kau tetap berjuang dan kau menangis begitu menyayat hati dalam nada dan bunyi yang teramat
memilukan hati, bunyi tangis anak kucing.... Tapi meski demikian, ibu tetap bertahan dan pantang menyerah.

Lalu pada suatu hari, kau mengalahkan segala omongan para doktermu soal kau cuma bisa merangkak. Saat ibu melihat hal ini, ia tahu bahwa kau akhirnya pasti akan bisa berjalan. Jadi saat kau masih merangkak ketika usiamu sudah empat tahun, ia menaruhmu di atas rumput cuma dengan memakai popok, tahu bahwa engkau tak senang dan benci tiap kali merasakan tusukan rumput pada kulitmu. Lalu ia akan meninggalkan kau di situ begitu saja.

Aku terkadang mengawasimu dari jendela dan bahkan tersenyum melihat ketidaksenanganmu. Kau akan merangkak ke tepi jalan setapak, dan ibu selalu mengembalikanmu. Lagi dan kembali lagi, ibu mengulangi ini terus menerus di atas rerumputan. Sampai pada suatu hari, ibu melihat kau, Patrick, mengangkat dirimu berdiri dan jalan ter-tatih-tatih keluar dari rumput secepat kaki kecilmu bisa mengangkatmu.

Begitu penuh suka cita, ibu tertawa dan menangis, memanggilku dan ayah agar datang. Ayah memelukmu dan menangis begitu bebasnya. Aku mengawasi dari jendela kamar tidurku peristiwa yang begini menyentuh dan meluluhkan hati ini. Tahun-tahun berikutnya, ibu mengajarimu berbicara, membaca dan menulis. Sejak saat itu, sekali-kali aku lihat kau berjalan di luar, menciumi harumnya bunga-bunga, mengagumi burung-burung , atau cuma bersenyum, tertawa
sendiri.........

Aku mulai melihat keindahan dunia di sekitarku, kesederhanaan dan
kepolosan hidup ini dan segala keajaiban dunia ini lewat matamu. Saat itu barulah aku menyadari bahwa sesungguhnya engkau saudaraku dan tak perduli betapa banyaknya aku berusaha untuk membencimu, aku tidak bisa sebab aku telah tumbuh untuk mencintaimu. Hari-hari berikutnya, kita kembali saling berhubungan. Aku membelikanmu mainan dan memberikan seluruh cinta yang pernah bisa diberikan oleh seorang kakak perempuan pada adik lakinya. Dan kau akan membalas mengimbaliku lewat senyum dan dekapanmu. Tapi aku rasa, kau memang tak ditakdirkan untuk benar-benar menjadi milik kami.

Pada hari ultahmu yang kesepuluh, kau rasakan sakit kepala hebat.
Diagnosa para dokter? Leukemia. Ibu cuma terperangah, napasnya begitu tersendat-sendat dan ayah memeluknya, sementara itu aku bergumul dan berjuang keras sekali untuk menahan keluarnya air mataku. Saat itulah, aku begitu mencintaimu. Dan aku tidak tahan untuk pergi meninggalkanmu.

Lalu para dokter memberitahu kami bahwa satu-satunya harapanmu ialah transplantasi sumsum tulang. Kamu menjadi subjek bagi pencarian donor darah secara nasional. Lalu, saat kami akhirnya menemukan yang cocok, ternyata kau sudah terlanjur demikian parah sakitnya. Dokter-dokter dengan berat hati membatalkan operasi itu.

Sejak saat itu, kau menjalani kemoterapi dan radiasi. Sampai pada
akhirnya, kau masih tetap meneruskan bertahan menguber hidup. Hanya sekitar satu bulan sebelum kau meninggalkan kami, kau minta padaku untuk membuat sebuah daftar segala hal yang kau ingin lakukan apabila kau meninggalkan rumah sakit.

Dua hari setelah daftar itu terselesaikan, kau meminta agar dokter-dokter melepaskan kau pulang. Di situ, kita makan es krim dan kue, berlarian di rumput, menaikkan layangan, pergi memancing, saling bergantian mengambil foto dan membiarkan balon-balon gas lepas membubung pergi. Aku masih ingat pembicaraan terakhir kita kok. Kau malah ngomong, sekiranya kau mati, dan aku ini butuh pertolongan, aku bisa mengirimkan suatu catatan terikat pada
benang ditambatkan di balon gas dan biarkan saja terbang. Saat kau bilang itu, aku mulai menangis. Lalu engkau memelukku. Lalu, sekali lagi, untuk terakhir kalinya, engkau jatuh sakit lagi.

Malam terakhir itu, kau meminta air, kau minta punggungmu digosok, kau jadi manja minta diemong kayak bayi lagi. Akhirnya, kau mengalami kejang-kejang dibarengi air mata yang mengaliri mukamu. Belakangan, di rumah sakit, kau berjuang berusaha berbicara, tapi kata-katamu tak mau keluar. Aku tahu apa yang ingin kau katakan.

"Aku mendengar kok, omonganmu.." aku berbisik. Dan untuk terakhir
kalinya, aku berkata, "Aku akan selalu mencintaimu dan aku tak pernah akan melupakanmu. Janganlah takut ya... Kau sebentar lagi akan bersama Tuhan di surga." Lalu, dengan air mata deras berderai, aku memandangi seorang bocah laki-laki yang paling tabah yang pernah kukenal, akhirnya berhenti bernafas.
Ayah, ibu, dan aku sendiri menangis dan menangis terus sampai se-
akan tak ada lagi air mata tersisa. Patrick akhirnya kau hilang, pergi
meninggalkan kami semua. Mulai saat itu, engkau adalah sumber inspirasi bagiku. Kau menunjukkanku bagaimana mencintai kehidupan dan hidup, dan menghidupinya sepenuhnya.

Dengan kesederhanaan dan kejujuranmu, kau telah menunjukkan aku
sebuah dunia penuh cinta dan kepedulian. Dan kaulah yang membuatku sadar bahwa hal yang terpenting di dalam hidup ini ialah terus mengasihi tanpa bertanya mengapa dan bagaimana dan tanpa menetapkan batas-batas apapun.

Dengan surat dan balon ini, aku terbang dan layangkan cinta kasihku kepadamu. Terima kasih padamu, adik kecilku, untuk segalanya.

MAAFKAN SAYA TUHAN

Seutama-utama amal, adalah memasukkan kebahagiaan ke dalam sanubari saudaranya, dengan membebaskannya dari kesulitan, ..... (sabda Nabi al-Musthafa)

Sebuah masa, ketika saya duduk di bangku SMP.

"Mas Ento", biasa saya menyebutnya. Seorang lelaki yang tidak lagi muda, penjual bakso keliling di desa tempat saya tinggal. Keriput kulit begitu nyata terukir di wajah legam tanpa ekspresinya. Jarang sekali beliau tersenyum, hanya sepatah kata khasnya yang sering singgah menyapa saya "Ento", sebuah kata yang diucapkannya ketika saya meminta "Mas, jangan pakai kecap yah!". Karena beliau orang jawa, "henteu" yang berarti "tidak" dalam bahasa Sunda itu terucap "Ento".

Sebenarnya baksonya tidak seenak 2 penjual bakso rivalnya, itulah mengapa jarang sekali pembeli menghentikannya. Hanya karena rasa iba, saya menjadi langganannya. Sering saya melihatnya termenung sendiri dibawah pohon jambu dekat lapangan tempat banyak anak-anak bermain. Setiap rivalnya datang, dia bergegas seperti ketakutan membawa dagangannya yang tanpa roda itu pergi. Saya pernah bertanya tentang hal ini kepadanya, namun seperti biasanya dia diam dan beralih menanyakan berapa porsi bakso yang ingin saya beli.

Akhirnya saya mendapatkan jawabannya sendiri. Tidak perlu lagi saya bersusah payah bertanya. Saya tahu kenapa senyumannya mahal terkembang. Saya sangat faham, pias wajah ketakutan yang membayang ketika rivalnya datang. Saat itu, di tempat sepi saya menyaksikan sebuah episode kedzaliman. Rivalnya melakukan sebuah hal yang sungguh tidak dapat saya fahami. Mangkuk-mangkuk bakso milik mas Ento menjadi terserak dijalanan, belum lagi botol-botol itu, bulatan-bulatan bakso terhambur dari tempatnya. Kuahnya tumpah mengenai kakinya yang tak lagi sempurna berjalan. Tanpa beban, sang rival melenggang pergi meninggalinya banyak kepedihan. Ingin sekali saya meneriakinya "kurang ajar", tetapi melihat sosoknya yang besar membuat saya hanya mematung, meski hati saya ribut tidak karuan.

Sejak peristiwa tadi saya tidak pernah lagi mendengar kata "Ento" terucap darinya, karena beliau tidak pernah lagi datang. Hanya sang rival yang kerap menghadiahi tatapan tajam yang saya jumpai selanjutnya.

Setiap teringat mas Ento, saya pasti berguman dengan ungkapan yang saya adopsi dari sebuah puisi "Maafkan saya tuhan, di depan saya ada orang yang di zalimi tetapi saya tidak menolongnya".

***

Suatu saat menjelang siang,
Seorang bocah kecil pengamen, berdiri di dalam bis menghadap para penumpang. Udara terik menyengat, matahari galak sekali. Suara paraunya menggema di bis yang akan membawa saya ke terminal leuwi panjang, Bandung. Beberapa lagu diperdengarkannya kepada kami. Saya memandangnya sayang, tangannya hanya satu yang sempurna, tangan sebelah kiri buntung sampai sikut. Mungkin karena itulah hampir semua penumpang memasukkan uang ke dalam bekas bungkus kemasan aqua gelas yang diedarkannya. Saya yang duduk dibelakang dapat menyaksikan binar mata kegembiraan sang bocah yang mengaso dekat pintu.

Bis sudah masuk terminal, penumpang telah banyak turun. Si kondektur menyeret bocah tadi hampir tepat di hadapan saya. "Sini!!" bentak lelaki bertopi itu, tangannya meraih paksa tempat uang si bocah. Dengan tersenyum dia menghitung, dan tanpa beban dia mengembalikan wadah kosong ke tangan sang bocah. Dan lagi-lagi saya tidak berbuat apa-apa atas sebuah epsiode durjana. Saya hanya diam, meski hati ini juga ribut tak karuan. Sebetulnya ingin sekali saya membelanya, namun melihat wajah sangar berbadan kekar, keberanian saya surut. Saya menatap wajah pasrah itu. "Ngga apa-apa mba, sudah biasa". Itu yang diucapkan si bocah sebelum pergi.

Jika sudah begitu, tak ada yang dapat menentramkan hati kecuali sebuah doa ampunan, "Maafkan saya tuhan, di hadapan saya ada mahlukmu yang dizalimi, tetapi saya tidak mampu berbuat apa-apa".

Jika kita renungkan saat ini, jari ditangan tak akan mampu membilang episode-episode kezaliman. Amerika yang begitu pongah mengobrak-abrik Afghanistan. Bom-bom cluster yang tercurah, mengoyak banyak tubuh manusia. Ujudnya nyata kita saksikan di layar televisi. Mereka yang direnggut nyawa dengan cara demikian, adalah saudara kita. Bukankah Mereka juga shalat, puasa dan berdoa kepada Allah yang maha Akbar, sama sepert kita.

Belum lagi Irak, yang oleh Amerika dimasuki jantung kotanya dengan begitu mudah. Tak terhitung penduduknya harus rela dijemput maut oleh rudal-rudal canggih berkedok pembebasan tirani Saddam. Kita pandang mayat-mayat mereka yang sudah tidak lagi utuh. Kita sangat tahu, mereka adalah saudara kita, bukankah nabi mereka sama dengan yang kita junjung?. Dan tentu saja yang paling akrab dengan kedzaliman adalah Palestina. Hanya batu yang para pemuda punya, sementara yahudi berartileri hebat. Dan para ibunda di sana, harus siap kapan saja menyongsong kabar indah kematian para putranya. Sekali lagi, yang diusir hina dari negerinya yang sah oleh Israel, adalah saudara kita. Bukankah sesama muslim adalah saudara?.

Kita saksikan banyak kedzaliman, kita menyantapnya setiap hari dari berita-berita dunia. Apa kabar kita? Merasakan pedihnya jugakah? Mereka adalah bagian anggota tubuh yang perih, seharusnya kita sebagai satu tubuh juga demikian.

Nabi bersabda, ketika kemungkaran berada dihadapan, cegahlah dengan tangan, itulah seutama-utamanya iman. Jika belum mampu, sergahlah dengan lisan yang kita punya. Dan yang terakhir, bencilah dengan hatimu, berdoalah dan nabi melabelkan hal ini dengan iman yang paling lemah.
Mungkin, keberanian yang saya punyai alakadarnya saja. Tetapi, mudah-mudahan tidak dengan para sahabat sekalian. Jika kezaliman terbentang dihadapanmu, jangan pernah seperti saya, yang hanya menggumankannya dalam hati. Sebuah tanda nyata, tentang keimanan yang paling lemah, tentu saja.
 
KUBERIKAN SAAT MASIH HIDUPKUBERIKAN SAAT MASIH HIDUP

Suatu ketika seorang yang sangat kaya bertanya kepada temannya.

"Mengapa aku dicela sebagai orang yang kikir? Padahal semua orang tahu bahwa aku telah membuat surat wasiat untuk mendermakan seluruh harta kekayaanku bila kelak aku mati."

"Begini," kata temannya, akan kuceritakan kepadamu tentang kisah babi dan sapi.

Suatu hari babi mengeluh kepada sapi mengenai dirinya yang tidak disenangi manusia.

"Mengapa orang selalu membicarakan kelembutanmu dan keindahan matamu yang sayu itu, tanya babi. Memang kau memberikan susu, mentega dan keju. Tapi yang kuberikan

jauh lebih banyak. Aku memberikan lemak, daging, paha, bulu, kulit. Bahkan kakiku pun dibuat asinan! Tetapi tetap saja manusia tak menyenangiku. Mengapa?"

Sapi berpikir sejenak dan kemudian menjawab, "Ya, mungkin karena aku telah memberi kepada manusia ketika aku masih hidup."
 
KELEDAI TUA

Suatu hari ada seekor keledai milik seorang petani yang jatuh ke dalam sumur yang dalam dan kering. Binatang tersebut menangis dengan nyaring selama beberapa jam sementara itu sang petani tersebut mencoba mencarikan jalan keluarnya. Akhirnya, dia memutuskan bahwa keledai itu sudah terlalu tua, sumur itu juga perlu ditutup, dan menolong keledai tersebut merupakan suatu usaha yang sia-sia belaka. Sehingga dia mengundang tetangganya untuk datang ke lokasi guna membantunya mengubur keledai tersebut di dalam sumur untuk menghentikan kesengsaraannya.

Mereka semuanya memegang cangkul dan mulai menimbunkan tanah ke dalam sumur. Pada awalnya, keledai tersebut menyadari apa yang sedang terjadi dan lagi-lagi menangis dengan begitu memilukan. Tidak lama kemudian, semua orang menjadi tercengang karena keledai tersebut tiba-tiba diam. Setelah beberapa cangkulan kemudian, petani tersebut melongok ke dalam sumur dan begitu terpana atas apa yang dilihatnya. Keledai tersebut melakukan suatu hal yang memukau atas setiap cangkulan tanah yang menimpa punggungnya. Keledai tersebut melepaskannya dengan menggoyangkan badannya dan lalu melangkah naik ke atas tanah yang telah jatuh tersebut!

Setiap kali mereka menjatuhkan cangkulan tanah ke atas binatang tersebut, ia akan melepaskannya dan melangkah ke atasnya. Tidak lama kemudian, semua orang terperongoh begitu sang keledai memenangkan perjuangan tersebut dengan melangkah naik di pinggir sumur dan meloncat keluar! Seperti keledai tersebut, kehidupan ini juga akan senantiasa membuat tubuhmu kotor juga, segala macam kotoran. Cara untuk keluar dari sumur tersebut adalah melepaskannya dan sambil melangkah naik ke atas. Setiap kali Anda mengalami kemerosotan adalah seperti kotoran yang dicangkulkan ke atas punggung kita. Setiap kesulitan yang kita hadapi merupakan suatu batu loncatan. Kita hanya dapat keluar dari sumur yang paling dalam sekalipun hanya dengan tanpa berhenti, dengan tanpa putus asa! Lepaskan dan melangkah ke atas!

Apa yang kelihatan sepertinya akan menimbun keledai tersebut sebenarnya merupakan suatu berkah, karena cara yang dipakai merupakan suatu jalan keluar yang sebaliknya. Ini merupakan suatu kunci misteri kehidupan ini. Jika kita menghadapi masalah, tanggapilah secara positif dan jangan menjadi panik serta terlarut dalam kegetiran, kebalikan yang menyertai usaha membenamkan kita biasanya terdapat potensi yang bermanfaat dan merupakan berkah buat kita!

Semuanya tergantung pada kita sendiri untuk selalu ingat buat mengembangkan kemampuan diri kita guna memaafkan, melupakan, dan melangkah terus pada tujuan kita. Kita harus terus mengembangkan keyakinan, harapan, dan kemampuan kita untuk mengasihi tanpa syarat apapun. Ini merupakan peralatan yang akan membantu kita "melepaskannya dan melangkah ke atas" keluar dari sumur-sumur di mana akhirnya kita akan menemukan jati diri kita.

Ingatlah selalu akan lima peraturan sederhana berikut ini agar senantiasa berbahagia:

1.. Bebaskan hati Anda dari segala kebencian.
2.. Bebaskan benak Anda dari segala kerisauan.
3.. Hidup secara sederhana.
4.. Berikan lebih banyak.
5.. Mengharap lebih sedikit. 
 
KEAJAIBAN HIDUP

Pada suatu hari sepasang suami isteri sedang makan bersama di rumahnya. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk seorang pengemis. Melihat keadaan pengemis itu, si isteri merasa terharu dan dia bermaksud hendak memberikan sesuatu. Tetapi sebelumnya sebagai seorang wanita yang patuh kepada suaminya, dia meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya, "Suamiku, bolehkah aku memberi makanan kepada pengemis itu ?".

Rupanya suaminya memiliki karakter berbeda dengan wanita itu. Dengan suara lantang dan kasar menjawab, "Tidak usah! usir saja dia, dan tutup kembali pintunya!" Si isteri terpaksa tidak memberikan apa-apa kepada pengemis tadi sehingga dia berlalu dengan kecewa.

Pada suatu hari yang naas, perdagangan lelaki itu jatuh bangkrut. Kekayaannya habis dan ia menderita banyak hutang. Selain itu, karena ketidakcocokan sifat dengan isterinya, rumah tangganya menjadi berantakan sehingga terjadilah perceraian.

Tidak lama sesudah masa indahnya bekas isteri yang pailit itu menikah lagi dengan seorang pedagang dikota dan hidup berbahagia. Pada suatu ketika wanita itu sedang makan dengan suaminya (yang baru), tiba-tiba ia mendengar pintu rumahnya diketuk orang. Setelah pintunya dibuka ternyata tamu tak diundang itu adalah seorang pengemis yang sangat mengharukan hati wanita itu. Maka wanita itu berkata kepada suaminya, "Wahai suamiku, bolehkah aku memberikan sesuatu kepada pengemis ini?". Suaminya menjawab, "Berikan makan pengemis itu!".

Setelah memberi makanan kepada pengemis itu isterinya masuk kedalam rumah sambil menangis. Suaminya dengan perasaan heran bertanya kepadanya, "Mengapa engkau menangis? apakah engkau menangis karena aku menyuruhmu memberikan daging ayam kepada pengemis itu?".

Wanita itu menggeleng halus, lalu berkata dengan nada sedih, "Wahai suamiku, aku sedih dengan perjalanan takdir yang sungguh menakjubkan hatiku. Tahukah engkau siapa pengemis yang ada diluar itu ?............ Dia adalah suamiku yang pertama dulu."

Mendengar keterangan isterinya demikian, sang suami sedikit terkejut, tapi segera ia balik bertanya, "Dan, tahukah engkau siapa aku yang kini menjadi suamimu ini?.................. Aku adalah pengemis yang dulu diusirnya!".
 
KASIHILAH SELAGI BISA

Untuk mengingatkan bahwa ada orang yang menyayangi kita (mungkin...) tanpa kita sadari... sampai suatu saat kita harus kehilangannya...... dan apakah kita harus kehilangannya lebih dahulu untuk menyadarinya....?

Semuanya itu disadari John pada saat dia termenung seorang diri, menatap kosong keluar jendela rumahnya.

Dengan susah payah ia mencoba untuk memikirkan mengenai pekerjaannya yang menumpuk. Semuanya sia-sia belaka. Yang ada dalam pikirannya hanyalah perkataan anaknya, Magy, di suatu sore sekitar 3 minggu yang lalu.

Malam itu, 3 minggu yang lalu John membawa pekerjaannya pulang. Ada rapat umum yang sangat penting besok pagi dengan para pemegang saham.

Pada saat John memeriksa pekerjaannya, Magy, putrinya yang baru berusia 2 tahun datang menghampiri, sambil membawa buku ceritanya yang masih baru. Buku baru bersampul hijau dengan gambar peri.
Dia berkata dengan suara manjanya,
"Papa lihat !"
John menengok ke arahnya dan berkata,
"Wah, buku baru ya ?"
"Ya Papa!" katanya berseri-seri, "Bacain dong !"
"Wah, Ayah sedang sibuk sekali, jangan sekarang deh", kata John dengan cepat sambil mengalihkan perhatiannya pada tumpukan kertas di depan hidungnya.
Magy hanya berdiri terpaku di samping John sambil memperhatikan. Lalu dengan suaranya yang lembut dan sedikit dibuat-buat mulai merayu kembali,
"Tapi mama bilang Papa akan membacakannya untuk Magy".
Dengan perasaan agak kesal John menjawab,
"Magy dengar, Papa sangat sibuk. Minta saja Mama untuk
membacakannya."
"Tapi Mama lebih sibuk daripada Papa," katanya sendu.
"Lihat Papa, gambarnya bagus dan lucu."
"Lain kali Magy, sana! Papa sedang banyak kerjaan."
John berusaha untuk tidak memperhatikan Magy lagi.

Waktu berlalu, Magy masih berdiri kaku di sebelah ayahnya sambil memegang erat bukunya.
Lama sekali John mengacuhkan anaknya. Tiba-tiba Magy mulai lagi,
"Tapi Papa, gambarnya bagus sekali dan ceritanya pasti
bagus!
Papa pasti akan suka."
"Magy, sekali lagi Ayah bilang, lain kali!" dengan agak keras John membentak anaknya.
Hampir menangis Magy mulai menjauh, "Iya deh, lain kali ya Papa, lain kali."
Tapi Magy kemudian mendekati Ayahnya sambil menyentuh lembut tangannya,menaruh bukunya dipangkuan sang Ayah sambil berkata,

"Kapan saja Papa ada waktu ya, Papa tidak usah baca untuk Magy, baca saja untuk Papa. Tapi kalau Papa bisa, bacanya yang keras ya, supaya Magy juga bisa ikut dengar."
John hanya diam.

Kejadian 3 minggu yang lalu itulah sekarang yang ada dalam pikiran John.John teringat akan Magy yang dengan penuh pengertian mengalah.

Magy yang baru berusia 2 tahun meletakkan tangannya yang mungil di atas tangannya yang kasar mengatakan, "Tapi kalau bisa bacanya yang keras ya Pa, supaya Magy bisa ikut dengar."
Dan karena itulah John mulai membuka buku cerita yang diambilnya, dari tumpukan mainan Magy di pojok ruangan. Bukunya sudah tidak terlalu baru, sampulnya sudah mulai
usang dan koyak. John mulai membuka halaman pertama dan dengan suara parau mulai membacanya. John sudah melupakan pekerjaannya yang dulunya amat penting.
Ia bahkan lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap pemuda mabuk yang dengan kencangnya menghantam tubuh putrinya di jalan depan rumah.
John terus membaca halaman demi halaman sekeras mungkin, cukup keras bagi Magy untuk dapat mendengar dari tempat peristirahatannya yang terakhir.
Mungkin...
"Lakukan sesuatu untuk seseorang yang anda kasihi sebelum terlambat, karena sesal kemudian tidak akan ada gunanya lagi....
Lakukan sesuatu yang manis untuk orang-orang yang kamu kasihi, dengan waktu yang anda punya..." 
 
HATI NURANI SI PENCURI

Pada suatu malam, seorang pencuri menyelinap ke sebuah rumah yang di huni oleh seorang nyonya tua, yang saat itu sedang duduk di samping meja. Sungguh beruntung sekali, pikir si pencuri. Tiba-tiba terdengar tangisan nyonya tua itu dengan tersedu-sedu, lalu mengambil sebuah gunting dan mengarahkannya ke leher.

"Ah.....! tidak boleh!" teriak si pencuri. Tanpa sadar ia berlaku sebagai pencuri, dia menerobos ke dalam rumah dan merampas gunting dari tangan nyonya itu.
"Biarkan aku mati...," ronta nyonya tua itu.
"Masalah apa yang terjadi? Bicarakan padaku, Untuk apa memilih jalan pintas?"

Ternyata Nyonya tua itu baru saja ditinggalkan suaminya. Anak dan menantu tidak berbakti, ditambah lagi menderita sakit hingga merasakan hidup ini tidak berarti lagi. Setelah dinasehati panjang lebar, niat untuk bunuh diri tadi perlahan-lahan hilang. Setelah ramai sejenak, para tetangga mengalihkan perhatian pada si pencuri tadi.

"Terima kasih,Tuan ! Tanpa pertolongan anda, tragedi malam ini tentu akan terjadi", cetus mereka.
"Kalian terlalu sungkan. Saya menolong nyonya ini adalah suatu reaksi spontan, sungguh tak pantas di puji",jawab si maling.
"Tuan, apakah marga anda?"
" Saya bermarga Tan."

Setelah berbasa-basi sebentar,tiba2 salah seorang di antara mereka berkata : "Oh ya! Ada satu hal yang perlu kita ketahui". kemudian matanya melirik kepada si maling.

"Tuan Tan, bagaimana engkau bisa sampai di sini dan menyelamatkan nyonya tua ini? Dari mana anda masuk?"
Si maling menjadi pusat perhatian puluhan pasang mata. "Celaka! tak mungkin merahasiakannya lagi. Lebih baik berterus terang saja", pikirnya.

"Saya masuk ke sini dengan memanjat tembok. Semula berniat mencuri,tak tahunya bertemu dengan seorang nyonya tua yang sedang putus asa. Niat mencuri hilang seketika begitu saya masuk ke dalam menyelamatkan si nyonya tua ini".

Kendati para tetangga terbengong mendengarkannya, namun mengingat ia telah menyelamatkan nyawa orang, maka mereka menasehatinya lalu membiarkannya pergi.

Terbukti bahwa seberapa jahatnya manusia,ia tetap memiliki hati nurani untuk menolong orang lain. Kita harus memberikan kesempatan.

INDAHNYA BERPRASANGKA BAIK

Dua laki-laki bersaudara bekerja di sebuah pabrik kecap dan sama-sama belajar agama islam untuk sama-sama mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka berjalan kaki mengaji kerumah gurunya yang jaraknya sekitar 10 KM dari rumah peninggalan orangtua mereka.

Suatu ketika sang kakak berdo'a memohon rezeki untuk membeli sebuah Mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja.

Lalu sang kakak berdo'a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik perangai.

Kemudian berturut-turut sang Kakak berdo'a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain dengan itikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do'anya itu.

Sementara itu sang Adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya seringkali sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, dan sang adik sering kali harus berjalan kaki untuk mengaji kerumah guru mereka.

Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya, dan dia teringat adiknya selalu membaca selembar kertas apabila dia berdo'a menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan untuk berdo'a. lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo'a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do'a-do'anya tiada dikabulkan oleh Allah azza wa jalla.

Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu.

Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do'anya takpernah terkabul.

Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya yang berisi tulisan do'a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do'a untuk guru mereka, do'a selamat dan ada kalimah di akhir do'anya:

"Yaa, Allah. tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu,

Ampunilah aku dan kakak ku, kabulkanlah segala do'a kakak ku, bersihkanlah hati ku dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku didunia dan akhirat, "

Sang Kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya, tak dinyana ternyata adiknya tak pernah satukalipun berdo'a untuk memenuhi nafsu duniawinya.

DON'T HATE ME MOM!

Oh, Tuhan, ijinkan aku menceritakan hal ini..., sebelum ajal
menjemputku...
Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh... Sam, suamiku, memberinya nama Eric.
Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak
terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga.

Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan sayapun melahirkan kembali
seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah... Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya.

Saat usia Angelica 2 tahun, Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur
4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup.
Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Eric yang sedang tertidur lelap. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang.

Setahun..., 2 tahun..., 5 tahun..., 10 tahun... telah berlalu sejak
kejadian itu. Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria
dewasa. Ia adalah seorang pastor di gereja St. Maria. Usia pernikahan
kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya
yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi
sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang.

Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.
Sampai suatu malam... Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak... Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali... Ia melihat ke arah saya.
Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya?
Saya lindu cekali pada mommy!"
Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya
menahannya,
"Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu.
Siapa namamu anak manis?"
"Nama saya Elic, Tante."
"Eric...? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric???"
Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film
yang diputar di kepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa
jahatnya perbuatan saya dulu.

Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati...,
mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya
goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas
kembali di pikiran saya.
Ya Eric, mommy akan menjemputmu Eric...

Sore itu saya memarkir mobil Civic biru saya di samping sebuah gubuk,
dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal
yang telah saya lakukan dulu," tapi aku menceritakannya juga dengan
terisak-isak... Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah
memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian.
Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad
dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric... Eric... Saya
meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu.

Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan
membuka pintu yang terbuat dari bambu itu... Gelap sekali... Tidak
terlihat sesuatu apa pun juga! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya...

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, sayapun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua.
Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau, "Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!"
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?"
Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk!! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, "Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."

Saya pun membaca tulisan di kertas itu... "Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..."
Saya menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan...
Katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan menyayanginya
sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong
katakan...!!!"
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
"Nyonya, semua sudah terlambat (dengan nada lembut). Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana. Nyonya, dosa anda tidak terampuni!"
Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.
 
DIMANAKAH SUMBER RIZKIKU?

Ada kisah menarik dimana seorang anak manusia, sebut saja namanya Inur (bukan nama sebenarnya), yang ingin menjadi manusia mandiri. Dia berangkat dari Pekanbaru ke Batam untuk mencari sumber rizki yang lebih besar.

Inur bukanlah seorang pengangguran. Dia muslimat rajin, mandiri dan bakti pada orang tuanya. Semenjak SMA, dia sudah bekerja sebagai pramuniaga di Pekanbaru. Pulang sekolah dia shalat Dhuhur, makan siang terus jaga toko. Sambil nunggu pelanggan, dia memanfaatkan waktu sempit itu untuk membaca buku pelajaran. Jam sembilan malam toko tutup. Dia pulang, membantu ibunya nyuci piring, makan dan sebelum tidur dia kerjakan PR jika memang ada PR dari gurunya. Begitulah kesehariannya dia jalani selama tiga tahun di SMA. Ketika teman-teman SMA-nya pada jingkrak-jingkrak karena lulus SMA, dia justru mengerutkan dahi. Adiknya yang masih SMP sebentar lagi masuk SMA. Orang tuanya tidak mungkin lagi membiayai. Sementara dengan gaji sebagai pramuniaga tidak akan cukup.

Akhirnya Inur memutuskan pergi ke Batam dengan harapan mendapatkan gaji lebih besar. Sesampainya di Batam dia bekerja di perusahaan swasta dengan gaji Rp. 390.000,-. Walaupun dia tinggal di rumah liar dengan dinding papan, rumah diatas pinggiran laut dengan aroma sekitar yang kurang bersahabat, dia tidak pernah mengeluh. Target utamanya dia bisa ngirim uang ke orang tua dan bisa membiayai adiknya sekolah. Baru kerja tiga bulan di Batam, tiba-tiba matanya berkunang-kunang. Saya sempat menyarankan sahabat baik saya itu untuk memeriksa ke dokter mata. Dia tidak mau karena takut biayanya mahal dan menolak bantuan saya karena dia tidak mau dikasihani orang apapun alasannya.

Tiga hari kunang-kunangnya belum juga sembuh. Pada suatu pagi teman sekamarnya menepuk-nepuk pundaknya untuk membangunkannya. Badannya dingin dan kaku. Berulang kali temannya menggoyang-goyang badannya, tapi tidak ada respon balik. Di cek nafas dan degup jantungnya dan ternyata... innalillahi wa inna ilai roji’uun. Dia kembali ke pangkuan Sang Robbi dalam usia 19 tahun. Usia yang sangat muda sekali. Dia telah menyusul kepergian ayahnya yang telah mendahului setahun lalu dan belum pernah dia tengok kuburnya. Jenazah Inur dipulangkan ke Pekanbaru dengan biaya Rp. 10 juta. Jauh lebih mahal daripada gaji yang dia kumpulkan selama ini tiga bulan ini (Rp. 1.160.000,-). Lalu dimanakah sumber rizki itu berada ? kenapa Inur yang berusaha mendekati sumber riskinya kok malah mendekati sumber ajalnya? Inilah pertanyaan menarik yang menjadi rahasia Allah dan hanya Dia yang tahu. Manusia hanya bisa berusaha, menganalisa dan berdo’a. Allah memberi pahala manusia bukan dari berapa banyak hasil usaha yang dia lakukan.

Bukan pada kesuksesan atau kegagalan

Tapi yang dinilai adalah pada keihlasan perjuangan / usahanya plus kemanfaatan dari usahanya itu. Allahlah yang mentakar hasil usaha manusia sehingga hasil usahanya itu tidak membahayakannya. Rizki yang banyak kadang tidak selalu baik buat seorang hamba. Tergantung dari hamba itu. Jika rizki yang banyak jatuh pada hamba yang suka bersedekah / zakat dan membantu anak yatim, maka rizki itu menjadi jalan pembuka pintu surga untuknya. Tapi sebaliknya, jika rizki yang banyak justru mengantarkannya ke tempat pelacuran, judi dan kemaksiatan lain; maka nerakalah muara akhir baginya.

Adalah Allah satu – satunya Dzat yang Maha Tahu seberapa banyak ukuran rizki bagi setiap hambanya. Karena itu, marilah kita perbaiki niat kerja kita. Setiap berangkat kerja, ucapkan “ Saya niat mencari yang halal karena Allah”. Mudah-mudahan niat ini menjadi awal terbukanya pintu amal.

DIMANAKAH SUMBER RIZKIKU ?

Ada kisah menarik dimana seorang anak manusia, sebut saja namanya Inur (bukan nama sebenarnya), yang ingin menjadi manusia mandiri. Dia berangkat dari Pekanbaru ke Batam untuk mencari sumber rizki yang lebih besar.

Inur bukanlah seorang pengangguran. Dia muslimat rajin, mandiri dan bakti pada orang tuanya. Semenjak SMA, dia sudah bekerja sebagai pramuniaga di Pekanbaru. Pulang sekolah dia shalat Dhuhur, makan siang terus jaga toko. Sambil nunggu pelanggan, dia memanfaatkan waktu sempit itu untuk membaca buku pelajaran. Jam sembilan malam toko tutup. Dia pulang, membantu ibunya nyuci piring, makan dan sebelum tidur dia kerjakan PR jika memang ada PR dari gurunya. Begitulah kesehariannya dia jalani selama tiga tahun di SMA. Ketika teman-teman SMA-nya pada jingkrak-jingkrak karena lulus SMA, dia justru mengerutkan dahi. Adiknya yang masih SMP sebentar lagi masuk SMA. Orang tuanya tidak mungkin lagi membiayai. Sementara dengan gaji sebagai pramuniaga tidak akan cukup.

Akhirnya Inur memutuskan pergi ke Batam dengan harapan mendapatkan gaji lebih besar. Sesampainya di Batam dia bekerja di perusahaan swasta dengan gaji Rp. 390.000,-. Walaupun dia tinggal di rumah liar dengan dinding papan, rumah diatas pinggiran laut dengan aroma sekitar yang kurang bersahabat, dia tidak pernah mengeluh. Target utamanya dia bisa ngirim uang ke orang tua dan bisa membiayai adiknya sekolah. Baru kerja tiga bulan di Batam, tiba-tiba matanya berkunang-kunang. Saya sempat menyarankan sahabat baik saya itu untuk memeriksa ke dokter mata. Dia tidak mau karena takut biayanya mahal dan menolak bantuan saya karena dia tidak mau dikasihani orang apapun alasannya.

Tiga hari kunang-kunangnya belum juga sembuh. Pada suatu pagi teman sekamarnya menepuk-nepuk pundaknya untuk membangunkannya. Badannya dingin dan kaku. Berulang kali temannya menggoyang-goyang badannya, tapi tidak ada respon balik. Di cek nafas dan degup jantungnya dan ternyata... innalillahi wa inna ilai roji’uun. Dia kembali ke pangkuan Sang Robbi dalam usia 19 tahun. Usia yang sangat muda sekali. Dia telah menyusul kepergian ayahnya yang telah mendahului setahun lalu dan belum pernah dia tengok kuburnya. Jenazah Inur dipulangkan ke Pekanbaru dengan biaya Rp. 10 juta. Jauh lebih mahal daripada gaji yang dia kumpulkan selama ini tiga bulan ini (Rp. 1.160.000,-). Lalu dimanakah sumber rizki itu berada ? kenapa Inur yang berusaha mendekati sumber riskinya kok malah mendekati sumber ajalnya? Inilah pertanyaan menarik yang menjadi rahasia Allah dan hanya Dia yang tahu. Manusia hanya bisa berusaha, menganalisa dan berdo’a. Allah memberi pahala manusia bukan dari berapa banyak hasil usaha yang dia lakukan.

Bukan pada kesuksesan atau kegagalan

Tapi yang dinilai adalah pada keihlasan perjuangan / usahanya plus kemanfaatan dari usahanya itu. Allahlah yang mentakar hasil usaha manusia sehingga hasil usahanya itu tidak membahayakannya. Rizki yang banyak kadang tidak selalu baik buat seorang hamba. Tergantung dari hamba itu. Jika rizki yang banyak jatuh pada hamba yang suka bersedekah / zakat dan membantu anak yatim, maka rizki itu menjadi jalan pembuka pintu surga untuknya. Tapi sebaliknya, jika rizki yang banyak justru mengantarkannya ke tempat pelacuran, judi dan kemaksiatan lain; maka nerakalah muara akhir baginya.

Adalah Allah satu – satunya Dzat yang Maha Tahu seberapa banyak ukuran rizki bagi setiap hambanya. Karena itu, marilah kita perbaiki niat kerja kita. Setiap berangkat kerja, ucapkan “ Saya niat mencari yang halal karena Allah”. Mudah-mudahan niat ini menjadi awal terbukanya pintu amal.


Kupersembahkan buat sahabat-sahabat pekerja keras dibumi Sang Maha Kaya, juga buat Nina dan Zulfa
 
BU ROS...

Wajahnya telah dipenuhi kerut merut. Tapi wajah itu tetap menggambarkan kedamaian dan keramahan, meskipun sedang dalam keadaan sakit. Pas seperti yang digambarkan oleh teman sekerja saya yang mengenalkan saya padanya. Ia tak mau diam, meski serangan stroke kini membatasi geraknya. Berjalan-jalan, mengerjakan pekerjaan rumah dan melakukan apapun yang bisa beliau lakukan. Memang, kata teman saya, sebelum mendapat serangan tersebut, beliau adalah seorang yang energik dan aktif mengikuti berbagai kegiatan khususnya pengajian, termasuk yang di luar kota.

Wanita itu biasa dipanggil Ibu Ros. Usia sekitar 65 tahun. Asli Minang. Beliau hidup sendiri di Jakarta, karena suaminya sudah meninggal, sedang Allah tidak mengaruniai mereka seorang pun putra. Untuk kehidupannya, beliau menjadikan rumahnya sebagai kost-an bagi para mahasiswa sebuah kampus di wilayah itu.

Hari itu, semua penghuni kost sedang pergi, maklum sedang libur semester. Seperti biasa, Bu Ros sendirian di rumah. Tetapi, karena ada urusan, beliau pergi ke rumah saudaranya dan baru pulang saat malam menjelang. Namun beliau sangat terkejut menemukan jendela dalam keadaan terbuka. Ketika diperiksa, rumah dalam kondisi berantakan dan beberapa barang hilang. Rupanya maling telah mengobok-obok rumahnya.

Melihat kondisi yang mengejutkan itu penyakit darah tinggi Ibu Ros pun kambuh dan beliau mendapat serangan stroke. Beliaupun terpaksa dirawat beberapa hari di rumah sakit. Alhamdulillah, kondisi beliau tidak terlalu parah hingga beberapa hari kemudian sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Beliau kemudian, untuk sementara, tinggal di rumah keponakannya.

Namun, sebagaimana penderita stroke lainnya, kondisi beliau tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Lidah sulit digerakkan hingga sulit mengucapkan sebuah kalimat secara sempurna. Demikian juga dengan jari-jemarinya. Hal itu membuat beliau sangat berduka, namun juga berusaha keras untuk bisa sembuh kembali.

Saat beliau tengah berduka itulah, teman saya mengenalkan saya padanya. “Beliau butuh teman yang bisa mengerti,” begitu ungkap teman saya. Sejak itulah saya berkenalan dengan beliau. Beberapa kali kami bertemu, tapi lebih sering kami berkomunikasi via telepon. Ketika ngobrol, beliau berusaha agar kata-kata yang beliau ucapkan dapat saya dengar dengan jelas. Sekalian berlatih, katanya. Beliau juga banyak bercerita tentang berbagai upaya yang ditempuh untuk bisa segera sembuh. Terapi akupuntur, berobat ke beberapa dokter ahli hingga minum jamu dari sinshe.

Apapun beliau lakukan agar bisa sembuh. Terapi fisik lainnya seperti jalan-jalan setiap pagi pun beliau lakukan, meskipun fisik beliau lemah. Beliau juga makin banyak berdzikir dan tilawah AlQur’an, untuk mengisi waktu selama masa penyembuhan sekaligus sarana terapi.

Suatu hari, saya menemani beliau mengunjungi rumah yang telah sebulan ditinggalkannya. Saat itu kami berbincang lebih banyak lagi dan salah satunya adalah tentang keinginan dan usahanya yang sedemikian keras untuk bisa pulih kembali.

“Di usia saya yang sekian, mulut, lidah dan jari-jari ini adalah modal utama saya untuk beribadah. Dengannya saya bisa berdzikir dan mengeja huruf-huruf Qur'an saat tilawah. Mulut ini adalah modal saya utuk tersenyum dan bertaushiyah, karena hanya senyum dan kata-kata yang bisa banyak saya sedekahkan. Sejak sakit, saya tak bisa lagi membaca Qur'an dengan tartil. Sejak mendapat serangan ini, saya kesulitan mengurai senyum kepada tetangga. Kini saya tak lagi dapat menyampaikan kata-kata hikmah. Karena itulah saya bertekat untuk sembuh. Agar saya bisa membaca Quran dan berdzikir dengan tartil, juga tetap dapat menebar senyum dan hikmah bagi sesama”.

Uraiannya menohok perasaan saya. Di saat kita yang masih muda dan sempurna tak tergerak untuk memperbaiki bacaan Qur'an, bahkan sekedar ‘membaca’ saja malas, ada seorang wanita tua dengan segala keterbatasannya bersungguh-sungguh untuk membaca Qur'an dengan baik dan benar. Di saat kita yang sehat pelit tersenyum kepada sesama dan enggan bertutur kata hikmah, seorang lanjut usia yang tak lagi sempurna begitu keras ingin menjalankannya.

Tiga tahun lebih berlalu, sejak terakhir kali saya berkomunikasi dengan beliau. Kata teman saya, beliau masih sehat dan seaktif yang dulu. Pun uraian panjang itu masih saya kenang dan saya hayati hingga kini. Sebagai pengingat kala saya lelah untuk tilawah dan capek memperbaiki bacaan. Sebagai pendorong kala saya kehilangan senyum. Sebagai penyokong saat saya lupa untuk bertutur hikmah dan malas bertaushiyah. (sepenuh takzim untuk Ibu Ros)
 
BELUM TERLAMBAT UNTUK BERBAGI

Pagi kemarin, saya menjemput anak-anak dari Bogor untuk pulang ke rumah di Ciputat. Perjalanan baru memasuki kilometer ke sembilan menuju Ciputat ketika kami melewati para petugas pengumpul infak masjid di tepi dan tengah jalan. Dan kami melewati mereka begitu saja, sesaat kemudian suara kecil menegur dengan sopan, “Abi kok sudah lama nggak kasih uang buat mereka,” nada itu terdengar begitu polos namun cukup untuk membuat saya menghentikan kendaraan.

Saya memang sering terlupa untuk menunjukkan secara langsung kepada anak-anak cara berinfak. Meskipun untuk melakukannya seringkali dan tak selalu di depan mereka. Padahal, justru dengan melakukannya langsung di depan mereka, setiap orang tua tengah mengajarkan sikap kedermawanan, kepedulian, dan semangat berbagi. Ini yang nampaknya sering terlupa dari saya untuk tetap konsisten menerapkannya. Teguran dari salah seorang anak saya tadi, tentu saja menunjukkan bahwa mereka tetap membutuhkan konsistensi keteladanan yang pernah kita ajarkan sebelumnya.

“Ini pegang ya, tolong dikasih nanti kalau ada petugas pengumpul infak di pinggir jalan lagi,” seru saya kepadanya.

“Terlambat, Bi, sudah lewat petugasnya,” Duh, dua kali kalimatnya menohok saya. Saya pun hanya menjelaskan, bahwa tidak ada kata terlambat untuk berbuat kebaikan. Boleh jadi kita kehilangan kesempatan pertama untuk berbuat baik, tapi semestinya kita yakin bahwa Allah senantiasa memberikan kesempatan berikutnya, dan memang, jika kita mau mengambilnya dengan cepat, kesempatan itu selalu ada, terus menerus menghampiri. Inilah uniknya, kesempatan sering tak datang dua kali. Tetapi untuk sebuah kebaikan, justru ianya yang kerap menghampiri, namun kita-lah yang mengabaikannya.

Benar saja. Lima menit lebih sedikit setelah saya memberikan masing-masing selembar ribuan kepada dua anak saya, kami pun melintasi barisan petugas pengumpul infak masjid di jalan raya Parung. Padahal, dengan uang di tangannya itu anak saya sempat mengancam, "Kalau nggak ada lagi, uangnya buat jajan Hufha aja ya...."

Saya menanggapinya dengan senyum, sebab saya tahu persis, sepanjang jalan raya Parung, Bogor, kita dapat menemui lebih dari satu barisan petugas pengumpul infak. "Abi benar, kita belum terlambat" Senangnya anak-anak memasukkan uang itu ke jaring yang disorongkan petugas ke kendaraan kami yang memperlambat lajunya.

Pelajaran pagi kemarin, semoga menjadi segurat catatan yang tak lekang tersimpan dalam lembar memorinya, bahwa tak pernah ada kata terlambat untuk peduli, jangan pernah berpikir untuk tak berbagi hanya karena waktunya tak tepat. Dan tetaplah memelihara semangat berbagi kapan pun, sekali kesempatan terlewati, jutaan kesempatan lainnya pasti menunggu, bahkan menghampiri.

Sejumput doa pun terucap, semoga seluruh keturunan kami menjadi orang-orang yang peduli, memiliki semangat berbagi. Kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun. Saya yakin Tuhan mendengar harapan sederhana ini, karena saya bisa merasakan senyum-Nya hari itu.
 
TAUBATNYA PEMUDA YANG DURHAKA PADA IBUNYA

H.H.M. Seorang pemuda yang pergi keluar negeri untuk belajar. Setelah memperoleh ijazah tinggi, ia pulang ke negaranya. Dia menikah dengan seorang gadis dan cantik yang menjadi kehancurannya seandainya tidak mendapat pertolongan Allah. Dia Bercerita:

Ayahku meninggal dunia ketika aku masih kecil. Maka ibuku lah yang merawatku. Ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga sehingga mampu membiayaiku. Aku adalah anak satu-satunya. Ibuku menyekolahkanku sampai selesai dari Universitas. Aku tetap berbakti kepadanya. Sehingga datang panggilan untuk belajar di luar negeri. Ibu melepas kepergianku, dengan air mata dan berkata: "Jagalah dirimu wahai anakku, jangan sampai kamu memutuskan kabar, sering-seringlah berkirim surat untuk menenangkan jiwaku".

Aku menyelesaikan studiku dengan jangka waktu yang panjang. Aku pulang dengan perubahan yang cukup besar. Peradaban barat telah banyak mencemari pribadiku, aku memandang agama sebagai sebuah keterbelakangan. Aku hanya beriman pada hal-hal yang berwujud konkrit saja. Wal 'Iyadzu billah.

Aku mendapat pekerjaan dengan posisi yang cukup terpandang. Aku mulai berpikir untuk mencari seorang isteri hingga akhirnya aku mendapatkannya. Padahal ibuku sudah memilihkan seorang gadis yang taat beragama, tapi aku tidak mau. Aku tetap memilih gadis idamanku, seorang penyanyi yang cantik, karena aku dari dulu menginginkan kehidupan "Aristokrasi" dalam bahasa mereka. Enam bulan setelah hari pernikahanku, isteriku berbuat makar terhadap ibuku. Pada suatu hari aku masuk rumah, tiba-tiba isteriku menangis, aku menanyakan sebab dia menangis, lalu ia berkata, 'ibumu memusuhiku di rumah ini', mendengar hal itu kesabaranku hilang. Aku kalap dan mengusir ibuku dari rumah, ibuku keluar sambil menangis dan berkata, 'Mudah-mudahan Allah membahagiakanmu wahai anakku'.

Beberapa saat kemudian aku keluar mencarinya tapi tak kutemukan, aku kembali kerumah, namun isteriku mampu membuatku lupa dengan ibuku. Beberapa waktu lamanya aku tak mendengar kabar ibuku. Dalam pada itu aku terkena penyakit yang cukup parah sehingga aku masuk rumah sakit. Ibuku mendengar kabarku, lalu dia datang untuk menjengukku. Waktu itu isteriku ada di sisiku. Melihat ibuku dia langsung mengusir ibuku sebelum sempat masuk sambil berkata, 'Anakmu tidak ada di sini, mau apa kamu, pergi kamu . . . '. Ibuku langsung pergi.

Aku keluar rumah sakit setelah cukup lama di situ. Kondisi jiwaku berubah. Akhu kehilangan pekerjaan dan rumah, hutangku menumpuk, semua itu akibat ulah isteriku yang banyak permintaan. Dan pula akhirnya isteriku meninggalkanku dengan menyatakan, 'Selama kamu kehilangan pekerjaan dan harta bendamu, serta kedudukan di tengah-tengah masyarakat, maka aku berterus terang kepadamu. Aku tak menginginkanmu lagi...ceraikan aku'. Kata-katanya laksana petir yang menyambar kepala. Seketika itu juga aku menceraikannya, aku seperti baru terbangun dri tidurku. Aku pergi tanpa arah tujuan yang jelas. Aku mencari ibuku hingga akhirnya aku menemukannya. Akan tetapi aku menemukannya tinggal bersama seorang rahib yang makan dari hasil sedekah. Aku menemuinya, wajahnya pucat pasi akibat banyak menangis, begitu melihatnya aku langsung bersimpuh di kedua kakinya, aku menangis dengan kerasnya disusul tangis ibuku.

Keadaan ini berlangsung sekitar satu jam, setelah itu aku membawa ibuku kerumahku. Aku berjanji pada diriku untuk berbakti kepadanya dan menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Kini aku hidup dalam hari-hari yang indah dengan ibuku tercinta, mudah-mudahan Allah menjaganya. Aku bermohon kepada Allah untuk menutupi kesalahan-kesalahanku.
 
TAKUT MENJADI TUKANG BASO

Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya. Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang bekerja keras.

Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso !" gerutu seseorang.
Bukan sekali dua kali ini dia mengacau !" tambah lain-nya, dan disambung - "Ya, ya, betul !"
Jangan marah, ikhwan, " seseorang berusaha meredakan kegelisahan, " ia sekadar mencari makan . . . "
Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan jangan ia minan-nashara !" sebuah suara keras.
Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustad juga mengeras: " Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepada-Nya, yang lain-lain menjadi kecil adanya. "
Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso. Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso ? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi tukang bakso ? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda
tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso ?
Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau tidak?
Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso ? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua. "
Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.
Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari, " Pak Ustadz melanjutkan, " karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajad rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan mertua, dan kelak
takut dipecat, takut tak naik pangkat . . . masyaallah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah !"
 
ANAK KECIL PENJUAL KUE

Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang telah dipesan. Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda tersebut, "Pak, mau beli kue, Pak?"

Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab "Tidak, saya sedang makan".

Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama. Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab "Tidak dik, saya sudah kenyang".

Setelah pemuda itu membayar kekasir dan beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda. Mungkin anak kecil ini berpikir "Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah".

Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini. Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan.

"Pak mau beli kue saya?", pemuda yang ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp. 1.500,00 dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja.

"Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik".

Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasih kepada orang lain.

"Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil?"

Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, "Saya sudah berjanji sama ibu dirumah ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan bangga pulang kerumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis. Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis".

Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang anak yang sudah punya etos kerja bahwa "kerja itu adalah sebuah kehormatan", kalau dia tidak sukses bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja dihadapan ibunya mempunyai nilai yang kurang, dan suatu pantangan bagi ibunya, anaknya menjadi pengemis, ia ingin setiap ia pulang kerumah ibu tersenyum menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang.

Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu "kerja adalah sebuah kehormatan" ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar