Di bawah
kepemimpinan Harun Ar-Rasyid (786-809 M), Khalifah kelima Dinasti
Abbasyiyah, umat Islam mengalami masa keemasannya. Seluruh penerjemah
Muslim, Yahudi dan Kristen berkumpul di Baghdad untuk mengalihbahasakan
naskah-naskah ilmu pengetahuan dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab.
Pusat-pusat kajian digalakkan oleh pemerintah sementara para ulama dan intelektual rajin menulis karya-karya mereka. Baghdad menjadi tujuan belajar dan detak jantung peradaban dunia. Di masa ini ilmu sangat dihargai dan para ilmuan mendapatkan perlakuan yang istimewa oleh masyarakat bahkan oleh Khalifah Abbasyiah sendiri.
Khalifah dan para Wazir menyerahkan anak-anak mereka kepada para ulama dan ilmuwan Islam untuk diasah akal dan moralnya. Di hadapan para ulama dan imuwan muslim, tidak ada perlakuan khusus bagi anak-anak pejabat negara. Sebaliknya, para anak pejabat tersebut diharuskan menunjukkan sikap hormat yang tinggi terhadap guru mereka sebagai bukti penghargaan mereka terhadap ilmu pengetehuan.
Suatu ketika Harun Ar-Rasyid mengirimkan anaknya kepada Imam al-Asma`i untuk belajar ilmu dan budi pekerti. Kemudian di suatu hari Harun Ar-Rasyid melihat anaknya menyiramkan air ke kedua kaki gurunya itu untuk berwudhu', sementara sang guru membasuh dan membersihkan kakinya sendiri.
Melihat hal ini, Harun Ar-Rasyid merasa tidak senang. Kemudian ia berkata kepada Imam Ashma`i: "Aku mengirimkan anakku kepada anda untuk diajarkan ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Mengapa anda tidak menyuruhnya menyiramkan air dengan salah satu tangannya dan membasuh dan membersihkan kaki anda dengan tangannya yang lain?"
Demikianlah tradisi yang berlaku dalam dunia Islam di masa itu. Sebuah masa yang telah berhasil mengantarkan umat Islam mencapai puncak kemajuannya dan berhasil menyumbangkan khazanah ilmu pengetahuan bagi masyarakat dunia.
Di masa ini pula sebagian besar naskah-naskah klasik Islam di berbagai bidang ilmu pengetahuan ditulis, baik ilmu yang berkenaan dengan disiplin agama maupun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sains dan teknologi.
Pusat-pusat kajian digalakkan oleh pemerintah sementara para ulama dan intelektual rajin menulis karya-karya mereka. Baghdad menjadi tujuan belajar dan detak jantung peradaban dunia. Di masa ini ilmu sangat dihargai dan para ilmuan mendapatkan perlakuan yang istimewa oleh masyarakat bahkan oleh Khalifah Abbasyiah sendiri.
Khalifah dan para Wazir menyerahkan anak-anak mereka kepada para ulama dan ilmuwan Islam untuk diasah akal dan moralnya. Di hadapan para ulama dan imuwan muslim, tidak ada perlakuan khusus bagi anak-anak pejabat negara. Sebaliknya, para anak pejabat tersebut diharuskan menunjukkan sikap hormat yang tinggi terhadap guru mereka sebagai bukti penghargaan mereka terhadap ilmu pengetehuan.
Suatu ketika Harun Ar-Rasyid mengirimkan anaknya kepada Imam al-Asma`i untuk belajar ilmu dan budi pekerti. Kemudian di suatu hari Harun Ar-Rasyid melihat anaknya menyiramkan air ke kedua kaki gurunya itu untuk berwudhu', sementara sang guru membasuh dan membersihkan kakinya sendiri.
Melihat hal ini, Harun Ar-Rasyid merasa tidak senang. Kemudian ia berkata kepada Imam Ashma`i: "Aku mengirimkan anakku kepada anda untuk diajarkan ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Mengapa anda tidak menyuruhnya menyiramkan air dengan salah satu tangannya dan membasuh dan membersihkan kaki anda dengan tangannya yang lain?"
Demikianlah tradisi yang berlaku dalam dunia Islam di masa itu. Sebuah masa yang telah berhasil mengantarkan umat Islam mencapai puncak kemajuannya dan berhasil menyumbangkan khazanah ilmu pengetahuan bagi masyarakat dunia.
Di masa ini pula sebagian besar naskah-naskah klasik Islam di berbagai bidang ilmu pengetahuan ditulis, baik ilmu yang berkenaan dengan disiplin agama maupun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sains dan teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar