Seorang Teman, Peranan Dan Dampaknya
Bagi Seseorang
Oleh: ROHANI
Jamaah
Jum’at yang berbahagia
Syukur
kepada Allah adalah hal yang harus selalu kita lakukan karena dengan bersyukur
akan menambah nikmat-nikmatNya kepada kita, kemudian dari tempat ini saya serukan
kepada diri saya pribadi dan kepada jamaah sekalian untuk selalu memelihara dan
meningkatkan taqwallah, karena dengan taqwa inilah seseorang akan bahagia baik
di dunia dan terlebih lagi di akhirat.
Jamaah
Jum’at yang berbahagia
Tidak ada
seorang manusiapun di muka bumi ini yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain.
Manusia adalah mahluk sosial yang pasti membutuhkan lingkungan dan pergaulan.
Di dalam
pergaulannya tersebut seseorang akan memiliki teman, baik itu disekolahnya, di
tempat kerjanya ataupun di lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga tidak
ditampik lagi bahwa teman merupakan elemen penting yang berpengaruh bagi
kehidupan seseorang.
Islam
sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh telah mengatur bagaimana adab dan
batasan-batasan di dalam pergaulan. Sebab betapa besar dampak yang akan menimpa
seseorang akibat bergaul dengan teman-teman yang jahat dan sebaliknya betapa
besar manfaat yang dapat dipetik oleh seseorang yang bergaul dengan teman yang
shalih.
Banyak di
antara manusia yang terjerumus ke dalam lubang kemaksiatan dan kesesatan
dikarenakan bergaul dengan teman teman yang jahat dan banyak pula di antara
manusia yang mereka mendapatkan hidayah disebabkan bergaul dengan teman-teman
yang shalih.
Di dalam
sebuah hadits Rasullullah Shallallaahu alaihi wa Salam menyebutkan tentang
peranan dan dampak seorang teman:
مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيْسِ السُّوْءِ
كَمَثَلِ حَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الكِيْرِ، فَحَامِلِ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ
يُحْذِيْكَ أَوْ تُبْتَاعَ مِنْهُ أَوْ تَجِدُ رَائِحَةً طَيِّبَةً وَنَافِخُ الكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ
ثِيَابَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رَائِحَةً خَبِيْثَةً.
“Perumpamaan teman duduk yang baik dengan teman duduk yang jahat
adalah seperti penjual minyak wangi dengan pandai besi. Adapun penjual minyak
wangi tidak melewatkan kamu, baik engkau akan membelinya atau engkau tidak
membelinya, engkau pasti akan mendapatkan baunya yang enak, sementara pandai
besi ia akan membakar bujumu atau engkau akan mendapatkan baunya yang tidak
enak.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Berdasarkan
hadits tersebut dapat diambil faedah penting bahwasanya bergaul dengan teman
yang shalih mempunyai 2 kemungkinan yang kedua-duanya baik, yaitu:
Kita akan
menjadi baik atau kita akan memperoleh kebaikan yang dilakukan teman kita.
Sedang bergaul dengan teman yang jahat juga mempunyai 2 kemungkinan yang
kedua-duanya jelek, yaitu:
Kita akan
menjadi jelek atau kita akan ikut memperoleh kejelekan yang dilakukan teman
kita.
Jamaah
Jum’at yang berbahagia
Bahkan
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menjadikan seorang teman sebagai
patokan terhadap baik dan buruknya agama seseorang, oleh sebab itu Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam memerintahkan kepada kita agar memilah dan memilih
kepada siapa kita bergaul. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallaahu alaihi
wa Salam bersabda:
اَلْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ
أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ.
“Seseorang
berada di atas agama temannya, maka hendaknya seseorang di antara kamu melihat
kepada siapa dia bergaul.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi,
Hakim dengan Sanad yang saling menguatkan satu dengan yang lain).
Dan dalam sebuah syair disebutkan:
Dan dalam sebuah syair disebutkan:
عَنِ الْمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ،
فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمُقَارِنِ يَقْتَدِيْ.
Jangan tanya
tentang seseorang, tapi tanya tentang temannya, sebab orang pasti akan
mengikuti kelakukan temannya.
Demikianlah
karena memang fitroh manusia cenderung ingin selalu meniru tingkah laku dan
keadaan temannya.Para Salafusshalih sering menyampaikan kaidah bahwa:
اَلْقُلُوْبُ ضَعِيْفَةٌ وَالشُّبَهُ خَطَّافَةٌ.
Hati itu
lemah, sedang syubhat kencang menyambar. Sehingga pengaruh kejelekan akan lebih
mudah mempenga-ruhi kita dikarenakan lemahnya hati kita.
Jamaah
Jum’at yang berbahagia
Merupakan
sikap yang diajarkan Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah menjauhi para penyeru
bid’ah, para pengikut hawa nafsu (ahlul ahwa’) dan orang-orang fasik yang
terang-terangan menampakkan dan menyerukan kefasikannya ini merupakan salah
satu tindakan preventif terhadap bahaya lingkungan pergaulan dan agar umat
terhindar dari pengaruh kemaksiatan tersebut.
Jamaah
Jum’at yang berbahagia
Seorang
teman memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan kita, janganlah ia
menyebabkan kita menyesal pada hari kiamat nanti dikarenakan bujuk rayu dan
pengaruhnya sehingga kita tergelincir dari jalan yang haq dan terjerumus dalam
kemak-siatan.
Renungkanlah
baik-baik firman Allah berikut ini:
“Dan ingatlah hari ketika orang-orang zhalim menggigit
dua tangannya seraya berkata: Aduhai kiranya aku dulu mengambil jalan bersama-sama
Rasul. Kecelakaan besar bagiku! Kiranya dulu aku tidak mengambil si fulan
sebagai teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran
sesudah Al-Quran itu datang kepadaku. Dan adalah syetan itu tidak mau menolong
manusia.” (Al-Furqan: 27-29).
Lihatlah
bagaimana Allah menggambarkan seseorang yang telah menjadikan orang-orang fasik
dan pelaku maksiat sebagai teman-temanya ketika di dunia sehingga di akhirat
menyebabkan penyesalan yang sudah tidak berguna lagi baginya, karena di akhirat
adalah hari hisab bukan hari amal sedang di dunia adalah hari amal tanpa hisab.
Jamaah
Jum’at yang berbahagia
saya
ingatkan pula kepada para orang tua hendaklah mereka memperhatikan lingkungan
dan pergaulan anak-anaknya sebab setiap kita adalah pemimpin dan setiap
pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya dan
orangtua adalah pemimpin terhadap istri dan anak-anaknya.
Ingatlah
bagaimana wasiat agung Lukman Al-Hakim di dalam surat Luqman ayat 13-19 ketika
mewasiatkan kepada anaknya di antaranya agar mengikuti dan menempuh jalan
orang-orang yang kembali kepada Allah. Merekalah para nabi, syuhada dan
shalihin, merekalah uswah dan qudwah dalam segenap aspek kehidupan kita.
Jamaah
Jum’at yang berbahagia
Jadikanlah
orang-orang shalih yang bermanhaj dan ber-aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
sebagai teman akrab kita, merekalah sebaik-baik teman dan sebaik-baik
persahabatan, adapun selain itu adalah persahabatan yang semu. Maha benar Allah
yang menyebutkan dalam kitabNya:
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh bagi
sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Az-Zukhruf: 67).
Jamaah
Jum’at yang berbahagia
Saya akan
menutup khutbah ini dengan apa yang dinasehatkan oleh seorang bijak tentang
hakekat seorang teman:
Saudaraku,
Teman sejatimu adalah yang selalu mendorongmu untuk berbuat kebajikan dan
mencegahmu dari berbuat kejelekan walaupun engkau jauh dan engkau tidak bergaul
dengannya dan musuh sejatimu adalah yang mendorongmu berbuat kejelekan dan
tidak mencegahmu dari berbuat dosa walaupun ia dekat denganmu dan engkau selalu
bergaul dengannya.
Semoga Allah selalu memberikan taufik kepada kita dan
menyelamatkan kita dari kejelekan lingkungan dan pergaulan serta
menganugerahkan kepada kita lingkungan dan pergaulan yang mendorong kita untuk
selalu taat kepada Allah dan RasulNya.
Amin ya Rabbal ‘alamin.
Amin ya Rabbal ‘alamin.
Wujudkan
Kejayaan Umat Dengan Kemurnian Tauhid
Oleh : ROHANI
Saya mewasiatkan
kepada Anda sekalian dan juga kepada diri saya sendiri untuk selalu menjaga dan
meningkatkan taqwa yang hakiki kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, sebab inilah
wasiat yang disampaikan Allah kepada generasi terdahulu dan juga generasi yang
akan datang:
“Dan kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan yang ada
di bumi. Dan sungguh kami telah mewasiatkan kepada orang-orang ahlulkitab
sebelum kalian dan kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah. Dan jika
kalian kafir maka sesungguhnya kepunyaan Allah segala yang ada di langit dan
yang ada di bumi ...” (An-Nisa: 131)
Hadirin yang
dimuliakan Allah!
Sesungguhnya Tauhid
yang murni dan bersih adalah inti ajaran dari semua risalah samawiyah yang
diturunkan Allah Ta’ala. Ia adalah tiang penopang yang menegakkan bangunan Islam.
Ia adalah syi’ar Islam yang terbesar yang tak dapat terpisahkan dari Islam itu
sendiri. Inilah pesan utama Allah kepada Rasulnya yang diutus kepada ummat
manusia.
“Sungguh Kami telah
mengutus kepada setiap ummat seorang rasul (untuk menyampaikan): Sembahlah
(oleh kalian) akan Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl: 36)
Itulah misi utama para Rasul; menegakkan penyembahan dan penghambaan hanya kepada Allah serta menafikan dan menjauhi segala bentuk thaghut. Dan yang dimaksud dengan thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas-batas yang seharusnya tak boleh ia langgar, baik berupa sesembahan, panutan dan ikutan. Sehingga thaghut setiap kaum/komunitas adalah siapapun yang mereka jadikan sumber dasar hukum selain Allah dan RasulNya, yang mereka jadikan Tuhan selain Allah Subhannahu wa Ta'ala , yang mereka ta’ati meskipun dimurkai dan tidak diridloi Allah Ta’ala.
Itulah misi utama para Rasul; menegakkan penyembahan dan penghambaan hanya kepada Allah serta menafikan dan menjauhi segala bentuk thaghut. Dan yang dimaksud dengan thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas-batas yang seharusnya tak boleh ia langgar, baik berupa sesembahan, panutan dan ikutan. Sehingga thaghut setiap kaum/komunitas adalah siapapun yang mereka jadikan sumber dasar hukum selain Allah dan RasulNya, yang mereka jadikan Tuhan selain Allah Subhannahu wa Ta'ala , yang mereka ta’ati meskipun dimurkai dan tidak diridloi Allah Ta’ala.
“Tidakkah engkau
melihat kepada orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah beriman kepada apa
yang telah diturunkan kepadamu dan yang diturunkan sebelummu, (padahal) mereka
ingin bertahkim (mengambil hukum) dari thaghut padahal sungguh mereka telah
diperintah untuk kafir kepadanya.” (An-Nisa: 60)
Kedua unsur penting inilah yang terangkai dalam kalimat suci La ilaha illallah; tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.
Hadirin para hamba Allah yang berbahagia!
Di atas kalimat Tauhid yang murni dan mulia itulah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam membangun ummatnya, di atas landasan yang kokoh itulah beliau menegakkan da’wah, dari situlah beliau menegakkan generasi yang hanya meng-Esa-kan Allah Yang Maha Esa dan membebaskan diri mereka dari cengkraman makhluq-makhluq lain yang dianggap sekutu bagi Allah Ta’ala.
Dan ketika seorang
Muwahhid mengucapkan dan melantunkan kalimat Tauhid itu, maka seharusnya ia
meyakini dua hal yang menjadi tujuan dari kalimat suci tersebut. Apa dua tujuan
itu?
Tujuan
pertama adalah menegakkan yang haq dan member-sihkan yang bathil.
Sebab makna yang sesungguhnya dari kalimat la ilah Illallah itu adalah tidak
ada yang berhak untuk disembah selain Allah. Sehingga segala sesuatu selain
Allah adalah bathil dan tidak berhak mendapatkan hak-hak ilahiyyah (hak-hak
untuk disembah). Dan lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam
membersihkan Jazirah Arab dari kotoran-kotoran dan kekuasaan thoghut dan
patung-patung sesembahan. Ingatlah bagaimana batu besar saat itu yang bernama
Hubal yang dikelilingi 360 berhala dihancurkan oleh Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam dengan tangan beliau yang mulia pada saat beliau memasuki kota
Makkah dengan penuh kemenangan. Dan semua itu beliau seraya mengulang-ulang
firman Allah:
“Dan Katakanlah
(wahai Muhammad) telah datang Al-Haq dan hancurlah yang bathil. Sesungguhnya
yang bathil itu pasti hancur.” (Al-Isra’: 81)
Kemudian
tujuan yang kedua adalah untuk mengatur dan meluruskan perilaku
manusia agar selalu dalam lingkaran Tauhid yang murni kepada Allah yang terpancar
dari kalimat Tauhid. Agar semua tindak-tanduk manusia dilandasi oleh keyakinan
bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dan agar kalimat
Tauhid itu dapat “berhasil guna” dalam mengatur perilaku manusia maka ada tujuh
syarat yang harus dipenuhi, yaitu: al-’ilm (mengetahui) maknanya yang benar,
al-yaqin (meyakini) kandungan-nya tanpa ada keraguan, al-ikhlas (ikhlas) tanpa
ternodai oleh syirik, ash-shidq (membenarkan) tanpa mendustakannya, al-qabul
(menerimanya) dengan penuh kerelaan tanpa menolaknya, tunduk pada konsekwensi
kalimat Tauhid (al-inqiyad), dan semua itu harus dilandasi dengan al-mahabbah
(cinta) kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala .
Bila ketujuh syarat
tersebut telah terpenuhi maka insya’ Allah seluruh ibadah dan amal kita akan
selalu terhiasi dan diterangi oleh kemurnian Tauhid, sehingga semuanya
dikerjakan hanya karena Allah, tidak ada lagi permintaan tolong selain kepada
Allah, tidak ada lagi tawakkal kecuali kepada Allah, tidak ada lagi pengharapan
dan rasa takut selain kepada Allah, tidak ada lagi kekuatan selain pertolongan
Allah. Dari sinilah, seorang muwahhid akan merasakan dari lubuk hatinya yang
terdalam bahwa segala sesuatu selain Allah adalah lemah dan tidak berdaya. Maka
ia tidak lagi takut kebengisan dan kekuatan para makhluq, tidak lagi terpedaya
oleh kilau duniawi, dan baginya tidak mungkin ada yang dapat manandingi Allah,
tidak ada yang dapat menghalangi apapun yang dikehendaki Allah Subhannahu wa
Ta'ala . Sehingga baginya bergantung kepada selain Allah adalah suatu kelemahan
dan berharap kepada selain Allah adalah sebuah kesesatan:
“Dan bagi Allah-lah
segala hal ghaib yang ada di langit dan di bumi, dan kepadaNya-lah segala
perkara dikembalikan.” (Hud: 123).
Dari sini jelaslah
perbedaan yang sangat jauh antara seorang Muwahhid dengan seorang musyrik.
Seorang muwahhid adalah orang yang mengetahui Dzat yang menciptakannya sehingga
ia pun beribadah dan menghamba padaNya dengan sebenar-benarnya. Sebaliknya
seorang musyrik adalah orang yang buta mata hatinya, kehilangan arah dan jauh
meninggalkan Dzat yang melimpahkan ni’mat padanya. Na’udzu billah min dzalik.
Kaum muslimin yang
dimuliakan Allah!
Sejak dahulu hingga
sekarang, begitu banyak manusia yang tersesatkan oleh keyakinan berbilang
“tuhan” yang disembah, yang dapat dimintai pertolongan, yang dapat dijadikan
sumber hukum dan yang berhak mendapatkan kekhususan-kekhususan ilahiyah. Dan
keyakinan ini adalah sebuah kesesatan yang nyata yang telah diperangi oleh
Islam dengan keras. Sehingga tidaklah mengherankan bila Tauhid yang murni
kemudian menjadi syi’ar terpenting Islam yang selalu ada dalam aspek I’tiqad
dan amaliyah. Dengan syi’ar inilah Islam dikenal bahkan karenanya Islam
diperangi. Seputar syi’ar ini pula lah pertentangan antara ahlul haq dan ahlul
bathil terus berlanjut.
“Sesungguhnya Tuhan
kalian benar-benar satu. Tuhan (yang menciptakan, mengatur dan menguasai)
langit dan bumi serta yang ada di antara keduanya ...” (Ash-Shaffat: 4-5).
Dan sesungguhnya kemunduran dan musibah-musibah yang selama ini menimpa umat Islam adalah disebabkan mereka tidak lagi memperhatikan syi’ar yang penting ini. Lemahnya ikatan tauhid dalam jiwa-jiwa mereka adalah sebab utama dari berbagai kekalahan kaum muslimin dan kemenangan musuh-musuh mereka yang kita saksikan dalam kurun waktu yang cukup lama. Banyak di antara kaum muslimin yang tenggelam dalam kebodohan terhadap tauhid ini, sehingga mereka mendatangi penghuni-penghuni kubur, berdoa didepan batu-batu nisannya, meminta pertolongan penghuninya saat susah dan sedih. Bahkan lebih dari itu, seringkali mereka memuji dan mengagungkan panghuni kubur itu dengan ungkapan-ungkapan yang hanya pantas diberikan kepada Allah Rabbul ’alamin.
Dan sesungguhnya kemunduran dan musibah-musibah yang selama ini menimpa umat Islam adalah disebabkan mereka tidak lagi memperhatikan syi’ar yang penting ini. Lemahnya ikatan tauhid dalam jiwa-jiwa mereka adalah sebab utama dari berbagai kekalahan kaum muslimin dan kemenangan musuh-musuh mereka yang kita saksikan dalam kurun waktu yang cukup lama. Banyak di antara kaum muslimin yang tenggelam dalam kebodohan terhadap tauhid ini, sehingga mereka mendatangi penghuni-penghuni kubur, berdoa didepan batu-batu nisannya, meminta pertolongan penghuninya saat susah dan sedih. Bahkan lebih dari itu, seringkali mereka memuji dan mengagungkan panghuni kubur itu dengan ungkapan-ungkapan yang hanya pantas diberikan kepada Allah Rabbul ’alamin.
Dikarenakan lemahnya
keyakinan akan pertolongan Allah, banyak di antara kaum muslimin yang kemudian
menggunakan jimat dengan menggantungkan di tubuh mereka karena yakin hal itu
akan mendatangkan keselamatan dan menghindarkannya dari marabahaya. Padahal
Allah telah menegaskan:
“Dan jika Allah
menimpakan musibah atasmu maka tidak ada yang dapat menyingkapnya selain Ia,
dan jika Ia memberikan kebaikan padamu maka Ia Maha Kuasa terhadap segala
sesuatu.” (Al-An’am: 17).
Dan suatu hari Nabi
Shallallaahu alaihi wa Salam pernah melihat lelaki yang mengenakan jimat di
tangannya, lalu beliau berkata:
اِنْزِعْهَا فَإِنَّهَا لاَ تَزِيْدُكَ إِلاَّ
وَهْنًا فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا.
“Cabutlah (benda
itu) karena ia hanya akan semakin membuatmu lemah/takut. Karena sesungguhnya
jika engkau mati dalam keadaan memakainya maka engkau tidak akan beruntung
selamanya.” (HR. Ahmad dengan sanad “la ba’sa bih”).
Dan juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
Dan juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
مَنْ
تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ.
“Barangsiapa yang
menggantungkan tamimah (jimat) maka sungguh ia telah berbuat syirik.” Di antara
kaum muslimin juga terdapat orang yang terfitnah oleh para tukang sihir dan
peramal yang katanya dapat meramal masa depan, padahal Nabi Shallallaahu alaihi
wa Salam yang mulia telah menyatakan:
مَنْ أَتَى
عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ
عَلَى مُحَمَّدٍ.
“Barangsiapa yang
mendatangi tukang ramal atau dukun lalu mempercayai apa yang dikatakannya, maka
sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan pada Muhammad.” (HR. Abu
Dawwud, An-Nasai, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Al-Hakim)
Kaum muslimin yang
berbahagia!
Semua yang saya
sebutkan di atas adalah sekedar contoh terhadap model-model kesyirikan yang
dilakukan sebagian kaum muslimin. Dalam kenyataan sehari-hari kita akan
menemukan model-model lain dari perilaku syirik itu dalam berbagai aspek
kehidupan kaum muslimin, yang kemudian disadari atau tidak menyebabkan lemahnya
keyakinan mereka terhadap kemaha-besaran, kemahakuasaan, kemahaperkasaan Allah.
Karena Tauhid mereka lemah, maka merekapun tidak begitu yakin lagi dengan
pertolongan Allah, sehingga dengan amat sangat mudahnya musuh-musuh mereka
menyebarkan rasa takut lalu mengalahkan mereka.
Dengan demikian
telah jelaslah, bahwa rahasia kejayaan kaum muslimin terletak pada sejauh mana
mereka menegakkan Tauhid yang murni dalam segala kehidupan mereka. Bukankah
kejayaan dan kemengangan itu telah diraih oleh generasi pendahulu ummat ini,
ketika mereka telah terlebih dahulu menghujam nilai-nilai Tauhid tersebut ke
dalam kalbu mereka? Bukankah kejayaan dan kecemerlangan itu mereka dapatkan
ketika mereka meyakini bahwa misi utama mereka adalah mengeluarkan ummat
manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk menuju penghambaan hanya kepada
Sang khaliq?
Oleh sebab itu, bila
kita sekalian bertekad mengulang kembali kesuksesan dan kejayaan generasi
As-Salaf Ash-Shaleh itu, maka tidak ada jalan lain selain menapaki jejak
mereka; menegakkan kemurnian Tauhid dalam pribadi kita masing-masing. Imam
Malik pernah bertutur:
لاَ يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ
بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا.
“Generasi akhir
ummat ini tak akan baik kecuali dengan (jalan hidup) yang telah menjadikan baik
generasi pendahulunya.”
Kaum muslimin yang
berbahagia!
Akhirnya, semoga
kita sekalian terpanggil untuk mengem-balikan kejayaan dan kehormatan ummat
Islam. Semoga kita sekalian tergugah untuk menebarkan rahmat Islam yang
dibangun di atas kemurnian Tauhid ke seluruh penjuru dunia, sehingga
terwujudlah kehidupan yang diridloi oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala . Amin.
Menghadapi Kenakalan Anak Dalam
Rumahtangga
Oleh: ROHANI
Hadirin jamaah
jum’ah yang dirahmati Allah. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta'ala mengutus Nabi Muhammad Shallallaahu
alaihi wa Salam guna menyempurnakan keutamaan Akhlak. Termasuk dalam urusan
penyempurnaan akhlak adalah memberi perlakuan yang baik kepada anak, seperti
mendidik, berlaku sabar dalam menghadapi kenakalannya maupun sabar dalam
memberi bimbingan sejak masih dalam kandungan sampai mereka dewasa. Selama ini
sebagian orang tua bersikap reaksioner atas semua tindakan anak, mereka
memandang anak sebagai orang dewasa dalam bentuk mini dan semua yang dilakukan harus sesuai dengan kelakuan
orang tua. Maka jika anak nakal yang dilakukan oleh orang tua biasanya adalah
mengurung, mengajar, mengisolasi dari pergaulan, mengurangi uang saku dan
sebagainya. Mengapa orang tua tidak bertanya kepada diri sendiri ada apa dengan
anak saya, apa yang kurang dari diri saya. Tidak mengherankan jika sekarang
orang tua banyak yang mengeluh karena anaknya terlibat dan akrab dengan
narkoba, diskotik, minum-minuman keras serta pergaulan bebas. Orang tua selama
ini hanya mampu memberikan ruang dan memenuhi kebutuhan fisiknya sedangkan kebutuhan
psikisnya terabaikan. Bukankah sayang jika permata hati kita nantinya hanya
generasi yang penuh dengan daging tambun sedangkan hatinya keropos dari
nilai-nilai dan ruh agama maupun ilahiyah. Padahal anak sesuai dengan fitrahnya
merupakan amanat Allah yang harus dijaga, dipelihara, dan dirawat dengan
kesabaran disertai dengan tawakkal untuk tetap berdo’a semoga diberi anak-anak
yang shalih, bukan cuma cerdas dan berprestasi di sekolah semata akan tetapi
mampu menjadi qurratu a’yun di masa depan.
Sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-Furqan ayat 74:
“Dan orang-orang yang berkata, Ya Tuhan
kami, anugerahkanlah kepada kami istri dan anak-anak yang jadi permata hati dan
jadikanlah kami pemimpin yang bertaqwa”
Hadirin jamaah
Jum’ah yang berbahagia.
Tidak mengherankan
jika Allah selalu berpesan bahwa anak-anak adalah perhiasan.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam adalah sebaik-baik contoh dalam memperlakukan anak. Bagaimana Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam mengajak cucu-cucunya bermain, mengajarkan cinta kepada anak-anak kepada para sahabatnya.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam adalah sebaik-baik contoh dalam memperlakukan anak. Bagaimana Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam mengajak cucu-cucunya bermain, mengajarkan cinta kepada anak-anak kepada para sahabatnya.
Diriwayatkan oleh
Abu Hurairah ia berkata: “Pernah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam
menciumi Hasan putra Ali dimana pada saat itu ada Aqra’ Ibnu Habis Attamimy
duduk. Dia lalu berkata, “Saya mempunyai sepuluh orang anak tidak pernah
satupun dari mereka saya cium”. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam melihat
kepadanya dan berkata:
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ.
“Siapa yang tidak
merahmati tidak dirahmati (oleh Allah)” (HR. Al-Bukhari dan muslim).
Mencium anak-anak
merupakan salah satu wujud kasih sayang orang tua kepada anak sekaligus
merupakan contoh riil agar anak tidak mencium kepada orang lain yang bukan
mahramnya. Pengalaman orang tua sering mencium anaknya sampai mereka dewasa
tidak akan menjadikan anak-anak mencium orang lain apalagi sampai berbuat zina
karena mereka sendiri telah merasa kecukupan dengan kasih sayang dari orang tua
insya Allah mereka akan menjadikan anak-anak yang diharapkan.
Apa yang sudah
dicontohkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menegaskan bahwa:
1.
Wajib bagi orang tua
menyelenggarakan pendidikan dalam rumah tangganya.
2.
Kewajiban tersebut wajar karena
Allah menciptakan orang tua yang bersifat mencintai anak-anaknya. Jadi yang
pertama hukumnya wajib, kedua karena orang tua senang mendidik anak-anaknya.
Inilah modal utama bagi pendidikan dalam keluarga itu dilaksanakan dan apa
tujuannya, serta kapan mulainya.
Cinta kepada anak
seringkali menyebabkan orang tua membanggakan anaknya. Mereka sering dengan
semangat meluap-luap menceritakan anaknya kepada tamunya atau kawan-kawannya.
Terutama mengenai kecerdasannya, kelucuannya, kepintarannya, keberaniannya dan
kegemasannya. Kadang-kadang cerita ini menjemukan orang yang mendengarkannya.
Sebaliknya tak ada orang yang ingin menceritakan kepada tamunya bahwa anaknya
bodoh, nakal, penakut dan sebagainya.
Anak sering pula
menyebabkan orang tua lupa kepada Allah dan RasulNya. Saking sibuknya mengurus
anak-anaknya, mereka bekerja mati-matian mencari uang agar semua permintaan
anaknya dapat terpenuhi. Kadang-kadang permintaan yang tidak masuk akalpun
dipenuhi, demi cintanya kepada anak. Sayang anak tidak jarang menyebabkan orang
tua korupsi dan mencuri. Kadang-kadang karena merasa anak-anaknya kuat, cerdas,
juara kelas, pemberani, maka orang tua merasa hidupnya akan aman. Oleh karena
itu mereka mulai meninggalkan Tuhan. Seringkali orang tua membela anaknya yang
berbuat salah sampai orang tua lupa bahwa membela yang salah adalah pelanggaran
aturan Allah.
Orang tua dapat juga
menjadi budak anaknya, dikala ia merasa wajib memenuhi segala keinginan
anaknya. Kewibawaan orang tua telah hilang, karena ia kalah dan dibentuk oleh
anaknya karena terlambat atau tidak mampu memenuhi permintaan anaknya. Seperti
tidak berani menegur anaknya untuk hal-hal yg baik karena takut anaknya gengsi
atau marah.Ayat Al-Qur’an berikut dapat menjadi renungan untuk kita seperti
yang tertera dalam Surat Saba’ ayat 37:
“Dan sekali-kali
bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan diri kalian
kepada Kami sedikit pun, tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal shalih.”
Hadirin jamaah
Jum’ah yang di berkati Allah.
Berdasarkan ayat
tadi bagi orang tua mendidik anak adalah kewajaran, karena kodratnya; selain
itu karena cinta. Mengingat uraian di atas, maka secara sederhana tujuan
pendidikan anak di dalam keluarga ialah agar anak itu menjadi anak yang shalih.
Anak seperti itulah yang patut dibanggakan. Tujuan lain adalah sebaliknya,
yaitu agar anak itu kelak tidak menjadi musuh bagi orang tuanya.
Anak yang saleh
dapat mengangkat nama baik orang tuanya, karena anak adalah dekorasi keluarga
dan mendo’akan orang tuanya kelak. Bila tidak mendo’akan orang tua,
keshalihannya telah cukup merupakan bukti amal baik bagi orang tuanya.
Pada suatu waktu
orang tua amat susah karena anaknya nakal. Orang tua yang menduduki posisi
terhormat dimasyarakat akan jatuh wibawanya karena anaknya yang nakal. Seorang
pemimpin masyarakat bila anaknya terlibat kenakalan khas remaja masa kini,
misalnya terlibat masalah jual beli obat-obatan terlarang akan jatuh
martabatnya dimata masyarakat. Bahkan mungkin saja orang tua akan dipecat dari
jabatannya hanya karena kenakalan anaknya.
Kapankah sebaiknya
kita mulai mendidik anak? Jawabannya tidak lain adalah semenjak masih dalam
masa konsepsi. Bahkan dalam Islam dimulai semenjak memilih pasangan hidup,
kemudian saat hamil, saat lahir, saat anak-anak sampai dewasa. Mengenalkan
mereka dengan asma-asma Allah, tentang tauhid, tentang akhlaq dan sebagainya.
Lalu bagaimana jika
cara tersebut sudah dilaksanakan dan anak-anak tetap saja nakal? Sabar,
tawakkal dalam menghadapinya adalah obat terbaik sambil tetap berdo’a memohon kepada
Allah agar kenakalannya tidak membawa madlarat bagi dirinya sendiri, orang
tuanya dan masyarakatnya.
أَسْتَغْفِرُ
اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ مِنْ كُلِّ
ذَنْبٍ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Anak Shalih Adalah Aset Orang Tua
Oleh: ROHANI
Jamaah jama'ah
rahimakumullah
Anak adalah buah hati bagi kedua orang tuanya yang sangat disayangi dan dicintainya.
Sewaktu bahtera rumah tangga pertama kali diarungi, maka pikiran pertama yang terlintas dalam benak suami istri adalah berapa jumlah anaknya kelak akan mereka miliki serta kearah mana anak tersebut akan dibawa. Menurut Sunnah melahirkan anak yang banyak justru yang terbaik. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
تَزَوَّجُوا
الْوَلُوْدَ وَالْوَدُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمْ.
Artinya: “Nikahilah
wanita yang penuh dengan kasih sayang dan karena sesungguhnya aku bangga pada
kalian dihari kiamat karena jumlah kalian yang banyak.” (HR. Abu Daud dan An
Nasa’I, kata Al Haitsamin).
Namun yang menjadi
masalah adalah kemana anak akan kita arahkan setelah mereka terlahir. Umumnya
orang tua menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi anak yang shalih,
agar setelah dewasa mereka dapat membalas jasa kedua orang tuanya. Namun obsesi
orang tua kadang tidak sejalan dengan usaha yang dilakukannya. Padahal usaha
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi terbentuknya watak dan
karakter anak. Obsesi tanpa usaha adalah hayalan semu yang tak akan mungkin
dapat menjadi kenyataan.
Bahkan sebagian
orang tua akibat pandangan yang keliru menginginkan agar kelak anak-anaknya
dapat menjadi bintang film (Artis), bintang iklan, fotomodel dan lain-lain.
Mereka beranggapan dengan itu semua kelak anak-anak mereka dapat hidup makmur
seperti kaum selebritis yang terkenal itu. Padahal dibalik itu semua mereka
kering akan informasi tentang perihal kehidupan kaum selebritis yang mereka
puja-puja. Hal ini terjadi akibat orang tua yang sering mengkonsumsi berbagai
macam acara-acara hiburan diberbagai media cetak dan elektronik, karena itu
opininya terbangun atas apa yang mereka lihat selama ini.
Jamaah jum’at
rahimakumullah
Kehidupan sebagian
besar selebritis yang banyak dipuja orang itu tidak lebih seperti kehidupan
binatang yang tak tahu tujuan hidupnya selain hanya makan dan mengumbar nafsu
birahinya. Hura-hura, pergaulan bebas, miras, narkoba dan gaya hidup yang serba
glamour adalah konsumsi sehari-hari mereka. Sangat jarang kita saksikan di
antara mereka ada yang perduli dengan tujuan hakiki mereka diciptakan oleh
Allah Subhannahu wa Ta'ala , kalaupun ada mereka hanya menjadikan ritualisme
sebagai alat untuk meraih tujuan duniawi, untuk mengecoh masyarakat tentang
keadaan mereka yang sebenarnya. Apakah kita menginginkan anak-anak kita menjadi
orang yang jauh dari agamanya yang kelihatannya bahagia di dunia namun
menderita di akhirat? Tentu tidak. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
artinya: “Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan)mereka” (An Nisa: 9).
Pengertian lemah dalam
ayat ini adalah lemah iman, lemah fisik, lemah intelektual dan lemah ekonomi.
Oleh karena itu selaku orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya,
maka mereka harus memperhatikan keempat hal ini. Pengabaian salah satu dari
empat hal ini adalah ketimpangan yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan pada
anak.
Imam Ibnu Katsir
dalam mengomentari pengertian lemah pada ayat ini memfokuskan pada masalah
ekonomi. Beliau mengatakan selaku orang tua hendaknya tidak meninggalkan
keadaan anak-anak mereka dalam keadaan miskin . (Tafsir Ibnu Katsir: I, hal
432) Dan terbukti berapa banyak kaum muslimin yang rela meninggalkan aqidahnya
(murtad) di era ini akibat keadaan ekonomi mereka yang dibawah garis
kemiskinan.
Banyak orang tua
yang mementingkan perkembangan anak dari segi intelektual, fisik dan ekonomi
semata dan mengabaikan perkembangan iman. Orang tua terkadang berani melakukan
hal apapun yang penting kebutuhan pendidikan anak-anaknya dapat terpenuhi,
sementara untuk memasukkan anak-anak mereka pada TK-TP Al-Qur’an terasa begitu
enggan. Padahal aspek iman merupakan kebutuhan pokok yang bersifat mendasar
bagi anak. Ada juga orang tua yang menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan bagi
anak-anak mereka dari keempat masalah pokok di atas, namun usaha yang dilakukannya
kearah tersebut sangat diskriminatif dan tidak seimbang. Sebagai contoh: Ada
orang tua yang dalam usaha mencerdaskan anaknya dari segi intelektual telah
melaksanakan usahanya yang cukup maksimal, segala sarana dan prasarana kearah
tercapainya tujuan tersebut dipenuhinya dengan sungguh-sungguh namun dalam
usahanya memenuhi kebutuhan anak dari hal keimanan, orang tua terlihat setengah
hati, padahal mereka telah memperhatikan anaknya secara bersungguh-sungguh
dalam segi pemenuhan otaknya.
Jamaah jum’at rahimakumullah.
Karena itu sebagian
orang tua yang bijaksana, mesti mampu memperhatikan langkah-langkah yang harus
di tempuh dalam merealisasikan obsesinya dalam melahirkan anak yang shalih. Di
bawah ini akan kami ketengahkan beberapa langkah yang cukup representatif dan
membantu mewujudkan obsesi tersebut:
1. Opini atau
persepsi orang tua atau anak yang shalih tersebut harus benar-benar sesuai
dengan kehendak Islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam , bersabda:
إِذَا
مَاتَ بْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ.
Artinya: “Jika wafat
anak cucu Adam, maka terputuslah amalan-amalannya kecuali tiga: Sadaqah jariah
atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang selalu mendoakannya.”
(HR.Muslim)
Dalam hadits ini
sangat jelas disebutkan ciri anak yang shalih adalah anak yang selalu mendoakan
kedua orang tuanya. Sementara kita telah sama mengetahui bahwa anak yang senang
mendoakan orang tuanya adalah anak sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam
melaksanakan kebaikan-kebaikan,melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu
wa Ta'ala , dan menjauhi larangan-laranganNya. Anak yang shalih adalah anak
yang tumbuh dalam naungan DienNya, maka mustahil ada anak dapat bisa mendoakan
orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhannahu wa
Ta'ala dan senang bermaksiat kepadaNya. Anak yang senang bermaksiat kepada
Allah Subhannahu wa Ta'ala , jelas akan jauh dari perintah Allah dan
kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus.
Dalam hadits ini
dijelaskan tentang keuntungan memiliki anak yang shalih yaitu, amalan-amalan
mereka senantiasa berkorelasi dengan kedua orang tuanya walaupun sang orang tua
telah wafat. Jika sang anak melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka
amal dari kebaikannya juga merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera
terkabul oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala . Jadi jelaslah bagi kita akan
gambaran anak yang shalih yaitu anak yang taat kepada Allah Subhannahu wa
Ta'ala , menjauhi larangan-laranganNya, selalu mendoakan orang tuanya dan
selalu melaksanakan kebaikan-kebaikan.
2. Menciptakan
lingkungan yang kondusif ke arah tercipta-nya anak yang shalih.
Lingkungan merupakan tempat di mana manusia melaksana-kan aktifitas-aktifitasnya. Secara mikro lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
Lingkungan merupakan tempat di mana manusia melaksana-kan aktifitas-aktifitasnya. Secara mikro lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
a. Lingkungan
keluarga
Keluarga merupakan
sebuah institusi kecil dimana anak mengawali masa-masa pertumbuhannya. Keluarga
juga merupakan madrasah bagi sang anak. Pendidikan yang didapatkan merupakan
pondasi baginya dalam pembangunan watak, kepribadian dan karakternya.
Jama'ah jum’at
rahimakumullah
Jika anak dalam
keluarga senantiasa terdidik dalam warna keIslaman, maka kepribadiannya akan
terbentuk dengan warna keIslaman tersebut. Namun sebaliknya jika anak tumbuh
dalam suasana yang jauh dari nilai-nilai keIslaman, maka jelas kelak dia akan
tumbuh menjadi anak yang tidak bermoral. Seorang anak yang terlahir dalam keadaan
fitrah, kemudian orang tuanyalah yang mewarnainya, Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam bersabda:
كُلُّ
مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخاري).
Artinya: “Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan yang fitrah (Islam), maka orang tuanya yang
menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari)
Untuk itu orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat awal dimana anak kita mengalami pertumbuhannya dengan cara menanamkan dalam jiwa anak kita kecintaan terhadap diennya, cinta terhadap ajaran Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam, sehingga ketika anak tersebut berhadapan dengan lingkungan lain anak tersebut memiliki daya resistensi yang dapat menangkal setiap saat pengaruh negatif yang akan merusak dirinya.
Untuk itu orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat awal dimana anak kita mengalami pertumbuhannya dengan cara menanamkan dalam jiwa anak kita kecintaan terhadap diennya, cinta terhadap ajaran Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam, sehingga ketika anak tersebut berhadapan dengan lingkungan lain anak tersebut memiliki daya resistensi yang dapat menangkal setiap saat pengaruh negatif yang akan merusak dirinya.
Agar dapat
memudahkan jalan bagi pembentukan kepribadian bagi anak yang shalih, maka
keteladanan orang tua merupakan faktor yang sangat menentukan. Oleh karena itu,
selaku orang tua yang bijaksana dalam berinteraksi dengan anak pasti
memperlihatkan sikap yang baik, yaitu sikap yang sesuai dengan kepribadian yang
shalih sehingga anak dapat dengan mudah meniru dan mempraktekkan sifat-sifat
orang tuanya
b. Lingkungan
Sekolah
Sekolah merupakan
lingkungan di mana anak-anak berkumpul bersama teman-temannya yang sebaya
dengannya. Belajar, bermain dan bercanda adalah kegiatan rutin mereka di
sekolah. Sekolah juga merupakan sarana yang cukup efektif dalam membentuk watak
dan karakter anak. Di sekolah anak-anak akan saling mempengaruhi sesuai dengan
watak dan karakter yang diperolehnya dalam keluarga mereka masing-masing. Anak
yang terdidik secara baik di rumah tentu akan memberi pengaruh yang positif
terhadap teman-temanya. Sebaliknya anak yang di rumahnya kurang mendapat
pendidikan yang baik tentu akan memberi pengaruh yang negatif menurut karakter
dan watak sang anak.
Faktor yang juga
cukup menentukan dalam membentuk watak dan karakter anak di sekolah adalah
konsep yang diterapkan sekolah tersebut dalam mendidik dan mengarahkan setiap
anak didik.
Sekolah yang ditata
dengan managemen yang baik tentu akan lebih mampu memberikan hasil yang
memuaskan dibandingkan dengan sekolah yang tidak memperhatikan sistem
managemen. Sekolah yang sekedar dibangun untuk kepentingan bisnis semata pasti
tidak akan mampu menghasilkan murid-murid yang berkwalitas secara maksimal,
kualitas dalam pengertian intelektual dan moral keagamaan.
Kualitas intelektual
dan moral keagamaan tenaga pengajar serta kurikulum yang dipakai di sekolah
termasuk faktor yang sangat menentukan dalam melahirkan murid yang berkualitas
secara intelektual dan moral keagamaan.
Oleh sebab itu orang
tua seharusnya mampu melihat secara cermat dan jeli sekolah yang pantas bagi
anak-anak mereka. Orang tua tidak harus memasukkan anak mereka di
sekolah-sekolah favorit semata dalam hal intelektual dan mengabaikan faktor
perkembangan akhlaq bagi sang anak, karena sekolah tersebut akan memberi warna
baru bagi setiap anak didiknya. Keseimbangan pelajaran yang diperoleh murid di
sekolah akan lebih mampu menyeimbangkan keadaan mental dan intelektualnya.
Karena itu sekolah yang memiliki keseimbangan kurikulum antara pelajaran umum
dan agama akan lebih mampu memberi jaminan bagi seorang anak didik.
c. Lingkungan
Masyarakat
Masyarakat adalah
komunitas yang terbesar dibandingkan dengan lingkungan yang kita sebutkan sebelumnya.
Karena itu pengaruh yang ditimbulkannya dalam merubah watak dan karakter anak
jauh lebih besar. Masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dalam kemaksiatan
akan sangat mempengaruhi perubahan watak anak kearah yang negatif. Dalam
masyarakat seperti ini akan tumbuh berbagai masalah yang merusak ketenangan,
kedamaian, dan ketentraman. Anak yang telah di didik secara baik oleh orang
tuanya untuk selalu taat dan patuh pada perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan
RasulNya, dapat saja tercemari oleh limbah kemaksiatan yang merajalela
disekitarnya. Oleh karena itu untuk dapat mempertahankan kwalitas yang telah
terdidik secara baik dalam institusi keluarga dan sekolah, maka kita perlu
bersama-sama menciptakan lingkungan masyarakat yang baik, yang kondusif bagi
anak.
Masyarakat terbentuk
atas dasar gabungan individu-individu yang hidup pada suatu komunitas tertentu.
Karena dalam membentuk masyarakat yang harmonis setiap individu memiliki peran
dan tanggung jawab yang sama. Persepsi yang keliru biasanya masih mendominasi
masyarakat. Mereka beranggapan bahwa yang bertanggung jawab dalam masalah ini
adalah pemerintah, para da’i, pendidik atau ulama. Padahal Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam , bersabda:
مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
اْلإِيْمَانِ. (رواه مسلم).
Artinya:
“Barangsiapa di antaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan
tangannya, jika ia tidak sanggup maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup
maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Jika setiap orang
merasa tidak memiliki tanggung jawab dalam hal beramar ma’ruf nahi munkar, maka
segala kemunkaran bermunculan dan merajalela di tengah masyarakat kita dan
lambat atau cepat pasti akan menimpa putra dan putri kita. Padahal kedudukan
kita sebagai umat yang terbaik yang dapat memberikan ketentraman bagi
masyarakat kita hanya dapat tercapai jika setiap individu muslim secara
konsisten menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, karena Allah Subhannahu wa
Ta'ala berfirman:
Artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah...” (Ali Imran: 110).
Artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah...” (Ali Imran: 110).
Jamaah jum’at rahimakumullah
Amar ma’ruf adalah
kewajiban setiap individu masing-masing yang harus dilaksanakan. Jika tidak
maka Allah Subhannahu wa Ta'ala , pasti akan menimpakan adzabnya di
tengah-tengah kita dan pasti kita akan tergolong orang-orang yang rugi Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
Artinya: “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang
yang beruntung.” (Ali-Imran: 104).
Untuk itu di akhir khutbah ini marilah kita
bersama-sama merasa peduli terhadap kelangsungan hidup generasi kita, semoga
dengan kepedulian kita itulah Allah Subhannahu wa Ta'ala akan senantiasa
menurunkan pertolonganNya kepada kita dan memenangkan Islam di atas agama-agama
lainnya.
Menjaga
Diri Dan Keluarga dari Api Neraka
Oleh: ROHANI
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيْئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ
هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ
آَمَنُو اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَا تِهِ وَلاَ تَمُو تُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُوْنَ.
يَآ أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مَنْ نَفْسِ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالً كَثِيْرًا وَنِسَاءَ، وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَ لُونَ بِهِ وَالأرْحَامِ, إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوا اتَّقُواْ اللهَ وَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيْدَا, يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُو بَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمَا.
أَمَّابَعْدُ: فَإِنْ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ, وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُخَدَثَا تُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحِسَانِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
يَآ أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مَنْ نَفْسِ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالً كَثِيْرًا وَنِسَاءَ، وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَ لُونَ بِهِ وَالأرْحَامِ, إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوا اتَّقُواْ اللهَ وَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيْدَا, يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُو بَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمَا.
أَمَّابَعْدُ: فَإِنْ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ, وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُخَدَثَا تُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحِسَانِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
Saudara-saudara
seiman rahimakumullah.
Marilah kita selalu
mengulangi ucapan rasa syukur kepada Allah karena nikmat-nikmat-Nya yang telah
tercurahkan kepada kita semua sehingga kesehatan jasmani dan rohani masih
menghiasi kita. Semoga rasa syukur yang kita panjatkan ini, menjadi kunci lebih
terbukanya pintu-pintu karunia-Nya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Jika kalian
bersyukur, maka akan Kami tambahkan bagimu dan jika kamu mengingkarinya,
sesungguhnya siksaanKu itu sangat pedih”. (Ibrahim: 7)
Kami peringatkan juga para jamaah dan diri ini agar senantiasa menjaga ketaqwaan, agar mengakar kuat dan kokoh di lubuk hati yang paling dalam. Sebab itulah modal yang hakiki untuk menyongsong kehidupan abadi, agar hari-hari kita nanti bahagia.
Kami peringatkan juga para jamaah dan diri ini agar senantiasa menjaga ketaqwaan, agar mengakar kuat dan kokoh di lubuk hati yang paling dalam. Sebab itulah modal yang hakiki untuk menyongsong kehidupan abadi, agar hari-hari kita nanti bahagia.
Ikhwani fiddin
rahimakumullah.
Seorang muslim seyogyanya menjadikan kampung akhirat sebagai target utama yang harus diraih. Tidak meletakkan dunia dan gemerlapannya di lubuk hatinya, namun hanya berada di genggaman tangannya saja, sebagai batu loncatan untuk mencapai nikmat Jannah yang langgeng. Jadi, jangan sampai kita hanya duduk-duduk santai saja menanti perjalanan waktu, apalagi tertipu oleh ilusi dunia. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
“Ketahuilah, bahwasanya kehidupan dunia hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara
kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan
yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan akhirat
(nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan
kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.(Al-Hadid: 20)
Ibnu Katsir berkata
(dengan ringkas): “Allah Subhannahu wa Ta'ala membuat permisalan dunia sebagai
keindahan yang fana dan nikmat yang akan sirna. Yaitu seperti tanaman yang
tersiram hujan setelah kemarau panjang, sehingga tumbuhlah tanaman-tanaman yang
menakjubkan para petani, seperti ketakjuban orang kafir terhadap dunia, namun
tidak lama kemudian tanaman-tanaman tersebut menguning, dan akhirnya kering dan
hancur”. Misal ini mengisyaratkan bahwa dunia akan hancur dan akhirat akan
menggantikannya, lalu Allah pun memperingatkan tentangnya dan menganjurkan
untuk berbuat baik. Di akhirat, hanya ada dua pilihan: tempat yang penuh dengan
adzab pedih dan hunian yang sarat ampunan dan keridhaan Allah bagi hamba-Nya.
Ayat ini diakhiri dengan penegasan tentang hakikat dunia yang akan menipu orang
yang terkesan dan takjub padanya. Topik utama kita kali ini menekankan
pentingnya pendidikan anak yang termasuk salah satu unsur keluarga, agar dia
selamat dunia dan akhirat. Anak bagi orang tua merupakan buah perkawinan yang
menyenangkan. Dibalik itu, anak adalah amanat yang dibebankan atas orang tua.
Tidak boleh disia-siakan dan di sepelekan. Pelaksana amanah harus menjaga
dengan baik kondisi titipan agar tidak rusak. Sebab orang tua kelak akan
ditanya tentang tanggung jawabnya. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam
bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian
adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang anggungjawabnya”.(Hadits shahih,
Riwayat Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi, dari Ibnu Umar)
Anak terlahir dalam
keadaan fitrah. Kewajiban orang tua merawatnya agar tidak menyimpang dari jalan
yang lurus, dan selamat dari api neraka. Selain itu, anak yang shalih akan
menjadi modal investasi bagi kedua orang tuanya.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar, keras, lagi tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.(At-Tahrim: 6)
Ali Radhiallaahu
anhu berkata dalam menafsiri ayat ini: “Didik dan ajarilah mereka”. Adh-Dhahak
dan Muqatil berujar: “Wajib atas seorang Muslim untuk mendidik keluarganya
seperti kerabat, budak perempuan dan budak laki-lakinya tentang perintah dan
larangan Allah”.
Hadirin jamaah
Jum’at yang dimuliakan Allah.
Maka, mulai sekarang
hendaknya para orang tua sadar terhadap kewajiban mereka untuk mendidik
anak-anak mereka agar menjadi hamba Allah yang taat. Memilihkan pendidikan anak
yang kondusif untuk perkembangan iman dan otaknya. Bukannya membiarkan
anak-anak mereka begitu saja tanpa pengawasan terhadap bacaan yang mereka
gemari, apa saja yang suka mereka saksikan dan aktivitas yang mereka gandrungi.
Kelalaian dalam hal ini, berarti penyia-nyiaan terhadap amanat Allah.
Ingatlah akibat yang
akan menimpa kita dan keluarga kita yang tersia-siakan pendidikan agamanya!
Nerakalah balasan yang pantas bagi orang-orang yang melalaikan kewajibannya.
Termasuk anak kita yang malang.!!!
Sesungguhnya neraka itu terlalu dalam dasarnya untuk diukur, tiada daya dan upaya bagi mereka untuk meloloskan diri dari siksanya. Kehinaan dan kerendahanlah yang selalu menghiasi roman muka mereka. Keadaan seperti ini tak akan kunjung putus, jika tidak ada sedikitpun iman dalam dada mereka. Alangkah besarnya kerugian mereka. Begitu banyak penderitaan yang harus mereka pikul. Inilah kerugian nyata dan hakiki, ketika orang tercampakkan ke dalam lubang neraka Jahanam.
Sesungguhnya neraka itu terlalu dalam dasarnya untuk diukur, tiada daya dan upaya bagi mereka untuk meloloskan diri dari siksanya. Kehinaan dan kerendahanlah yang selalu menghiasi roman muka mereka. Keadaan seperti ini tak akan kunjung putus, jika tidak ada sedikitpun iman dalam dada mereka. Alangkah besarnya kerugian mereka. Begitu banyak penderitaan yang harus mereka pikul. Inilah kerugian nyata dan hakiki, ketika orang tercampakkan ke dalam lubang neraka Jahanam.
Untuk menegaskan
tentang kedahsyatan siksa neraka, kami kutip firman Allah Subhannahu wa Ta'ala
:
“Setiap kulit mereka
hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain supaya mereka merasakan
adzab”. (An-Nisaa’: 56).
Dan juga sabda
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yang menunjukkan tentang siksaan neraka
yang paling ringan, yaitu siksa yang ditimpakan atas Abu Thalib yang artinya:
Dari Ibnu Abbas
Radhiallaahu anhu, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
“Penduduk neraka yang paling ringan adzabnya adalah Abu Thalib. Dia memakai 2 terompah dari api neraka (yang berakibat) otaknya mendidih karenanya”. (HR. Muttafaqun ‘Alaih).
“Penduduk neraka yang paling ringan adzabnya adalah Abu Thalib. Dia memakai 2 terompah dari api neraka (yang berakibat) otaknya mendidih karenanya”. (HR. Muttafaqun ‘Alaih).
Dengan penjelasan di
atas, kita sudah sedikit banyak paham tentang tempat kembalinya orang yang
mendurhakai Allah.
Dari mimbar ini kami
ingatkan kembali, marilah kita mulai dengan memberikan perhatian yang besar
terhadap Tarbiyatul Aulad, yaitu proses pendidikan anak kita.
Al-Qur’an telah mengulas tentang sejarah seorang ayah yang mendidik anaknya untuk mengenal kebaikan. Itulah Luqman, yang dimuliakan Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan pencantuman perkataannya ketika mendidik keturunannya dalam Al-Qur’an. Secara luas itu termaktub dalam surat (QS. Luqman 12-19).
Al-Qur’an telah mengulas tentang sejarah seorang ayah yang mendidik anaknya untuk mengenal kebaikan. Itulah Luqman, yang dimuliakan Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan pencantuman perkataannya ketika mendidik keturunannya dalam Al-Qur’an. Secara luas itu termaktub dalam surat (QS. Luqman 12-19).
Dalam surat
tersebut, Luqman memulai mengajari anaknya dengan penanaman kalimat tauhid yang
hakikatnya memurnikan ibadah hanya untuk Allah saja, dilanjutkan dengan
kewajiban berbakti dan taat kepada orang tua selama tidak menyalahi syariat.
Wasiat berikutnya adalah berkaitan dengan penyemaian keyakinan tentang hari
pembalasan, penjelasan kewajiban menegakkan shalat. Setelah itu amar ma’ruf dan
nahi mungkar yang berperan sebagai faktor penting untuk memperbaiki umat, tak
lupa beliau singgung, beserta sikap sabar dalam pelaksanaannya. Berikutnya
beliau mengalihkan perhatiannya menuju adab-adab keseharian yang tinggi. Di
antaranya larangan memalingkan wajah ketika berkomunikasi dengan orang lain,
sebab ini berindikasi jelek, yaitu cerminan sikap takabur. Beliau juga melarang
anaknya berjalan dengan congkak dan sewenang-wenang di muka bumi sebab Allah
Ta'ala tidak menyukai orang-orang yang sombong. Beliau juga mengarahkan anaknya
untuk berjalan dengan sedang tidak terlalu lambat ataupun terlalu cepat. Sedang
nasehat yang terakhir berkaitan erat dengan perintah untuk merendahkan suara,
tidak berlebih-lebihan dalam berbicara. Demikianlah wasiat Luqman terhadap
anaknya, yang sarat dengan mutiara yang sangat agung dan berfaedah bagi buah
hatinya untuk meniti jalan kehidupan yang dipenuhi duri, agar bisa sampai ke
akhirat dengan selamat.Cukuplah kiranya kisah tadi sebagai suri tauladan bagi
para pemimpin keluarga. Memenuhi kebutuhan sandang dan pangan yang memang
penting. Namun ingat, kebutuhan seorang anak terhadap ilmu dan pengetahuan
lebih urgen (mendesak).
Jamaah Jum’at yang
berbahagia. Orang tua wajib memenuhi kebutuhan ruhani sang anak, jangan sampai
gersang dari pancaran ilmu dien. Perkara ini jauh lebih penting dari sekedar
pemenuhan kebutuhan jasmani karena berhubungan erat dengan keselamatannya di
dunia dan akhirat. Hal itu dapat terealisir dengan pendidikan yang
berkesinambungan di dalam maupun di luar rumah. Masalahnya, model pendidikan
yang ada saat ini hanya menelorkan generasi-generasi yang materialistis, gila
dunia. Karena itu kita harus menengok dan menggali metode-metode pendidikan
yang dipakai Salafus Shalih yang ternyata telah terbukti dengan membuahkan
insan-insan yang cemerlang bagi umat ini.!
إِنَّ اللهَ وَمَلآَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِي يَآ
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُواْ صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَا.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى
إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِدٌ مَجِيْدٌ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُونَا بِالإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفُ رَّحِيْمٌ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَاْرحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا. رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُونَا بِالإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفُ رَّحِيْمٌ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَاْرحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا. رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Mengukir Prestasi Dihadapan Ilahi
Oleh : ROHANI
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ
هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّكَ
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ أَرْشَدَكُمُ اللهُ ... أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ، وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى، حَيْثُ قَالَ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيْمِ:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ أَرْشَدَكُمُ اللهُ ... أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ، وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى، حَيْثُ قَالَ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيْمِ:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ،
وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ
ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Ma’asyiral muslimin
arsyadakumullah ...
Pada kesempatan yang baik ini, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Ta’ala yang telah memberikan taufiq serta hidayahNya, sehingga kita masih dalam keadaan Iman dan Islam...
Pada kesempatan yang baik ini, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Ta’ala yang telah memberikan taufiq serta hidayahNya, sehingga kita masih dalam keadaan Iman dan Islam...
Selanjutnya, dari
atas mimbar Jum’ah ini, saya wasiatkan kepada diri saya berikut jama’ah
sekalian, Marilah,- dari sisa-sisa waktu yang Allah berikan ini, kita gunakan
untuk selalu mening-katkan ketaqwaan kita kepada Allah, yaitu dengan selalu
memper-hatikan syariat Allah, kita aplikasikan dalam setiap derap langkah hidup
kita hingga akhir hayat. Baik berhubungan dengan hal-hal yang wajib, sunnah,
haram, makruh, maupun yang mubah. Karena, dengan ukuran inilah prestasi seorang
manusia dinilai dihadapan Allah. Suatu ketika Umar Ibnul Khaththab bertanya
kepada Ubay bin Ka’ab tentang gambaran taqwa itu. Lalu ia menjawab dengan nada
bertanya: “Bagaimana jika engkau melewati jalan yang penuh onak dan duri?”
Jawab Umar. “Tentu aku bersiap-siap dan hati-hati” Itulah taqwa, kata Ubay bin
Ka’ab
Ma’asyiral muslimin,
jama’ah Jum’ah rahimakumullah
Telah dimaklumi bahwa, manusia pada mulanya berasal dari dua orang sejoli, Nabiyullah Adam dan ibunda Hawa. Daripadanya berkembang menjadi banyak bangsa bahkan suku. Semua manusia dinegara manapun dinisbatkan kepada beliau berdua. Dalam hal ini Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13, artinya:“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Telah dimaklumi bahwa, manusia pada mulanya berasal dari dua orang sejoli, Nabiyullah Adam dan ibunda Hawa. Daripadanya berkembang menjadi banyak bangsa bahkan suku. Semua manusia dinegara manapun dinisbatkan kepada beliau berdua. Dalam hal ini Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13, artinya:“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Disebutkan dalam
ayat ini bahwa kedudukan manusia dihadapan Allah adalah sama, tidak ada
perbedaan. Adapun yang membedakan di antara mereka adalah dalam urusan diin
(agama), yaitu seberapa ketaatan mereka kepada Allah dan RasulNya.
Al-Hafifzh Ibnu Katsir menambahkan: “Mereka berbeda di sisi Allah adalah karena taqwanya, bukan karena jumlahnya”
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
Al-Hafifzh Ibnu Katsir menambahkan: “Mereka berbeda di sisi Allah adalah karena taqwanya, bukan karena jumlahnya”
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:
لَيْسَ لأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ فَضْلٌ إِلاَّ بِالدِّيْنِ
أَوْ عَمَلٍ صَالِحٍ. (رواه البيهقي).
“Tidaklah seseorang
mempunyai keutamaan atas orang lain, kecuali karena diinnya atau amal shalih.”
Ma’asyiral muslimin
jama’ah Jum’ah rahimakumullah ...
Saat ini, kehidupan manusia telah berkembang dengan pesat dalam segala aspeknya. Dari segi jumlah mencapai milyaran, dari sisi penyebaran, ratusan bangsa bahkan ribuan suku yang masing-masing mengembangkan diri sesuai potensi yang bisa dikem-bangkan. Darinya pula muncul beragam bahasa, adat istiadat, budaya dan lain-lain, termasuk teknologi yang mereka temukan. Namun, kalau kita renungkan semua itu adalah untuk jasmani kita (saja) agar hidup kita dalam keadaan sehat, tercukupi kebutuhan materi, tidak saling mengganggu, aman tentram dalam mengemban persoalan kehidupan. Inilah tuntutan “kasat mata” hidup seorang manusia.
Saat ini, kehidupan manusia telah berkembang dengan pesat dalam segala aspeknya. Dari segi jumlah mencapai milyaran, dari sisi penyebaran, ratusan bangsa bahkan ribuan suku yang masing-masing mengembangkan diri sesuai potensi yang bisa dikem-bangkan. Darinya pula muncul beragam bahasa, adat istiadat, budaya dan lain-lain, termasuk teknologi yang mereka temukan. Namun, kalau kita renungkan semua itu adalah untuk jasmani kita (saja) agar hidup kita dalam keadaan sehat, tercukupi kebutuhan materi, tidak saling mengganggu, aman tentram dalam mengemban persoalan kehidupan. Inilah tuntutan “kasat mata” hidup seorang manusia.
Ma’asyiral muslimin,
jama’ah Jum’ah rahimakumullah ...
Tak pelak dari perkembangan tersebut menimbulkan rasa gembira, puas, bangga, bahkan lebih dari itu, yakni sombong. Sebagai contoh, negara yang maju, kuat merasa lebih baik dan harus diikuti (baca: ditakuti) oleh negara yang lain. Orang kaya merasa lebih baik dari yang miskin, orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan (tertentu yang lebih tinggi) merasa lebih baik dan pantas untuk diikuti oleh yang lain dalam segala tuntutannya. Bahkan kadang-kadang, orang yang ditakdirkan Allah mempunyai “kelebihan” dari orang yang ditakdirkan “kekurangan” itu menyu-ruh (memaksa)-nya untuk mengerjakan hal-hal yang menyalahi ajaran agama Allah.
Tak pelak dari perkembangan tersebut menimbulkan rasa gembira, puas, bangga, bahkan lebih dari itu, yakni sombong. Sebagai contoh, negara yang maju, kuat merasa lebih baik dan harus diikuti (baca: ditakuti) oleh negara yang lain. Orang kaya merasa lebih baik dari yang miskin, orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan (tertentu yang lebih tinggi) merasa lebih baik dan pantas untuk diikuti oleh yang lain dalam segala tuntutannya. Bahkan kadang-kadang, orang yang ditakdirkan Allah mempunyai “kelebihan” dari orang yang ditakdirkan “kekurangan” itu menyu-ruh (memaksa)-nya untuk mengerjakan hal-hal yang menyalahi ajaran agama Allah.
Ma’asyiral Muslimin,
Jama’ah Jum’ah rahikumullah ...
Begitulah kecenderungan manusia dalam memenuhi hasrat hidupnya, kadang (atau bahkan sering) tidak mempedulikan perintah atau larangan Allah. Padahal dari aturan agama inilah manusia diuji oleh Allah-menjadi hamba yang taat atau maksiat. Itulah parameter yang pada saatnya nanti akan dimintai pertanggung-jawabannya.
Begitulah kecenderungan manusia dalam memenuhi hasrat hidupnya, kadang (atau bahkan sering) tidak mempedulikan perintah atau larangan Allah. Padahal dari aturan agama inilah manusia diuji oleh Allah-menjadi hamba yang taat atau maksiat. Itulah parameter yang pada saatnya nanti akan dimintai pertanggung-jawabannya.
Tetapi sekali lagi,
karena tipisnya ikatan manusia dengan syariat Allah, manusia banyak yang tidak
menghiraukan halal atau haram, karena memang manusia “tidak punyak hak” untuk
menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, kecuali kembali kepada syariat agama
Allah. Karena minimnya ilmu syar’i itulah yang menyebabkan banyak manusia
terjerembab ke lembah kedurhakaan dan jatuh ke lumpur dosa. Bahkan tidak
menutup kemungkinan, para pelakunya tidak merasa berbuat dosa, atau malah
bangga dengan “amal dosa” itu, na’udzubillah.
Renungkanlah syair seorang tabi’in Abdullah Ibnul Mubarak:
Renungkanlah syair seorang tabi’in Abdullah Ibnul Mubarak:
رَأَيْتُ الذُّنُوْبَ تُمِيْتُ الْقُلُوْبَ وَيُوْرِثُكَ
الذُّلَ اِدْمَانُهَا، وَتَرْكُ الذُّنُوْبِ حَيَاةُ الْقُلُوْبِ وَخَيْرٌ
لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا.
“Aku lihat perbuatan
dosa itu mematikan hati, membiasakannya akan mendatangkan kehinaan. Sedang
meninggalkan dosa itu menghidupkan hati, dan baik bagi diri(mu) bila
meninggalkannya”
Prestasi manakah
yang akan kita ukir? Prestasi barrun, taqiyyun, karimun (baik, taqwa, mulia!)
Ataukah prestasi fajirun, syaqiyun, Dzalilun (ahli maksiat, celaka, hina) Dalam
hal mana? Yaitu sejauh mana kita menyikapi ajaran Allah dan RasulNya.
Perhatikanlah wasiat Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata:
أَيُّهَا النَّاُس إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، كُلَّمَا
ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ.
“Wahai manusia,
ketahuilah bahwasanya engkau adalah (kumpulan) hari-hari, setiap ada sehari
yang berlalu, maka hilanglah sebagian dari dirimu.”
Ma’asyiral muslimin,
jama’ah Jum’ah rahimakumullah ..
·
Sudah berapa umur kita yang
berlalu begitu saja ..
·
Sudah berapa amal taat yang
telah kita kumpulkan sebagai investasi di sisi Allah ..
·
Sudah berapa pula, amal
maksiat yang telah kita lakukan yang menyebabkan kita (nantinya) terseret
kedalam Neraka ..
Marilah, segera
bertobat untuk ‘mengukir” dengan amal taat terhadap Allah dan Rasulnya.
Umat Islam (termasuk saya dan jama’ah sekalian) telah diberi hidayah berupa Al-Qur’an (dan As-Sunnah). Selanjutnya tinggal bagaimana umat Islam menerjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita termasuk zhalimun linafsih, muqtashid, atau saabiqun bil khairat bi idznillah.
Dalam tafsirnya, Al-Hafizh Ibnu Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut:
Umat Islam (termasuk saya dan jama’ah sekalian) telah diberi hidayah berupa Al-Qur’an (dan As-Sunnah). Selanjutnya tinggal bagaimana umat Islam menerjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita termasuk zhalimun linafsih, muqtashid, atau saabiqun bil khairat bi idznillah.
Dalam tafsirnya, Al-Hafizh Ibnu Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut:
·
Zhalimun linafsihi: Orang yang
enggan mengerjakan kewajiban (syariat) tetapi banyak melanggar apa yang Allah
haramkan (yang dilarang)
·
Muqtashid: Orang yang
menunaikan kewajiban, meninggalkan yang diharamkan, kadang meninggalkan yang
sunnah dan mengerjakan yang makruh.
·
Sabiqun bil khairat: Orang
yang mengerjakan kewajiban dan yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan
makruh, bahkan meninggalkan sebagian yang mubah (karena wara’nya)
Tak seorang pun di
antara kita yang bercita-cita untuk mendekam dalam penjara. Apalagi penjara Allah
yang berupa siksa api Neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan bebatuan.
Tetapi semua itu terpulang kepada kita masing-masing. Kalau kita tidak
mempedulikan syari’at Allah, tidak mustahil kita akan mendekam di dalamnya.
Na’udzu billah.
Itulah ujian Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasul SAW.
Itulah ujian Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasul SAW.
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ
بِالشَّهَوَاتِ.
“(Jalan) menuju
Jannah itu penuh dengan sesuatu yang tidak disukai manusia, dan (jalan) Neraka
itu dilingkupi sesuatu yang disukai oleh syahwat”
Semoga Allah mengumpulkan kita dalam umatNya yang terbaik dan terjauhkan dari ketergelinciran ke dalam jurang kemaksiatan. Amin
Semoga Allah mengumpulkan kita dalam umatNya yang terbaik dan terjauhkan dari ketergelinciran ke dalam jurang kemaksiatan. Amin
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ،
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى
رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ أَرْشَدَكُمُ اللهُ ... أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
رَّبَّنَآإِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ ءَامِنُوا بِرَبِّكُمْ فَئَامَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا وَءَاتِنَا مَاوَعَدتَنَا عَلَىرُسُلِكَ وَلاَتُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لاَتُخْلِفُ الْمِيعَادَ.
رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ إِلَيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ أَرْشَدَكُمُ اللهُ ... أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
رَّبَّنَآإِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ ءَامِنُوا بِرَبِّكُمْ فَئَامَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا وَءَاتِنَا مَاوَعَدتَنَا عَلَىرُسُلِكَ وَلاَتُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لاَتُخْلِفُ الْمِيعَادَ.
رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِيْ إِلَيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar