Jumat, 12 Agustus 2011

KHUTBAH JUM'AT : (JUJUR TIDAK MESTI HANCUR)

Jujur Tidak Mesti Hancur
الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على امورالدنيا والدين. أ&a
mp;#1588;هد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد
فياعباد الله أوصيكم وإياي بتقوى الله فقد فاز المتقون, وقال الله تعالى "ياأيهاالذين أمنوا اتقوالله حق تقاته ولاتموتن إلا وأنتم مسلمون" وقال النبي صلى الله عليه وسلم: اتق الله حيثما كنت واتبع السيئة الحسنة تمحوها وخالق الناس بخلق حسن. صدق الله العلي العظيم وصدق رسوله النبي الحبيب الكريم, والحمد لله رب العالمين

Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah...

Marilah dalam khutbah kali ini kita bersama-sama memwasiatkan diri kita masing-masing untuk meningkatkan ketakwaan kita. Banyak jalan untuk meraih ketaqwaan. Tidak harus jalan yang berliku dan terjal, tapi pilihlah jalan yang landai menuju taqwa. Jalan menuju taqwa tidak hanya dengan berdzikir sepanjang malam, berpuasa sepanjang hari, ataupun bersedekah dengan harta yang berlimpah. Pilihlah jalan yang mudah menuju taqwa salah satunya dengan berlaku jujur. Insyaallah kita akan menemukan ketaqwaan didalamnya.

Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah...

Dalam Islam, jujur atau kejujuran adalah sebuah amanat yang mesti dipenuhi dalam menjalani kehidupan manusia di dunia. Kejujuran adalah sebuah pilihan. Karena kejujuran adalah satu sisi mata uang dengan ketidak jujuran. Ketika kita memilih untuk bertindak jujur berarti kita berhasilkan mengalahkan ketidak jujuran. Dan sebaliknya kekitka kita tidak jujur berarti kita membelakangi kejujuran.

Kejujuran yang kita andaikan berada di jalur ”kanan lurus” memiliki banyak sekali lawan kata (antonim) di jalur ”kiri menyimpang”, seperti (ber)bohong , (ber)hianat, (men)tipu, curang, alias ”tidak jujur” yang dapat hinggap di setiap aspek/dimensi manusia. Orang dapat berkata bohong, artinya tidak jujur; berbuat hianat, artinya tidak setia atau tidak menepati kesepakatan; bertindak menipu, artinya ingin mengelabui sejak semula; dan berlaku curang, artinya tidak menepati peraturan atau ketentuan. Artinya jujur dapat berlaku pada ucapan, perbuatan maupun sikap.

Jujur secara baku dapat diartikan sebagai ”mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran”. Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, maka orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya. Bahkan Allah swt. melalui kisah Rasulullah saw menggambarkan betapa pentingnya kejujuran dan betapa pedihnya siksa yang dijanjikan-Nya, apa lagi jika itu berhubungan dengan kepentingan umat:

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ

Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.

Nah... sekarang para Jama’ah jum’ah yang dimuliakan Allah...

Bagaimanakah kalau pengetahuan yang dijadikan landasan ucapan dan perbuatannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, artinya pengetahuannya salah? Di sinilah fungsi agama berlaku. Contoh sederhana saja, misalnya seseorang mengira dan mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh pasang sepatu dirumahnya, ternyata ketika dicek dan dihitung, sepatu yang menjadi miliknya di rumahnya berjumlah dua belas, apakah orang ini berbohong?

Maka Islam sebagai agama yang memiliki pijakan dasar pada kemanusiaan, terlebih dahulu menggarisbawahi kasus semacam ini pada ungkapan:

وما شهدنا إلا بما علمنا

(kita tidak akan bersaksi kecuali terhadap sesuatu yang telah kita ketahui). Sampai di sini, jika kita tidak mengerti terhadap sesuatu dan ditanyai oleh orang lain, maka garis yang harus diikuti adalah mengakui ketidaktahuan atau ”diam”, dalam arti tidak ikut berpolemik yang justru akan menjadikan segalanya semakin keruh. Dalam hal ini berlaku kaidah

السكوت سلامة

(diam adalah keselamatan). Karena jika kita memakasakan diri untuk iikut berpendapat, padahal kita tidak mengerti, maka ketidajujuran akan terjadi. Akibatnya dapat berupa fitnah (mencelakai) terhadap orang lain atau bentuk-bentuk yang lain seperti kerugian pada masyarakat dan menguntungkan para penjahat. bahkan justru dapat menjadi bumerang yang mencelakai diri sendiri.

Namun biasanya persoalan bukan terjadi dalam kondisi semacam ini, melainkan kondisi-kondisi yang sebaliknyalah yang menjadikan kejujuran kita benar-benar diuji. Yakni jika kita mengetahui, menyaksikan dan mengalami atau melakukan sendiri ketidakjujuran, kecurangan-kecurangan atau penipuan-penipuan, beranikah kita menyatakannya secara jujur? Sementara secara normal dalam kondisi ini, jujur akan berakibat ”negatif” secara duniawi bagi diri, keluarga, dan kelompok kita sendiri. Terutama akhir-akhir ini.

Contoh fenomenal yang paling ”gress” adalah sebuah ungkapan kejujuran yang harus dibayar mahal oleh para guru di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Bagaimana nasib para guru yang berani membongkar kejahatan UN di sekolahnya masing-masing? Bagaimana nasib guru yang berani membongkar kejahatan di IPDN? Dan bagaimana nasib para guru yang membela sekolahnya dari penggusuran oleh unsur-unsur komersial? Serta bagaimana nasib para pegawai yang berusaha jujur untuk sekedar tidak mau diajak bersama-sama menikmati hasil-hasil korupsi? Seakan dalam kondisi-kondisi semacam ini, kejujuran justru berkorelasi (akrab/biasanya berakhir) dengan kerugian, kehancuran atau ketidaknyamanan diri sendiri.

Guru-guru dituntut sebagai pencemar nama baik sekolah mereka sendiri dan diberhentikan karena berbicara dengan jujur tentang hal-hal yang bertentangan dengan nurani mereka. Padahal yang mereka ungkapkan sebanarnya sudah bukan lagi rahasia, bahwa terjadi kecurangan di mana-mana, terutama dalam masalah UN, kalaupun rahasia, paling banter adalah rahasia umum. Hampir semua pelaku (praktisi) di dunia pendidikan mengetahui kenyataan ini, namun hanya beberapa gelintir dari mereka yang menyuarakannya. Seakan mereka membuta tuli dan sekalian membisu terhadap segala yang terjadi di lingkungan mereka.

Tentu saja, alasan yang paling mendasari sikap mereka ini adalah : kalau bukan mereka terlibat atau mendukung, biasanya ya, itu tadi, lebih dikarenakan memprotek diri sendiri, melindungi diri, atau memilih aman dengan berdiam diri dan membiarkan segalanya terjadi sebagai sebuah kelumrahan. Dari sinilah, kejujuran menjadi sesuatu yang sangat mahal dan beresiko tinggi. Banyak anggapan yang berkembang menjadi sebuah adagium (ungkapan) ”kejujuran sama dengan kehancuran”. Maka agar selamat, orang-orang bersepakat untuk tidak perlu lagi jujur, atau harus menanggung resiko buruk.

Saudara sekalian Jama’ah Jum’ah yang dirahamti Allah...

Benarkah kondisi semacam ini? Jawabnya adalah benar. Yah, benar-benar memprihatinkan. Sekali lagi benar-benar memprihatinkan. Bahwa kejujuran merupakan pintu menuju kehancuran. Setidaknya di Indonesia yang merupakan negara besar, berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa. Selain itu Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Seolah negara ini merupakan negara yang sempurna untuk ditinggali dan tidak akan habis kekayaannya. Meskipun, penduduknya hidup dalam lingkungan yang dipenuhi oleh ketidakjujuran; dalam segala bentuk, dalam segala aspek dan dalam segala lintas ruang dan waktu.

Benarkah demikian? Tentu saja tidak. Padahal tidak demikian sebenarnya. Meskipun Indonesia kaya secara fisik, namun Indonesia sangat miskin dalam hal mental (moral). Baik di tingkal bawah, seperti para pekerja, kuli, buruh, dan pegawai bawahan; di tingkat menengah seperti para pengusaha, pedagang, pebisnis dan intelektual; maupun di tingkat elit bangsa seperti para anggota DPR/D maupun elit eksekutif. Selalu ada pejabat yang melakukan praktek korupsi. Mereka kebanyakan melakukannya dengan dalih pembangunan negara. Padahal dana yang digunakan kebanyakan diselewengkan oleh pejabat yang bertugas di dalamnya. Mereka mampu mengais keuntungan dibalik kesengsaraan rakyatnya. Di saat semua orang menangis melihat rumahnya tenggelam oleh luapan lumpur, banjir, gagal panen atau melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, terutama pendidikan. Para pejabat tertawa dengan santainya sembari mengayunkan uang yang berhasil mereka raup hasil dari kebohongan yang mereka buat.

Maka jika kondisi telah sedemikian mengenaskan, saudara-daudara...tiada apapun yang dapat memperbaiki keadaan selain masyarakat itu sendiri. Dari mana? Saya lebih sepakat dari dalam, yah, dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Lalu apakah, yang ada dalam diri masyarakat Indonesia? Saya sepakat bahwa yang terdalam pada diri masyarakat Indonesia adalah moral (baca: agama). Mengapa?

Karena agama telah menjadi darah daging sejak permulaan kelahiran masyarakat Indonesia, sejak sebelum bernama Indonesia, bahkan sejak sebelum mereka mengenal nama-nama agama. Selalu ada kesadaran untuk mempercayai ”kekuatan lain” yang lebih berkuasa atas segala kejadian di dunia. Maka setelah, kini bangsa Indonesia hidup di alam agama, di mana agama terbesar adalah Islam, maka agama Islam harus dapat ditempatkan kembali di jantung setiap diri bangsa Indonesia. Dalam hal ini adalah spirit kejujuran. Masyarakat harus kembali meyakini kejujuran sebagai amanah agama yang dapat membawa kebahagiaan bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat kelak.

Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat hampir-hampir tidak lagi mem-percayai pengadilan dunia yang terlalu mudah dibeli. Sementara Pengadilan Allah tidak mungkin diselesaikan dengan tanpa ”kejujuran” (perhitungan tepat). Siapa yang bersalah, dialah yang akan dihukum, siapa yang berbuat saleh dialah yang akan menerima penghargaan Allah. Tidak akan meleset.

Para hadirin Jama’ah Jum’ah yang Mulia

Marilah kita akhiri khutbah ini dengan bersama-sama merenungkan sabda Rasulullah saw. , ”Hendaklah kalian senantiasa berpegang pada kejujuran, karena kejujuran menuntun pada kebaikan yang berujung di Surga (kebahagiaan). Dan janganlah sekali-kali kalian menghamba pada kebohongan, karena kebohongan menuntun kita pada keburukan yang berujung di neraka (kesengsaraan)” (HR. Bukhari Muslim).

بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم


وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ

Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar