Kamis, 09 Februari 2012

TAHLIL

Tahlil  Dalam bahasa arab, Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah” yaitu “La ilaha illa Allah” (لااله الا الله). Definisi ini dinyatakan oleh Al-Lais dalam kitab “Lisan al-Arab”. Dalam kitab yang sama, Az-Zuhri menyatakan, maksud tahlil adalah meninggikan suara ketika menyebut kalimah Thayyibah.

Namun kemudian kalimat tahlil menjadi sebuah istilah dari rangkaian bacaan beberapa dzikir, ayat Al-Qur'an, do'a dan menghidangkan makanan shadaqah tertentu yang dilakukan untuk mendo'akan orang yang sudah meninggal. Ketika diucapkan kata-kata tahlil pengertiannya berubah seperti istilah masyarakat itu.

Tahlil pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam di tanah Jawa). Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.

Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.

Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas tidak dikenal sebelum Wali Songo.

KH Sahal Mahfud, ulama asal Kajen, Pati, Jawa Tengah, yang kini menjabat Rais Aam PBNU, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.

Persoalannya adalah, apakah doa orang yang bertahlil akan sampai kepada mayit dan diterima oleh Allah? Jika diperhatikan dalam hadits bahwa Nabi SAW pernah mengajarkan doa-doa yang perlu dibaca untuk mayit:


عَنْ عَوْفٍ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ: صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ اِغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَاعْفُ عَنْهُ

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata; Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”

Di dalam hadis, Nabi SAW pernah menyatakan;

يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ

orang yang menyebut “la ilaha illa Allah” akan dikeluarkan dari neraka."

Hadis ini menyatakan tentang keselamatan mereka menyebut kalimah syahadah dengan diselamatkan dari api neraka. Jaminan ini menandakan bahwa, menyebut kalimah syahadat merupakan amalan soleh yang diakui dan diterima Allah SWT.

Maka dengan demikian, apabila seseorang yang mengadakan tahlil, mereka berzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah terlebih dahulu, kemudian mereka berdoa, maka amalan itu tidak bertentangan dengan syari’at, sebab bertahlil itu sebagai cara istighatsah kepada Allah agar doanya diterima untuk mayit.

Dari hadis tersebut juga dapat diambil kesimpulan hukum bahwa, doa kepada mayit adalah ketetapan dari hadits Nabis SAW maka dengan demikian, anggapan yang mengatakan doa kepada mayit tidak sampai, merupakan pemahaman yang hanya melihat kepada zhahir nash, tanpa dilihat dari sudut batin nash. Argumentasi mereka adalah firman Allah SWT:

وَاَنْ لَيْسَ للإنْسَانِ اِلاَّ مَاسَعَى

Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi Muhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

Jika anak Adam meningga, maka putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak shaleh yang mendo’akannya.”

Mereka yang mempunyai anggapan bahwa doa kepada mayit tidak sampai sepertinya hanya secara tekstual (harfiyah) memahami suatu dalil tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lainnya.

Sehingga kesimpulan yang mereka ambil mengenai do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang yang telah meninggal. Dalam ayat lain Allah SWT menyatakan bahwa orang yang telah meninggal dapat menerima manfaat doa yang dikirimkan oleh orang yang masih hidup. Allah SWT berfirman:


وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلإخَْوَانِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإَْيْمَانِ......

Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

1. ٍAyat ini menunjunkkan bahwa doa generasi berikut bisa sampai kepada generasi pendahulunya yang telah meninggal. Begitu juga keterangan dalam kitab “At-Tawassul” karangan As-Syaikh Albani menyatakan: “Bertawassul yang diizinkan dalam syara’ adalah tawassul dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah, tawassul dengan amalan soleh dan tawassul dengan doa orang shaleh.”

2. Mukjizat para nabi, karomah para wali dan ma’unah para ulama tidak terputus dengan kematian mereka. Dalam kitab Syawahidu al Haq, karya Syeikh Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani: 118 dinyatakan:

وَيَجُوزُ التَّوَسُّلُ بِهِمْ إلَى اللهِ تَعَالَى ، وَالإِسْتِغَاثَةُ بِالأنْبِيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ وَالعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ بَعْدَ مَوتِهِمْ لأَنَّ مُعْجِزَةَ الأَنْبِيَاءِ وَكَرَمَاتِ الأَولِيَاءِ لاَتَنْقَطِعُ بِالمَوتِ

Boleh bertawassul dengan mereka (para nabi dan wali) untuk memohon kepada Allah SWT dan boleh meminta pertolongan dengan perantara para Nabi, Rasul, para ulama dan orang-orang yang shalih setelah mereka wafat, karena mukjizat para Nabi dan karomah para wali itu tidaklah terputus sebab kematian.”(Syeikh Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani, Syawahidul Haq, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th), h. 118)

3. Dasar hukum yang menerangkan bahwa pahala dari bacaan yang dilakukan oleh keluarga mayit atau orang lain itu dapat sampai kepada si mayit yang dikirimi pahala dari bacaan tersebut adalah banyak sekali. Antara lain hadits yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah juz 1 : 442, sebagai berikut:

وَقَدِ اسْتَدَلَّ الفُقَهَاءُ عَلَى هَذَا بِأَنَّ أَحَدَ الصَّحَابَةِ سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَقَالَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنُحَجُّ عَنْهُمْ وَنَدعُو لَهُمْ هَلْْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ؟ قَالَ: نَعَمْ إِنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُوْنَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ اَحَدُكُم بِالطَّبَقِ إِذَا أُهْدِيَ إِلَيْهِ!

“Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!"

Sedangkan Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.

Ketiga hal tersebut, semuanaya termasuk ibadah dan perbuatan taat yang diridlai oleh Allah AWT. Syaikh Nawawi dan Syaikh Isma’il menyatakan: "Bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sunnah (matlub), tetapi hal itu tidak harus dikaitkan dengan hari-hari yang telah mentradisi di suatu komunitas masyarakat dan acara tersebut dimaksudkan untuk meratapi mayit.

وَالتَّصَدُّقُ عَنِ المَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍ مَطْلُوْبٌ وَلاَ يَتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِىْ سَبْعَةِ أَيَّامٍ أَوْ أَكْثَرَ أَوْ أَقَلَّ وَتَقْيِيْدُ بَعْضِ الأَيَّامِ مِنَ العَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا أَفْتىَ بِذَالِكَ السَيِّدُ اَحْمَد دَحْلاَنْ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ المَيِّتِ فِىْثاَلِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِىْسَابِعٍ وَفِىْ تَمَامِ العِشْرِيْنَ وَفِى الأَرْبَعِيْنَ وَفِى المِائَةِ وَبَعْدَ ذَالِكَ يَفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلاً فِىْ يَوْمِ المَوْتِ

"Memberi jamuan secara syara’ (yang pahalanya) diberikan kepada mayyit dianjurkan (sunnah). Acara tersebut tidak terikat dengan waktu tertentu seperti tujuh hari. Maka memberi jamuan pada hari ketiga, ketujuh, kedua puluh, ke empat puluh, dan tahunan (hawl) dari kematian mayyit merupakat kebiasaan (adat) saja. (Nihayatuz Zain: 281 , I’anatuth-thalibin, Juz II: 166)


Amalan, Hizib dan Azimat

Amalan, Hizib dan Azimat Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah SWT. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman:


اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

'Berdoalah kamu, niscya Aku akan mengabulkannya untukmu. (QS al-Mu'min: 60)

Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:" كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ''Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan."
(HR Muslim [4079]).

Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut." Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak­anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya.
(At-Thibb an-Nabawi, hal 167).

Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman meoggunakan azimat, misalnya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ

Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “'Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad [3385]).

Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan:

"Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepado-Nya." (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181)

lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.

A-Marruzi berkata, ''Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu'awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas)." Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst. Abu Dawud menceritakan, "Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil." Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dati hidungnya), dst." (Al-Adab asy-Syar'iyyah wal Minah al-Mar'iyyah, juz II hal 307-310)

Namun tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan.

1. Harus menggunakan Kalam Allah SWT, Sifat Allah, Asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW

2. Menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya.

3. Tertanam keyakinan bahwa ruqyah itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena takdir Allah SWT. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab saja." (Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah, hal 82-83).

Jamuan Makanan dalam Acara Tahlilan Dalam setiap acara tahlilan

Jamuan Makanan dalam Acara Tahlilan Dalam setiap acara tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang mengikuti tahlilan. Selain sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia, motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan kepada para tamu yang turut mendoakan keluarga yang meninggal dunia.

Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain dalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi Muhammad SAW:


عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الإسْلَامُ قَالَ طِيْبُ الْكَلَامِ وَإطْعَامُ الطَّعَامِ. رواه أحمد

Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR Ahmad)

Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:

عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ أنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإنَّ لِيْ مَخْزَفًا فَُأشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بَهَ عَنْهَا. رواه الترمذي

Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada matifaatnya jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirimidzi)

Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut Sebagaimana pahala puasa dan haji. (Ibnul Qayyim, ar-Ruh, hal 142).

Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghonnatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوْ لِيَصْمُتْ. رواه مسلم

Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR Muslim).

Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan baik, apalagi tamu yang datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan.

Hanya saja, kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas ridak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.

Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia.

Dan yang tak kalah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT. Dan jika ada bagian dari upacara tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan syara' maka tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana.

Kamis, 02 Februari 2012

Memuliakan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Memuliakan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW Ketika memasuki bulan Rabiul Awal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan pengajian­pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu.

Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H - 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi:

"Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara'. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmnti bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka dta dan kegembiraan atas kelahiran Nnbi Muhammad SAW yang mulia". (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)

Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT :


قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوا

Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian. (QS Yunus, 58)

Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang tiadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya',107)

Sesunggunya, perayaan maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

عَنْ أبِي قَتَادَةَ الأنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلإثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ – صحيح مسلم

Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, "Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim)

Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.

Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau Diba', sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari' at Islam. Sayyid Muhammad' Alawi al-Maliki mengatakan:

"Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara' secara parsial (bagian­bagiannya)”

“Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para da'i dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan datangnya bala' (ujian), bid'ah, kejahatan dan berbagai fitnah". (Mafahim Yajib an Tushahhah, 224-226)

Hal ini diakui oleh Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah berkata, "Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAWakan diberi pahala. Begitulah yang dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga di temukan di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam Islam juga dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Dan Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid'ah yang mereka lakukan". (Manhaj as-Salaf li Fahmin Nushush Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)

Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga karena isi perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat, mengkaji sejarah Nabi SAW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam syari'at Islam.

Peringatan Maulid Nabi Sebuah Nikmat

Peringatan Maulid Nabi Sebuah Nikmat Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Ketua Persatuan Ulama Internasional menyatakan bahwa anggapan merayakan maulid Nabi saw. adalah bid’ah, dan setiap bid’ah pasti sesat, dan setiap yang sesat pasti masuk neraka, tidak semuanya benar.

Beliau meluruskan, yang kita ingkari dalam hal perayaan maulid adalah ketika ada pencampuradukkan dengan kemungkaran, ketika perayaan maulid itu bercampur-aduk dengan hal-hal yang menyalahi syari’at, ketika perayaan maulid itu tidak sesuai dengan Al-Qur’an, sebagaimana praktek-praktek ini masih ada di sebagian negara Islam.

Contohnya, praktek syirik, dengan mengadakan sesajian, berkurban untuk alam, laut misalkan, pemubadziran makanan atau harta, ikhtilath atau campur baur laki-laki dan perempuan, praktek yang mengancam jiwa dengan berdesak-desakan atau rebutan makanan, dan lainnya yang bertentangan dengan syari’at.

Jika peringatan maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah kehidupan Rasulullah saw, mengingat kepribadian beliau yang agung, mengingat misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah tegaskan sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Ketika acara maulid seperti itu, apa masih ada alasan disebut dengan bid’ah?
Pernyataan beliau yang dimuat dalam media online pribadi beliau itu juga ditambahkan:

“Ketika kita berbicara tentang peristiwa maulid ini, kita sedang mengingatkan umat akan nikmat pemberian yang sangat besar, nikmat keberlangsungan risalah, nikmat kelanjutan kenabian. Sedangkan bila kita membicarakan nikmat sangatlah dianjurkan oleh syariat dan sangat dibutuhkan.”

Allah swt. memerintahkan demikian kepada kita dalam banyak firman-Nya. Misalnya:


يا أيها الذين آمنوا اذكروا نعمة الله عليكم إذ جاءتكم جنود فأرسلنا عليهم ريحاً وجنوداً لم تروها وكان الله بما تعملون بصيرًا، إذ جاءوكم من فوقكم ومن أسفل منكم وإذ زاغت الأبصار وبلغت القلوب الحناجر وتظنون بالله الظنونا

Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikuruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha melihat akan apa yang kamu kerjakan. (Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.” (Al-Ahzab:9-10)

Allah memerintahkan kita mengingat suatu peperangan, misalnya perang Khandaq atau perang Ahzab, di mana kafir Quraisy dan Suku Ghathfan mengepung Rasulullah saw. Dalam kondisi serba sulit ini, Allah swt. menurunkan bala bantuannya berupa angin kencang dan bantuan Malaikat. Ingatlah peristiwa itu, ingatlah, jangan kalian lupakan itu semua.
Ini jelas menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk mengingat nikmat dan tidak melupakannya.

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

يا أيها الذين آمنوا اذكروا نعمة الله عليكم إذ هم قوم أن يبسطوا إليكم أيديهم فكف أيدهم عنكم واتقوا الله وعلى الله فليتوكل المؤمنون

Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Al-Anfal:30)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ telah besepakat untuk mengkhianati Rasulullah saw. di Madinah, mereka membuat makar, mereka membuat tipu daya, namun makar dan tipu daya Allah swt. lebih kuat dan lebih cepat dari mereka.

ويمكرون ويمكر الله والله خير الماكرين

Mereka membuat makar, dan Allah membuat makar (juga), Dan Allah sebaik-baik pembuat makar.”

Perayaan yang demikian tidaklah bid’ah, bahkan dianjurkan. Wallahu a’lam (Ngabdurrahman al-Jawiy)

Ziarah Kubur

Ziarah Kubur Kita telah diperintah untuk ziarah kubur, Rasulallah s.a.w. dan para sahabat juga menjalankan ziarah kubur. Jadi tidak ada dasar sama sekali untuk melarang ziarah kubur, karena kita semua tahu bahwa Rasulallah pernah ziarah ke makam Baqi’ dan mengucapkan kata-kata yang ditujukan kepada para ahli kubur di makam Baqi’ tersebut.
Dalil-dalil tentang ziarah kubur

قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
Artinya :    Rasulallah s.a.w bersabda: Dahulu aku telah melarang kalian berziarah ke kubur. Namun sekarang, berziarahlah kalian ke sana. (H.R. Muslim)

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : اِسْتَأْذَنْتُ رَبِّيْ أَنْ أَسْتَغْفِر لأُمِّيْ ، فَلَمْ يَأذَنْ لِيْ ، وَاسْتأذَنْتُهُ أنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأذِنَ لِيْ
Artinya:    Dari Abu Hurairah r.a. Berkata, Rasulallah s.a.w. bersabda: Aku meminta ijin kepada Allah untuk memintakan ampunan bagi ibuku, tetapi Allah tidak mengijinkan. Kemudian aku meminta ijin kepada Allah untuk berziarah ke makam ibuku, lalu Allah mengijinkanku. (H.R. Muslim)

وَفِى رِوَايَةٍ أُخْرَى : زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَبْرَ اُمِّهِ, فَبَكَي وَاَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ (اَخْرَجَهُ مُسْلِمْ وَاْلحَكِيْم
Artinya :    Dalam riwayat yang lain dari Abu Hurairah bahwa : Nabi s.a.w. ziarah ke makam ibunya kemudian menangis lalu menangislah orang-orang sekitarnya. (H.R. Muslim [hadits ke 2256], dan al-Hakim [hadits ke 1390]).

Jadi dengan demikian, menangis di dekat kubur tidaklah berimplikasi pada kekafiran, begitu juga tidak mendatangkan siksa bagi mayit yang ditangisi.
Adapun Pendapat para ulama’ tentang ziarah kubur diantaranya:
1.    Imam Ahmad bin Hanbal
Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al-Mughni” menceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya pendapatnya tentang masalah ziarah kubur, manakah yang lebih utama antara ziarah kubur ataukah meninggalkannya. Beliau Imam Ahmad kemudian menjawab, bahwa ziarah kubur itu lebih utama.
2.    Imam Nawawi
Imam Nawawi secara konsisten berpendapat dengan hukum sunahnya ziarah kubur. Imam Nawawi juga menjelaskan tentang adanya ijma’ dari kalangan ashabus Syafi’i (para pengikut Imam Syafi’i) tentang sunahnya ziarah kubur.
3.    Doktor Said Ramadlan al-Buthi
Doktor Said Ramadhan al-Buthi juga berbendapat dengan pendapat yang memperbolehkan ziarah kubur. Al-Buthi berkata, “Belakangan ini banyak dari kalangan umat Islam yang mengingkari sampainya pahala kepada mayit, dan menyepelekan permasalahan ziarah ke kubur.”

Bacaan Dzikir Setelah Sholat Fardhu

Bacaan Dzikir Setelah Sholat Fardhu
Berikut ini adalah bacaan wiridan ba’da sholat fardhu berdasarkan pada hadits Rasulullah


1.    اَسْتَغْفِرُاللهَ اْلعَظِيْمَ لِى وَالِوَلِدَيَّ وَلِاَصْحَابِ اْلحُقُوْقِ اْلوَاجِبَةِ عَلَيَّ وَلِمَشَايِخِنَا وَلِاِخْوَانِنَا وَلِجَمِيْعِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ اَلْاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمَوَاتِ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ....3x
2.    لاَاِلٰهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهْ لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ ... 3x
3.    اَللّهُمَّ اَجِرْنَا مِنَ النَّارِ ...3x
4.    اَللّهُمَّ اَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ وَاِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ وَاَدْخِلْنَا اْلجَنَّةَ دَارَالسَّلاَمِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَاذَاْلجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ
5.    اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا اَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا رَادَّ لِمَا قَضَيْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَاْلجَدِّ مِنْكَ اْلجَدُّ
6.    سُوْرَةُ اْلفَاتِحَةِ
       بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ ﴿١﴾ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣﴾ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ﴿٤﴾ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ﴿٥﴾ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ﴿٧﴾. أمِيْن
7.    سُوْرَةُ اْلاِخْلاَصِ ...3x بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾  ... (3)
8.    سُوْرَةُ اْلفَلَقْ ...1x
       بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ﴿١﴾ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ ﴿٢﴾ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ﴿٣﴾ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ ﴿٤﴾ وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ﴿٥﴾
9.    سُوْرَةُ النَّاسِ ...1x
       بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إِلَـٰهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ﴿٦﴾
10.  اٰيَةُ اْلكُرْسِى...1x
       وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَاحِدْ ، لاَاِلٰهَ اِلاَّ هُوَ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم ، اَللهُ لاَاِلٰهَ اِلاَّ هُوَ الْحَيُّ اْلقَيُّوْمُ ، لاَتَأْخُذُهُ سِّنَةُ وَلاَ نَوْمُ ، لَهُ مَا فِى السَّمٰوَاتِ وَمَا فِى اْلاَرْض ، مَنْ ذَاالَّذِى يَشْفَعُ عِنْدَهُ اِلاَّ بِاِذْنِهِ ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ، وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْئٍ مِنْ عِلْمِهِ اِلاَّ    

        بِمَاشَاءَ ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوَاتِ وَاْلاَرْضََ ، وَلاَ يَؤُدُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ اْلعَلِيُّ اْلعَظِيْمُ .

       للهِ مَا فِى السَّمٰوَاتِ وَمَا فِى اْلاَرْضِِ، وَاِنْ تُبْدُوْا مَا فِى اَنْفُسِكُمْ اَوْتُخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ الله ، فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ ، وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْر.

       أٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَا اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَاْلمُؤْمِنُوْنَ ، كُلٌّ أٰمَنَ بِااللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ ، وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ اْلمَصِيْرُ ، لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلاَّ وُسْعَهَا ، لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااْكتَسَبَتْ ، رَبَّنَا لاَ       
       تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَا اَوْ اَخْطَأْنَا ، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ .

11.  شَهِدَ اللهُ اَنَّهُ لاَاِلٰهَ اِلاَّهُوَ وَاْلمَلاَئِكَةُ وَاُوْلُواْلعِلْمِ قَائِمًا بِااْلقِسْطِ لاَاِلٰهَ اِلاَّهُوَ اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ ، اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَاللهِ اْلاِسْلاَمُ قُلِ اللّهُمَّ مَالِكَ اْلمُلْكِ تُؤْتِى اْلمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزَعُ اْلمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ اْلخَيْرُ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْئٍ
         قَدِيْرٌ ، تُوْلِجُ اللَّيْلَ فِى النَّهَارِ وَتُوْلِجُ النَّهَارَ فِى اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ اْلحَيَّ مِنَ اْلمَيِّتِ وَتُخْرِجُ اْلمَيِّتَ مِنَ اْلحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابْ.
12.    اِلٰهَنَا يَا رَبَّنَا اَنْتَ مَوْلاَنَا – سُبْحَانَ الله – 33x، سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ دَائِمًا اَبَدًا
13.    اْلحَمْدُ لله ... 33x ، اْلحَمْدُ لله رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ عَلٰى كُلِّ حَالٍ وَنِعْمَةٍ
14.    اَللهُ اَكْبَرُ ... 33x ، اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَاْلحَمْدُ للهِ كَشِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً ، لاَاِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِااللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ
15.    اَسْتًغْفِرُاللهَ اْلعَظِيْم 33x
16.    اَفْضَلُ الذِّكْرِ فَاعْلَمْ اَنَّهُ – لاَاِلٰهَ اِلاَّ اللهُ –33x
17.    لاَاِلٰهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، كَلِمَةُ اْلحَقُِّ عَلَيْهَا نَحْيٰ وَعَلَيْهَا نَمُوْتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ اِنْ شَاءَاللهُ تَعَالٰى مِنَ اْلاٰمِنِيْنَ بِرَحْمَةِ اللهِ وَكَرَمِهِ ، جَزَ اللهُ عَنَّا سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاهُوَ اَهْلُهُ
Setelah berdzikir dianjurkan untuk berdoa sesuai dengan kepentingan masing-masing

Bacaan Bilal Shalat Tarawih Dan Witir


  Bacaan Bilal Shalat Tarawih Dan Witir

Jawaban Jamaah
Bacaan Bilal
No
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
1
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
2
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
اَلْخَلِيْفَةُ اْلاُوْلَى سَيِّدُنَا اَبُوْ بَكَرْ الصِّدِّيْقُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
3
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
4
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

اَلْخَلِيْفَةُ الثَّانِيَةُ سَيِّدُنَا عُمَرُ ابْنُ الْخَطَّابْ
5
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
6
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

اَلْخَلِيْفَةُ  الثَّالِثَةُ سَيِّدُنَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
7
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
8
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

اَلْخَلِيْفَةُ الرَّابِعَةُ سَيِّدُنَا عَلِيْ بِنْ اَبِيْ طَالِبْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
9
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
اَمِيْنَ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ
اَخِرُ التَّرَاوِيْحِ اَجَرَكُمُ اللهُ
10
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bacaan Bilal Shalat Witir
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
1
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ رَكْعَةَ الْوِتْرِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
2

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi Lainnya

Hukum “Pedekate” dengan Facebook dan Alat Komunikasi Lainnya Berikut ini adalah salah satu hasil bahtsul masail diniyyah atau pembahasan masalah keagamaan oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadiat Lirboyo Kediri 20-21 Mei 2009 lalu. Beberapa media massa sempat memberitakan bahwa forum ini mengharamkan Facebook, sebuah jaringan komunikasi dunia maya. Ternyata tidak sesederhana itu. ***(Teks Arab tidak disertakan. Redaksi)

Dewasa ini, perubahan yang paling ngetop dengan terciptanya fasilitas komunikasi ini adalah tren hubungan muda-mudi (ajnabi) via HP yang begitu akrab, dekat dan bahkan over intim. Dengan fasilitas audio call, video call, SMS, 3G, Chatting, Friendster, facebook, dan lain-lain. Jarak ruang dan waktu yang tadinya menjadi rintangan terjalinnya keakraban dan kedekatan hubungan lawan jenis nyaris hilang dengan hubungan via HP.

Lebih dari itu, nilai kesopanan dan keluguan seseorang bahkan ketabuan sekalipun akan sangat mudah ditawar menjadi suasana fair dan vulgar tanpa batas dalam hubungan ini. Tren hubungan via HP ini barangkali dimanfaatkan sebagai media menjalin hubungan lawan jenis untuk sekedar "main-main" atau justru lebih ekstrim dari itu. Sedangkan bagi mereka yang sudah mengidap "syndrome usia," hubungan lawan jenis via HP sangat efektif untuk dimanfaatkan sebagai media PDKT (pendekatan) untuk menjajaki atau mengenali karakteristik kepribadian seseorang yang dihasrati yang pada gilirannya akan ia pilih sebagai pasangan hidup atau hanya berhenti pada hubungan sahabat.

Pertanyaan pertama:

Bagaimana hukum PDKT via HP (telpon, SMS, 3G, chatting, friendster, facebook, dan lain-lain) dengan lawan jenis dalam rangka mencari jodoh yang paling ideal atau untuk penjajakan dan pengenalan lebih intim tentang karakteristik kepribadian seseorang yang diminati untuk dijadikan pasangan hidup, baik sebelum atau pasca khitbah (pertunangan)?

Jawaban:

Komunikasi via HP pada dasarnya sama dengan komunikasi secara langsung. Hukum komunikasi dengan lawan jenis tidak diperbolehkan kecuali ada hajat seperti dalam rangka khitbah, muamalah, dan lain sebagainya.

Mengenai pengenalan karakter dan penjajakan lebih jauh terhadap lawan jenis seperti dalam deskipsi tidak dapat dikategorikan hajat karena belum ada ‘azm (keinginan kuat untuk menikahi orang tertentu). Sedang hubungan via 3G juga tidak diperbolehkan bila menimbulkan syahwat atau fitnah.

(Kitab-kitab rujukan: Bariqah Mahmudiyyah vol. IV hal. 7, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah vol. I hal. 12763,  Ihya ‘Ulumiddin vol. III hal. 99, Hasyiyah al-Jamal vol. IV hal. 120, Is’adur Rafiq vol. II hal. 105, Al-Fiqhul Islamy vol. IX  hal. 6292, I’anatut Thalibin vol. III hal. 301, Qulyuby ‘Umairah vol. III hal. 209, I’anatut Thalibin vol. III hal. 260, Al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra vol. I hal. 203, Tausyih ‘ala ibn Qosim hal.197)

Pertanyaan kedua:
   
Mempertimbangkan ekses negatif yang ditimbulkan, kontak via HP (telpon, SMS, 3G, chatting, Friendster, facebook, dan lain-lain) dengan ajnaby (bukan muhrim), bisakah dikategorikan atau semakna dengan khalwah (mojok) jika dilakukan di tempat-tempat tertutup?

Jawaban:

Kontak via HP sebagaimana dalam deskripsi di atas yang dapat menimbulkan syahwat atau fitnah tidak dapat dikategorikan khalwah namun hukumnya haram.

(Beberapa kitab yang dirujuk: Hasyiyah Al-Jamal vol. IV hal. 125, Al-Qamus al-Fiqhy vol. I hal. 122, Bughyatul  Mustarsyidin hal. 200, Asnal Mathalib vol. IV hal. 179, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah vol. IXX hal. 267, Hasyiyah Al-Jamal vol. IV hal. 467, Al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra vol. IV hal. 107-107, Hasyiyah Jamal vol. IV hal. 121, Is’adur Rafiq vol. II hal. 93, dan Hasyiyah Al-Jamal vol. IV hal. 121 I’anatut Thalibin vol. III hal. 301, Qulyuby ‘Umairah vol. III hal. 209)

Hukum Transaksi via Elektronik

Hukum Transaksi via Elektronik  
Berikut ini adalah salah satu keputusan bahtsul masil diniyah waqi'iyah pada muktamar ke-32 di Makassar, 23-28 Maret 2010. (red)

Kemajuan teknologi dan Informasi telah mengantarkan pada pola kehidupan umat manusia lebih mudah sehingga merubah pola sinteraksi antar anggota masyarakat. Pada era teknologi dan informasi ini, khususnya internet, seseorang dapat melakukan perubahan pola transaksi bisnis, baik berskala kecil mapun besar, yaitu perubahan dari paradigma bisnis konvensional menjadi paradigma bisnis elektronikal. Paradigma baru tersebut dikenal dengan istilaH Electronic Commerce, umumnya disingkat E-Commerce.

Kontrak elektronik adalah sebagai perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Maka jelas bahwa kontrak elektronikal tidak hanya dilakukan melalui internet semata, tetapi juga dapat dilakukan melalui medium faksimili, telegram, telex, internet, dan telepon. Kontrak elektronikal yang menggunakan media informasi dan komunikasi terkadang mengabaikan rukun jual-beli (ba’i), seperti shighat, ijab-qabul, dan syarat pembeli dan penjual yang harus cakap hukum. Bahkan dalam hal transaksi elektronikal ini belum diketahui tingkat keamanan proses transaksi, identifikasi pihak yang berkontrak, pembayaran dan ganti rugi akibat dari kerusakan.  Bahkan akad nikah pun sekarang telah ada yang menggunakan fasilitas telepon atau Cybernet, seperti yang terjadi di Arab Saudi.

Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum transaksi via elektronik, seperti media telepon, e-mail atau Cybernet dalam akad jual beli dan akad nikah?
2. Sahkah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah?
3. Bagaimana hukum melakukan transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan pemberian kuasa hukum (wakalah) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut?

Jawaban:
1. Hukum akad jual beli melalui alat elektronik sah apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat memenuhi mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya.

Sedangkan hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat elektronik tidak sah, karena: (a) kedua saksi tidak melihat dan mendengar secara langsung pelaksanaan akad; (b) saksi tidak hadir di majlis akad; (c) di dalam akad nikah disyaratkan lafal yang sharih (jelas) sedangkan akad melalui alat elektronik tergolong kinayah (samar).

2. Pelaksanaan akad jual-beli meskipun di majlis terpisah tetap sah, sedangkan pelaksanaan akad nikah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah di majlis terpisah tidak sah.

3. Hukum melakukan akad/transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan wakalah (pemberian kuasa hukum) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut hukumnya sah dengan syarat aman dan sesuai dengan nafsul-amri (sesuai dengan kenyataan).

Pengambilan dalil dari:
1. Nihayatul Muhtaj, Juz 11, hal. 285 (dalam maktabah syamilah)
2. Al-Majmu’, Juz 9, hal. 288.
3. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj, Juz 11, hal. 476.
4. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Khatib, Juz 2, hal. 403.
5. I’anahtuth Thalibin, Juz 3, hal. 9. Dll.

Sejarah Hari Jum’at dan Keistimewaan Sholat Jum’at

Sejarah Hari Jum’at dan Keistimewaan Sholat Jum’at  
Hari Jum’at adalah sayyidul ayyam. Artinya Jum’at mempunyai keistemewaan dibandingkan hari lain. Jika nama-nama hari yang lain menunjukkan urutan angka (ahad artinya hari pertama, itsnain atau senin adalah hari kedua, tsulatsa atau selasa adalah hari ketiga, arbi’a atau Rabu adalah hari keempat dan khamis atau kamis adalah hari kelima), maka Jum’at adalah jumlah dari kesemuanya.

Menurut sebagian riwayat kata Jum’at diambil dari kata jama’a yang artinya berkumpul. Yaitu hari perjumpaan atau hari bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa di Jabal Rahmah. Kata Jum’at juga bisa diartikan sebagai waktu berkumpulnya umat muslim untuk melaksanakan kebaikan –shalat Jum’at-.

Salah satu bukti keistimewaan hari Jum’at adalah disyariatkannya sholat Jum’at. Yaitu shalat dhuhur berjamaah pada hari Jum’at. -Jum’atan-. Bahkan mandinya hari Jum’at pun mengandung unsur ibadah, karena hukumnya sunnah.

Dalam Al-Hawi Kabir karya al-Mawardi, Imam Syafi’i menjelaskan sunnahnya mandi pada hari Jum’at. Meskipun sholat Jum’at dilaksanakan pada waktu sholat dhuhur, namun mandi Jum’at boleh dilakukan semenjak dini hari, setelah terbit fajar. Salah satu hadits menerangkan bahwa siapa yang mandi pada hari Jum’at dan mendengarkan khutbah Jum’at, maka Allah akan mengampuni dosa di antara dua Jum’at.

Oleh karena itu, baiknya kita selalu menyertakan niat setiap mandi di pagi hari Jum’at. Karena hal itu akan memberikan nilai ibadah pada mandi kita. Inilah yang membedakan mandi di pagi hari Jum’at dengan mandi-mandi yang lain.

Empat Puluh Orang
Shalat Jum’at -Jum’atan- bisa dianggap sebagai muktamar mingguan –mu’tamar usbu’iy- yang mempunyai nilai kemasyarakatan sangat tinggi. Karena pada hari Jum’at inilah umat muslim dalam satu daerah tertentu dipertemukan.

Mereka dapat saling berjumpa, bersilaturrahim, bertegur sapa, saling menjalin keakraban. Dalam kehidupan desa Jum’atan dapat dijadikan sebagai wahana anjangsana. Mereka yang mukim di daerah barat bisa bertemu dengan kelompok timur dan sebagainya.

Begitu pula dalam lingkup perkotaan, Jum’atan ternyata mampu menjalin kebersamaan antar karyawan. Mereka yang setiap harinya sibuk bekerja di lantai enam, bisa bertemu sesama karyawan yang hari-harinya bekerja di lantai tiga dan seterusnya.

Kebersamaan dan silaturrahim ini tentunya sulit terjadi jikalau Jum’atan boleh dilakukan seorang diri seperti pendapat Ibnu Hazm, atau cukup dengan dua orang saja seperti qaul-nya Imam Nakho’i, atau pendapat Imam Hanafi yang memperbolehkan Jum’atan dengan tiga orang saja berikut Imamnya.

Oleh sebab itu menurut Imam Syafi’i Jum’atan bisa dianggap sah jika diikuti oleh empat puluh orang lelaki. Dengan kat lain, penentuan empat puluh lelaki sebagai syarat sah sholat Jum’at oleh Imam Syafi’i memiliki faedah yang luar bisa.

Hal ini membuktikan betapa epistemogi aswaja -ahlussunnah wal jama’ah- yang dipraktikkan oleh Imam Syafi’i selalu mendahulukan kepentingan bersama. Kebersamaan dan persatuan umat dalam pola pikir aswaja -ahlussunnah wal jama’ah- adalah hal yang sangat penting. Tidak hanya dalam ranah aqidah dan politik saja, tetapi juga dalam konteks ibadah. (Ulil Hadrawi)

Jika Imam Batal, Bagaimana Nasib Makmum?

Jika Imam Batal, Bagaimana Nasib Makmum?
Sudah maklum adanya bahwa shalat dapat dikerjakan secara berjamaah dan sendirian (munfaridan). Shalat berjama’ah mainimal terdiri dai dua orang. Satu berlaku sebagai imam yang berdiri die pan dan satunya lagi sebagai makmum brdiri dibelakang. Tidak ada batasan maksimal bagi makmum.ShaLat dianggap sah jika memenuhi sejumlah persyaratan (syuruthus shihah), rukun, dan terhindar dari hal-hal yang membatalkan shalat, seperti tiba-tiba terkena najis, atau menanggung hadats dan lain sebagainya,
Jika seseorang ditengah-tengah shalatnya melakukan atau terkena beberapa hal yang membatalkan shalat, maka shalatnya menjadi batal. Jika ia sholat sendirian ataupun jika menjadi makmum maka orang tersebut harus mengulanginya lagi sedari awal. Masalahnya adalah bagaimanakah jika kebetulan yang mengalami (batal) shalat tersebut adalah seorang imam? Apakah hal itu menjadikan batal pula shalat makmum? Lantas apakah shalat tersebut harus diteruskan tanpa Imam? Atau bagaimana?
Shalat makmum tidaklah menjadi batal karena batalnya sholat sang imam. Oleh karena itu ketika hal itu terjadi, makmum tidak boleh membatalkan sholatnya. Jika demikian maka makmum mempunyai dua langkah pilihan. Pertama makmum dapat meneruskan shalatnya dengan niat mufaraqah dari imam. Artinya makmum menerukan sholatnya secara sendirian (munfaridan) terpisah dari imam yang telah batal shalatnya. Kedua,makmum menyempurnakan shalat sampai selesai secara berjama’ah. Kalau mengambil alternatif terakhir kedua yang dipilih, maka harus ada istikhlaf. Itulah yang diterangkan dalam Bughyatul Mustarsyidin halaman 85.
Istikhlaf adalah penunjukkan pengganti imam dengan imam lain, yang karna satu sebab imam pertama tidak bisa menyempurnakan shalatnya. Istikhlaf pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab hadits.
Proses terjadinya istikhlaf mempunyai dua kemungkinan: imam menunjuk pengganti atau para makmum menunjuk pengganti. Dapat pula seseorang dengan inisiatif sendiri maju menjadi imam. Penunjukan khalifah oleh makmum dilakukan dengan isyarat, tanpa menimbulkan perbuatan yang membatalkan shalat. Dan harus dilakukan secepatnya, langsung setelah imam batal.
Istikhlaf ini sebaiknya dilakukan dari pihak makmum. Jika imam menunjuk pengganti dan makmum menunjuk pengganti yang lain, maka pilihan makmum lebih diutamakan. Bukankah hak rakyat menentukan pemimpinnya? Disinilah nilai demokrasi yang tertanam dalam fiqih. (mausu’atul Islami: VI.148)
Istikhlaf selain shalat jum’at hukumnya sunah, karena shalat berjama’ah lebih utama daripada sendirian. Dalam shalat Jum’at istikhlaf menjadi wajib hukumnya karena shalat jum’at tidak sah jika tidak dilakukan secara berjama’ah (Madzahibul Arba’ah: I, 447)

Cara dan Do'a Shalat Istikharah

Cara dan Do'a Shalat Istikharah
Istikharah menurut Imam Nawawi dalam kitab al-adzkar sangat dianjurkan (sunnah) pada semua perkara yang memiliki beberapa alternatif. Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat Jabir Ibn Abdillah ra bersabda:
اذا هم أحد كم بالأمر فليركع ركعتين ثم ليقل: أللهم... (رواه البخاري)  
Jika diantara kalian hendak melakukan perkara/urusan, maka rukuklah (shalatlah) dua rakaat : kemudian berdoa…(HR. Bukhori)
Redaksi dalam hadits tersebut menggunakan kata ‘al-amr’  yang berarti perkara atau urusan yang mengandung makna umum. Meski demikian berbagai perkara wajib tidak perlu di-istikharahi. Sebab kita tidak punya pilihan lain. Yakni yang wajib harus dilakukan dan yang haram harus ditinggalkan. Tidak perlu istikharah apakah akan mengerjakan shalat atau tidak misalnya. Demikian juga dengan mencuri, berzina dan sejenisnya.
Istikharah adalah upaya memohon kepada Allah swt agar memberikan pilihan terbaik kepada kita akan hal-hal yang memang kita punya hak untuk memilih antara mengerjakan dan meninggalkan. Seperti pekerjaan misalnya, kita diperbolehkan bekerja sebagai pedagang, petani, pengusaha dan sebagainya.
Shalat istikharah sangat mudah, yaitu shalat dua rakaat dengan niat istikharah:
أصلى سنة الإستخارة ركعتين لله تعالى
Aku berniat shalat istikharah dua raka’at karena Allah Ta’ala
Rakaat pertama setelah membaca surat al-Fatihah memabaca surat al-Kafirun. Dan rakaat kedua setelah al-Fatihah membaca surat al-Ikhlas. Kemudian setelah salam membaca do’a:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمَّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepadaMu dengan ilmu pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaanMu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kemahakuasaanMu. Aku mohon kepadaMu sesuatu dari anugerahMu Yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku sukseskanlah untuk ku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkan persoalan tersebut, dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untuk ku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaanMu kepadaku.”

Setelah shalat istikharah, biasanya di dalam hati timbul rasa tenang dan mantap terhadap salah satu alternative yang ada. Bisa juga hasil istikharah diketahui lewat mimpi, dengan isyarat dan simbol-simbol tertentu. Kalau masih ragu, istikharah dapat diulang dua atau tiga kali.