GURU ILMU NAHWU yang satu ini tergolong nyentrik.
Gelagatnya unik dan kadang menyiratkan teka-teki. Maklum, selain fasih
di bidang gramatika, ia cukup mahir Ilmu Mantiq. Kiai Badrun,
panggilannya.
Suatu hari Kiai Badrun membahas Jar-Majruur. Secara detail dia
jabarkan satu persatu, mulai dari definisi, jenis-jenis, kaidah-kaidah,
hingga contoh-contohnya.
Sesekali terlontar pula beberapa pertanyaan. Dipercaya, pertanyaan
cukup efektif membangunkan mereka yang suka mengantuk di kala pelajaran.
Betul. Usai keterangan panjang lebar Kiai Badrun siap-siap mengajukan
sebuah pertanyaan. Suasana kelas tiba-tiba hening. Tegang. Tiap santri
penuh harap, telunjuk Kiai Badrun tak mengarah kepadanya.
“Nah, sekarang pertanyaanya, kenapa tahi bisa haram?” soal seketika meluncur dari bibir Kiai Badrun.
Para santri hanya bisa melongo. Resah bercampur bingung. Tak tahu apa
relevansi pertanyaan ini dengan keterangan Jar-Majruur seabrek tadi.
“Kata guru fiqih barusan, ya karena menjijikkan, Kiai,” sahut salah seorang santri mencoba peruntungan.
“Salah!”
Para santri lantas garuk-garuk kepala.
“Pertanyaan Panjenengan aneh, Kiai. Bukan saja melenceng dari topik,
tapi isinya juga aneh,” berontak sejumlah santri. Karena takut, tentu
teriakan itu hanya memekik di dalam hati. Semua diam, seolah menanti
Kiai Badrun membuka sendiri teka-tekinya.
“Tahi itu haram karena dia majruur,” celetuk Kiai Badrun.
“Gimana Kyai? Apa maksudnya?” tanya seorang santri.
Gunakan analisa ilmu nahwu dong. Kenapa dibaca ‘tahi’ karena majrur.
Coba kalau marfuu‘ kan jadi ‘tahu’. Nah, kalau yang ini halal,” jelas
Kiai Badrun santai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar