Cara Menentukan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal
1. Cara menentukan Ibadah Puasa dan Iedul Fithri
Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara yaitu:
1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit).
2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.
3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.
Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini :
1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia
berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan
Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh
hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)
2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah
kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali
seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian
berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka
sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan
satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi
1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui
oleh Adz-Dzahabi)
3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila
datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian
melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377,
Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain)
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah
karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari.
Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan
berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321,
Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari
sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim
Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29)
Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah,
Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain
Radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta
takhtrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109.
Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa
awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas.
Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang
keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil, sebagaimana
tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua atau satu
sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau
berkata :
“Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal.
Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya.
Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu
Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi,
sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam
At-Talkhisul Kabir 2/187)
Catatan dari hadits-hadits diatas (oleh saya/uli):
1. Penentuan hilal yang disyari’atkan dalam agama ini
cukup melihat bulan dengan mata telanjang.
2. Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab
dibantu dengan ilmu astronomi tidak disyari’atkan dalam agama ini (bid’ah),
perhatikan hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas.
3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu
kita mempersulit diri.
2. Perbedaan Mathla’ (Tempat Muncul Hilal) dan
Perselisihan Tentangnya
Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa
dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal,
bukan dengan hisab. Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin bukan
hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu. Maka, bagaimana cara
mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi :
“Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits
mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam
kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan,
sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at.
Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya
kepadaku – kemudian dia sebutkan tentang hilal — : ‘kapan kamu melihat Hilal?’
Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya lagi :
‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya, orang-orang melihatnya
dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata : ‘Kami melihatnya
pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami
melihatnya (hilal).’Aku bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa
Muawiyyah ?’ Beliau menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’”
(HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan
Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)
Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits
sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam
Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata : “Para Ulama berbeda
pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :
Pendapat Pertama :
Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya
dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir
menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi
mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali
beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat
madzab Syafi’i.
Pendapat Kedua :
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh
negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab
Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya.
Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara
yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri
Spanyol).
Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah
menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian
diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu
mengharuskan mereka semua berpuasa…
Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa
apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua
:
1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib
dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.
Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa
pendapat :
1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama
Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan
Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi
dalam Syarhul Muslim.
3. Dengan perbedaan iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi
setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa
karena persaksian orang lain…” berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul
fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa
dengan beritanya.
Imam Syaukani menambahkan : “Tidak harus sama jika
berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah
melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal
ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”
Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan
segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal
(berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits :
“Demikian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain.
Demikian pendalilan mereka.
Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya
perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk
suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena
sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,”Puasalah kalian karena
melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup
seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun
tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah
1/368)
As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna dari
ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal
ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua
penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)
Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang
menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri
dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa
berkata : “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi
semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i,
diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang
membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan
Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak
berkaitan dengan hilal….
Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan
Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga
kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak
(berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak
iklim.” (Majmu’
Fatawa Juz 25 hal 104-105)
Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila penduduk suatu
negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi
pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat
hilal dan berbuka karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain).
Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara
mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya
…” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan
ru’yah bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya
mengatakan : “… Saya –demi Allah- tidak mengetahui apa yang menghalangi
Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan
mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama
sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh
banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa
jilid 25, As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan Khan di dalam
Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar.
Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena
beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang
lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang
yang berpuasa berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya
pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari
sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya
bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan
demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan
hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang
yang sampai kepadanya ru’yah hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan
jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam
Al-Fatawa 75/104 …(Tamamul Minnah, hal. 397)
3. Bolehkah Ber -Iedul Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum
Muslimin ?
Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang
melihat ru’yah sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri dan
berpuasa sendiri atau bersama manusia ?
Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana
yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114 :
Pendapat Pertama :
Wajib atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara
sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.
Pendapat Kedua :
Dia harus berpuasa tetapi tidak ber’iedul fithri
kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan
Hanafi.
Pendapat Ketiga :
Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia.
Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam (artinya) : “Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka
kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Adha
kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata
“hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata : “Sanadnya jayyid dan
rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440)
Demikian keterangan Syaikhul Islam.
Bertolak dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu
diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata
setelah membawakan hadits ini : “Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan
hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia.”
Imam As-Shan’ani berkata : “Dalam hadits itu
terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang mengetahui
hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan
mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul
Adha.” (Subulus Salam 2/72)
Ibnul Qayyim berkata : “Dikatakan bahwa di dalam
hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa barangsiapa
mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab, boleh baginya untuk berpuasa
dan berbuka, berbeda dengan orang yang tidak tahu. Juga dikatakan (makna yang
terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu orang apabila melihat hilal
sedangkan hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa
sebagaimana manusia tidak berpuasa.” (Tahdzibus Sunan 3/214)
Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu
Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu Majah : “Yang
jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan untuk perorangan, tidak
boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada imam dan
jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal sedangkan imam menolak
persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti
jamaah pada yang demikian itu.”
Syaikh Al-Albani menegaskan : “Makna inilah yang
terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah
terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu
hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak
dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata : “Nahr
adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia
berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)
Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang
tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa
karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa 25/117.
Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan
penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena
tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebaginya dari
alasan-alasan yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan
: “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya
pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid yang
benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila hilal tidak
tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat bersemangat mencarinya telah
tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
tentang para imam : Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar
maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan
dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka bukan
atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’
Fatawa, 25/206)
Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari
mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam
yang ke 30 dari bulan Sya’ban ?
Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali
Bassam menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut :
“Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah
wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan
membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan),
maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika
mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban
menjadi 29 hari.
Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat
bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah
waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar
yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : “Barang siapa berpuasa pada hari yang
diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat
dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa tidak wajib dan jika dia
puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul
ilmi (ulama).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak
berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan
bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan puasa
satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu.
Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal
tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau
dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu : “Aku
tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan memerintahkannya,
maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan kepadanya.”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid
beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu).
Syaikh Muhammad bin Hasan berkata : “Tidak
diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya
berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan.”
Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang
yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah hadits-hadits,
diantaranya hadits Ammar : “Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi
mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan
tabi’in beramal.”
Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.
Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30
dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan
selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu Imam
As-Shan’ani menegaskan : “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan adalah hari
ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada malam itu, karena
ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan
atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya
puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam 2/308)
Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka
tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau
dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu
bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian
dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa
berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim)
Shilah bin Zufar dari Amar berkata : “Barangsiapa
berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada
Abul Qasim Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi
Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim
Al-Hilali hal.28).
4. Hukum Hilal Yang Diketahui Pada Akhir Siang
Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari
kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka
mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi
ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke 1026).
Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata
bahwasanya sahalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas
waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat
Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’I,
dll… Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu
adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam
Nailul Authar 3/310.
Imam As-Shan’ani menyatakan : “hadits diatas
sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied
diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat.” (Subulus
Salam 2/133)
Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas
yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan
yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan
itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan
kekurangan. Wallahu A’lam bis Shawab.
Catatan :
Khusus hilal Iedhul Adha sedikit berbeda, mengingat
hari Ied baru tanggal 10 bulan Dzulhijjah, maka tinggal dihitung sepuluh hari
mendatang setelah hilal nampak.
Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal dan Hisab
Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:
1.
Melihat hilal
ramadhan.
2.
Menggenapkan
bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Melihat Hilal RamadhanDasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ
تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan
Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila
mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”[1]
Menurut mayoritas
ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan,
beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَاءَى
النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى
رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku
beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah
melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar
berpuasa.”[2]
Sedangkan untuk
hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama
berdasarkan hadits,
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا
وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena
melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu
tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika
ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[3]
Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan
dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits
ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.[4]
Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab
Perlu diketahui
bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang
lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam mengenal
hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata
telanjang). Karena Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menjadi
contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal
kitabah (tulis-menulis)[5] dan
tidak pula mengenal hisab[6].
Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini
(beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[7]
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka
–yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam- mengenal hisab kecuali hanya
sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk
menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di
masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun
orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam
masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan
nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal
ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung
(sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan
bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengatakan,
“Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah
supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.
Sebagian kelompok
memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu
hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan
mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup
kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan
hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil.
Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum.
Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti
(qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan
ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu
ini kecuali sedikit”.[8]
Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal
Apabila pada malam
ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung
maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
Salah seorang
ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui
telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua
perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal
Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30
hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan
tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari
keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh
dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”[9]
Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Jika salah seorang
atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya
ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka?
Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu
pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal
Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi[10]
agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat
yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan
pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya
menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa
berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama
masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik
dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat
yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil
ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di
negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ
يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[11] Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At
Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan
mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu
pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”
Pendapat terakhir
ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu
pendapat dari Imam Ahmad.[12]
Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai
berikut.
Perlu diketahui
bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal
adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang
mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
“Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout
(meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar
dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di
langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang
banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara
lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia.
Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua
orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang
lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai
orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita
keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti
mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”[13]
Beliau rahimahullah mengatakan
pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda
waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi
kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka
bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini,
bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri
dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit).
Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah:
189)[14]
Ibnu Taimiyah
kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan)
apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka.
Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak.
Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena
mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin
lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan
penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin
lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum
muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ
يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ
تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya-
berkata,
يَصُومُ
مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah
bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian)
baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ
اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah
kaum muslimin”.[15]
Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya ketika di
Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang
sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?
Berikut kami
nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil
Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan
Saudi Arabia).
Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum
muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah
dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu
hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk
berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang
krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah.
Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini
bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin
menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan
hari raya kaum muslimin?
Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di
setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan
logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau
tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam
masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan
teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan
walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang
menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu
ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang
digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama
berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di
negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit).
Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji.” (QS. Al
Baqarah: 189)
Mereka juga
sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah
karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Perbedaan pendapat
menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam
memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk
berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam
masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa jika
penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka
mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal).
Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah
dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa
tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap
muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di
negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama
di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum
muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah yang
memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[16]
Semoga sajian kali ini bermanfaat.
[1] HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no.
1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[2] HR. Abu Daud no. 2342. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92.
[5] Maksudnya, dulu kitabah (tulis-menulis)
amatlah jarang ditemukan. (Lihat Fathul Bari, 4/127)
[6] Yang dimaksud hisab di sini adalah
hisab dalam ilmu nujum (perbintangan) dan ilmu tas-yir (astronomi). (Lihat
Fathul Bari, 4/127)
[7] HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no.
1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[8] Fathul Bari, 4/127.
[9] Al Hawi Al Kabir, 3/877.
[10] Bukan terang-terangan sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian orang atau sebagian organisasi Islam di negeri ini
ketika mereka telah menyaksikan adanya hilal namun berbeda dengan pemerintah.
[11] HR. Tirmidzi no. 697. Beliau
mengatakan hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih.
[12] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92 dan
Majmu’ Al Fatawa, 25/114-115.
[13] Majmu’ Al Fatawa, 25/109-110.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 25/115-116.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 25/117.
[16] Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts
Al ‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388, 10/101-103. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh
‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh Abdullah bin Mani’ dan Syaikh
‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.