Minggu, 29 Januari 2012

Cara dan Hukum Talqin Mayit

Cara dan Hukum Talqin Mayit
Ketika seorang muslim meninggalkan dunia, maka hal-hal yang wajib dilaksanakan adalah empat perkara. Memandikan, mengkafankan, menyembayangkan dan menguburkan. Sebagaimana kata Ibnu Ruslan di dalam Zubadnya:
والغسل والتكفين والصلاة # عليه ثم الدفن مفروضات
Dan memandikan, mengkafankan, menyembahyangkan atas mayyit, l,alu menguburkan adalah merupakan fardu.
Adapun mentalqin mayit tidaklah wajib atau fardhu. Hukum mentalqin mayyit adalah sunnah. Dan waktunya setelah mayit dikuburkan. Tempat mentalqin adalah di atas pekuburan, di mana si mulaqqin (orang yang mentalqin) itu duduk menghadapkan muka mayit, di atas kubur, dan orang-orang lainnya dari pada pengiring mayit berdiri sekeliling kubur. Jika sekiranya mayit tidak ditalqinkan, tidaklah orang yang tahu atas kematiannya itu menjadi berdosa. Karena hukumnya hanya sunnat. Dan tidak perlu kuburan digali kembali, sedang kesunnatan talqin adalah mayyit setelah dikuburkan.
Mengenai kesunatan talqin Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in berkata:
وتلقين بالغ ولوشهيدا كما اقتضاه اطلاقهم خلافاللزركشى بعد تمام دفن
Dan disunnatkan mentalqin mayit dewasa, dan sekalipun ia syahid. Sebagaimana kehendak orang yang diithlaqkan mereka.
Menurut Assayyidul Bakri dalam halaman yang sama:
وذلك لقوله تعالى: وذكر فان الذكرى تنفع المؤمنين. واجوج مايكون العبد الى التذكير فى هذه الحالة
Dan yang demikian itu karena firman Allah swt: dan beri ingatlah, maka sesungguhynyaperingatan itu berguna bagi orang-orang yang beriman. Dan yang paling dihajati hemba Allah kepada peringatan adalah dalam keadaan seperti ini
Dan sebuah hadits yang menerangkan tentang talqin diantaranya adalah riwayat Rosyid bin Sa’ad dari Dlamrah bin Habib, dan dari Hakim bin Umari, ketiga-tiganya berkata:
اذا سوي على الميت قبره وانصرف الناس عنه كانوا يستحبون ان يقال للميت عند قبره يافلان قل لااله الا الله اشهد ان لااله الا الله ثلاث مرات يافلان قل ربي الله ودينى الاسلام ونبيى محمد صلى الله عليه وسلم ثم ينصرف (رواه سعيد بن منصور فى سننه)
Apabila telah diratakan atas mayit akan kuburnya dan telah berpaling manusia dari paanya adalah mereka para sahabat mengistihbabkan (menyunatkan) bahwa dikatakan bagi mayit pada kuburnya: Ya fulan: katakanlah La Ilaha Illallah, Asyhadu alla Ilaha Illallah, tiga kali. Hai Fulan katakanlah: Tuhanku Allah, Agamaku Islam dan Nabiku Muhammad saw, kemudian berpalinglah ia. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam sunannya.
Dan diriwayatkan pula hadits marfu’ menurut riwayat Atthabrani dan menurut riwayat Abdul ‘Aziz al-Hambali dalam Asy-Syafi’I bahwa Umamah berkata:

Apabila aku mati, maka lakukanlah olehmu terhadap diriku, sebagaimana Rasulullah saw pernah memerintahkannya kepada kita agar memperlakukan mayit kita seraya bersabda: apabila mati salah seorang dari saudara-saudara kamu, maka kamu ratakan atas kuburnya, maka hendaklah berdiri salah seorang kamu di atas kepala kuburnya, kemudian hendaklah berkata: hai fulan anak fulananh, maka sesungguhnya ada didengarnya, hanya ia tidak dapat menjawab. Lalu berkatalah: hai fulan anak fulanah, maka sesungguhnya ia duduk melurus kemudian dikatakannya: Hai Fulan anak fulanah, maka sesungguhnya ia menjawab: berilah kami petunjuk, semoga Allah melimpahkan rahmat Nya atasmu… tetapi kamu sekalian tidak mengetahuinya. Maka hendaklah dikatakannya: ingatlah apa yang engkau keluar atasnya dari dunia, yaitu penyaksian bahwa tidak ada Tuhan yang disembah dengan sebanr-benarnya melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu hamba Nya dan utusan Nya. dan sesungguhnya engkau telah ridha Allah sebagai Tuhan. Dan Islam sebagai agama. Dan Nabi Muhammad sebagai Nabi. Dan al-Qur’an sebagai Imam. Maka sesunggugnya Munkar dan Nakir memegang tiap tangan seseorang dan berkata: Mari kita berangkat. Alasan apa lagi kita duduk pada orang yang sudah ditalqin (diajarkan) akan hujjahnya, maka berkatalah seorang laki-laki: Ya Rasulullah. Maka jika tidak dikenal siapa ibunya? Jawabnya: di bangsakannya kepada ibunya: Hawwa, Hai Fulan bin Hawwa.     
Mengenai hadits ini telah berkata alhafidz dalam attalkhish, dan isnad hadits ini baik dan telah menguatkan dia oleh Addliya’ dalam ahkamnya.
 

Membaca Al-Qur'an di Kuburan

Membaca Al-Qur'an di Kuburan
Agama Islam menganjurkan untuk saling mendoakan sesama muslim, walaupun terhadap muslim yang telah meninggal dunia. Ini membuktikan bahwa persaudaraan antara muslim itu bersifat abadi, tidak hanya ketika hidup di dunia saja tetapi juga ketika salah satu diantara mereka telah meninggal. Bahkan persaudaraan itu akan berlanjut kelak di akhirat.Ulama ahli fiqih bersepakat, bahwa amalan orang yang masih hidup yang diperuntukkan kepada yang telah meninggal berpahala sama. Amalan itu tidak hanya sebatas doa, tetapi juga amalan-amalan lain yang bermanfaat bagi yang telah meninggal dunia. Seperti sedekah, membaca al-Qur’an, dan membayarkan qadha puasa.
Dalam kitab Hujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dijelaskan ada dua pendapat mengenai hukum membaca al-Qur’an di kuburan. Madzhab Malikiyah menganggap hal itu makruh. Sedangkan mayoritas ulama mutaakhkhirin memperbolehkannya. Dan pendapat terakhir inilah yang berlaku di kalangan kaum muslimin sekarang.
Jika kita mau memperhatikan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib dari Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya beliau telah bersabda: “barang siapa yang melewati kuburan dan membaca surat al-fatihah sebelas kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, maka diberikan kepadanya pahal dengan hitungan orang yang telah meninggal tadi”.
Adapun hadits yang lebih spesifik menerangkan tentang membaca al-Qur’an di kuburan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra yang artinya:”barang siapa berziarah kepada kubur kedua orang tuanya atau salah satunya, kemudian ia membaca surat Yasin di pekuburan, dia telah diampuni dengan hitungan ayat atau huruf ayat tadi. Dan orang tersebut suda h dianggap berbuat baik kepada orang tuanya”.
Dalam kitab yang sama dijelaskan, Qadhi Abi Thayyib ketika ditanya tentang menghatami al-Qur’an di maqbarah (kuburan), menjawab bahwa pahalanya bagi orang yang membaca. Sedangkan mayit, seperti orang yang hadir, diharapkan mendapat barokah dan rahmat Allah swt.
Dengan demikian, jelaslah bahwa membaca al-Qur’an di pekuburan tidak dilarang oleh Agama Islam. bahkan, membaca al-Qur’an dengan pengetian tersebut disunnahkan.

Menaklukkan Perang dengan Cinta

Al-Barzanji: Menaklukkan Perang dengan Cinta
 
Banyak cara untuk menyatakan cinta kepada Rasulullah saw. Apapun caranya selama tidak menyeleweng dari tuntunan syariah yang diajarkanya kepada para sahabatnya haruslah dihargai. Karena menghormati orang yang mencintai Rasulullah saw sama artinya dengan mencintainya. Begitu pula sebaliknya. Barang siapa yang tidak suka kepada orang yang memuji Rasulullah saw berarti ia pun tidak cinta kepada Rasulullah saw na’udzubillah (mengenai hukum membaca Albarzanji dan perayaan maulid telah diterangkan dalam rubrik ini) Rasa cinta yang telah mengkristal dalam kalbu itu selanjutnya berubah dalam berbagai bentuknya dalam dunia nyata. Diantaranya adalah berbagai sastra puja-puji kepada Rasulullah saw dalam berbagai macam sya’ir yang indah.Sebagai rasa cinta kami kepada Rasulullah saw rubrik ubudiyah selama bulan maulid ini insyaallah akan memaparkan berbagai macam karya sastra para pecinta Rasulullah saw yang berisikan puja dan puji kepada Rsulullah saw yang telah akrab dengan kehidupan muslim Nusantara seperti kitab Al-barzanji, Al-diba’i, Maulid Syaraful Anam dan lain sebagainya.
Al-Barzanji sebenarnya bukanlah nama kitab atau buku, tetapi nama penulisnya yaitu Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Seorang sufi dan mufti di kalangan syafi’iyyah asal Madinah yang lahir pada tahun 1690 M dan meninggal pada 1763 M. Sebutan Albarzanji sebagai nama marga bagi penulisnya, jauh lebih terkenal dibandingkan dengan nama kitab itu sendiri yaitu ‘Iqdul Jawahir. Bahkan di wilayah Nusantara ini, jika sengaja disebutkan nama kitab Iqdul Jawahir banyak orang yang tidak faham, jauh lebih mafhum jika disebutkan Al-barzanji.
Kata ‘Iqdul Jawahir  secara leterlek berarti untaian permata. Sesuai dengan namanya, kitab ini merepresentasikan Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah. Rasulullah saw bagi dunia seperti untaian mutiara keindahannya menyilaukan dunia. Oleh karena itu, penulisan kisahnyapun dengan kata-kata yang indah pula agar sesuai dengan kisahnya. Sosok yang indah, akhlaq yang indah harus ditulis dengan sastra yang indah. Inilah makna untaian mutiara Iqdul Jawahir.
Dalam konteks sejarah kelahiran Iqdul Jawahir atau Al-Barzanji, perang salib yang melibatkan Sultan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi yang memerintah dinasti Bani Ayyub dengan tentara Salib (Inggris, Prancis dan Jerman) Pada tahun 1099 M menjadi latar yang sangat mengharukan. Di tengah himpitan semangat kemenangan tentara Salib yang sedang merayakan Natal serta keberhasilan menguasai Masjidil Aqsha, Sultan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi mencoba memompa semangat kaum Muslimin dengan menggelar perayaan kelahiran Rasulullah saw secara besar-besaran. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengimbangi perayaan Natal mereka.
Ide yang disuarakan oleh Sultan Shalahuddin ini sebenarnya berasal dari iparnya yaitu Mudzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Khalifah An-Nashir yang memegang pemerintahan di Baghdad amat menyambut baik ide serta seruan ini. Maka pada bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, ketika musim haji tiba, Sultan Salahuddin sebagai penguasa resmi Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) menghimbau kepada seluruh jamaah haji, agar sekembalinya dari ibadah haji segera mentradisikan perayaan maulid Nabi di daerah masing-masing. Oleh karena itu mulai tahun 580 H / 1184 M tiap tanggal 12 Rabiul Awal harus dirayakan peringatan Maulid Nabi saw dengan berbagai kegiatan yang dapat membangkitkan semangat umat Islam.
Ternyata peringatan Maulid Nabi saw yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut kembali oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa akhirnya kembali menjadi masjid setelah sempat dijadikan gereja oleh pasukan salip.
Sultan Salahuddin sendiri memperingati peringatan Maulid Nabi saw yang pertama kali ini dengan menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat hidup Rasulullah saw. Sayembara ini diikuti oleh Seluruh ulama dan sastrawan pada zamannya. Dan akhirnya sebagai pemenang adalah Syaikh As-Sayid Ja`far Al-Barzanji dengan karyanya yang berjudul ‘Iqdul Jawahir.
‘Iqdul Jawahir merupakan biografi Nabi Muhammad saw yang ditulis menurut gaya puitika Arab.  Karya ini terbagi dua: Natsar (prosa) dan Nadzom (puisi). Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang di dalamnya juga memuat 355 syair. Seluruhnya menuturkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa tatkala dilantik menjadi Nabi. Sementara, bagian Nadzom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair.
Sebagaimana karakter syair Arab, ‘Iqdul Jawahir banyak menggunakan berbagai kata yang diambil dari fenomena alam jagad raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Kata-kata itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.
Keunggulan ‘Iqdul Jawahir sebagai karya sastra terbukti dengan mendunianya karya ini di pelosok penujur negeri Muslim. Bahkan ketinggian bahasanya memerlukan syarah yang banyak ditulis oleh para ulama diantaranya adalah Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir. Juga Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M. dan Juga Ulama Nusantara sendiri yaitu Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid Al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’ kitab inilah yang sering dibaca diberbagai pesantren di Jawa secara kilatan (tiga atau dua kali pertemuan) dalam rangka memperingati hari maulid. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami satu-satunya anak Sayyid Ja’far Al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian mertuanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.
Dengan demikian Al-Barzanji atau ‘Iqdul Jawahir adalah karya sastra berasaskan rasa cinta kepada paduka Nabi yang Mulia, yang entah mengapa karya ini berhasil menyemangati para tentara muslim dalam perang Salip dan berhasil mengembalikan Masjidil Aqsha. Untaian kata Indah yang dipadukan dengan tulusnya niat dengan penuh hormat dan harap mampu menarik berkah dari Rasulullah manusia yang Mulia. Demikian pula dengan pembacaan al-Barzanji di Nusantara, semua dilakukan dengan penuh pengharapan menanti syafaat di yaumil qiyamat .
Di kalangan pesantren tradisi membaca Al-barzanji ini disebut dengan berzanjenan. Bagi kaum Nahdliyyin Al-Barzanji menjadi salah satu cara bertawassul kepada Rasulullah saw. Dengan menuturkan kisah kehidupan Rasulullah saw dan bershalawat atasnya, orang mengharap adanya kebaikan dalam kehidupan.
Di pesantren tradisi membaca Al-Barzanji merupakan sebuah kegiatan yang dilaksanakan setiap malam jum’at atau malam selasa. Membaca dengan beramai-ramai, dengan suara lantang dengan kraeasi nada yang bermacam melahirkan semangat tinggi. Bagi kehidupan santri yang setiap harinya bergumul dengan kitab kuning, mengaji dan maknani, membaca berzanji adalah sebuah hiburan tersendiri, disamping juga tabarrukan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah saw. Tradisi ini tidak hanya ada dalam dunia pesantren saja, tetapi juga masyarakat awam. Untuk momen-momen tertentu mereka bersama-sama membaca Al-barzanji dengan niat tabarrukan kepada Rasulullah saw. Misalnya ketika hari ketujuh kelahiran seorang bayi, atau ketika menjelang pesta pernikahan, bisa juga ketika menghuni rumah baru dan lain sebagainya. Seringkali berzanjenan diiringi dengan rebana atau terbang yang menggema. Pembaca dan juga sahibul hajat sama seperti Sultan Salahuddin yang berharap kebaikan dari pembacaan al-Barzanji. Jika tentara salip saja bisa ditaklukkan apalagi hanya sekedar kejahatan dan keburukan.
Lantas siapakah sebenarya Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji itu? Ia dilahirkan pada Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 (Desember 1714 M) di Madinah Al-Munawwaroh serta wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H (6 Februari 1764 M) di Kota Madinah. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’. Secara Nasab beliau bersandar langsung hingga Rasulullah saw. lengkapnya Sayid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim bin Muhammad bin Sayid Rasul bin Abdul Sayid bin Abdul Rasul bin Qalandar bin Abdul Sayid bin Isa bin Husain bin Bayazid bin Abdul Karim bin Isa bin Ali bin Yusuf bin Mansur bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Ismail bin Al-Imam Musa Al-Kadzim bin Al-Imam Ja’far As-Sodiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir in Al-Imam ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Sayidah Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad Saw.
Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji dikenal sebagai seorang ulama yang menguasai banyak cabang ilmu, diantaranya ialah ilmu Sharaf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, Al-‘Arudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijalul Ahadits, dan Mustholahul Ahadits. Selain itu, Syaikh As-Sayid Ja’far Al-Barzanji, juga adalah seorang khatib serta pengajar di Masjid Nabawi. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, namun masyhur pula dengan karamah serta kemakbulan doanya. Penduduk Madinah acap kali meminta pada beliau berdo’a untuk turunnya hujan pada musim-musim kemarau. Hingga terucap sebuah syair yang artinya:
Dahulu al-Faruq dengan al-’Abbas beristisqa` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far beristisqa` memohon itu datang
Maka yang demikian wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini adalah wasilah kami dengan Imam bermata hati terang
Dengan demikian, sastra yang lahir dari seorang alim (dhahir dan bathin) yang luar biasa , guna menghormati orang yang paling mulia, pastilah memiliki nilai yang istimewa.

MAULUDAN 4

Memuliakan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW Ketika memasuki bulan Rabiul Awal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan pengajian­pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu.

Sekitar lima abad yang lalu, pertanyaan seperti itu juga muncul. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H - 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan. Sebagaimana dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi:

"Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara'. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab: Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmnti bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka dta dan kegembiraan atas kelahiran Nnbi Muhammad SAW yang mulia". (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)

Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani. Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Sebagaimana firman Allah SWT :


قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوا

Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian. (QS Yunus, 58)

Ayat ini, jelas-jelas menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang tiadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya',107)

Sesunggunya, perayaan maulid itu sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

عَنْ أبِي قَتَادَةَ الأنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلإثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ – صحيح مسلم

Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, "Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim)

Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.

Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau Diba', sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari' at Islam. Sayyid Muhammad' Alawi al-Maliki mengatakan:

"Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara' secara parsial (bagian­bagiannya)”

“Sesungguhnya perkumpulan ini merupakan sarana yang baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para da'i dan ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad SAW. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan datangnya bala' (ujian), bid'ah, kejahatan dan berbagai fitnah". (Mafahim Yajib an Tushahhah, 224-226)

Hal ini diakui oleh Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah berkata, "Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAWakan diberi pahala. Begitulah yang dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga di temukan di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam Islam juga dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Dan Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid'ah yang mereka lakukan". (Manhaj as-Salaf li Fahmin Nushush Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)

Maka sudah sewajarnya kalau umat Islam merayakan Maulid Nabi SAW sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga karena isi perbuatan tersebut secara satu persatu, yakni membaca shalawat, mengkaji sejarah Nabi SAW, sedekah, dan lain sebagainya merupakan amalan yang memang dianjurkan dalam syari'at Islam.

MAULUDAN 3

Merayakan Maulid Nabi SAW (2) Jika sebagian umat Islam ada yang berpendapat bahwa merayakan Maulid Nabi SAW adalah bid’ah yang sesat karena alasan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw sebagaimana dikatakan oleh beliau:


إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي

Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan. (HR Abu Daud dan Tarmizi)

Maka selain dalil dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut, juga secara semantik  (lafzhi) kata ‘kullu’ dalam hadits tersebut tidak menunjukkan makna keseluruhan bid’ah (kulliyah) tetapi ‘kullu’ di sini bermakna sebagian dari keseluruhan bid’ah (kulli) saja. Jadi, tidak seluruh bid’ah adalah sesat karena ada juga bid’ah hasanah, sebagaimana komentar Imam Syafi’i:

المُحْدَثَاتُ ضَرْباَنِ مَاأُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتاَباً أَوْسُنَّةً أَوْأَثَرًا أَوْإِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ وَمَاأُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لاَيُخَالِفُ شَيْئاً مِنْ ذَالِكَ فَهِيَ مُحْدَثَةٌ غَيْرَ مَذْمُوْمَةٍ

Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, prilakuk sahabat, atau kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun sesuatu yang diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik). (Fathul Bari, juz XVII: 10)

Juga realitas di dunia Islam dapat menjadi pertimbangan untuk jawaban kepada mereka yang melarang maulid Nabi SAW. Ternyata fenomena tradisi maulid Nabi SAW itu tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam. Kalangan awam diantara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama berargumen bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual peribadatan dalam syariat.

Buktinya, bentuk isi acaranya bisa bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan semangat dan gairah ke-islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang  ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah.

Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Imam as-Suyuthi mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan maulid Nabi SAW:

وَالجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ المَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَأَةُ مَاتَيَسَّّرَ مِنَ القُرْآنِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَأِ أَمْرِالنَّبِيّ صَلَّّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ مَاوَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الاَياَتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَالِكَ مِنَ البِدَعِ الحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيْ صََلََّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِالفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ

Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah(sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw yang mulia. (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252)

Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: “Bid’ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah SAW.”

Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi): ”Termasuk hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah saw. dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah SAW dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh alam semesta”.

Untuk menjaga agar perayaan maulid Nabi SAW tidak melenceng dari aturan agama yang benar, sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:

1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.
2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
3. Membaca sejarah Rasulullah SAW dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau.
4. Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.
5. Meningkatkan silaturrahim.
6. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah SAW di tengah-tengah kita.
7. Mengadakan pengajian atau majlis ta’lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuritauladani Rasulullah SAW.

MAULUDAN 2

Merayakan Maulid Nabi SAW (1) Memang Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in.

Menurut Imam As-Suyuthi, tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah saw ini dengan perayaan yang meriah luar biasa adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kukburi ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (l. 549 H. - w.630 H.). Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini. Intinya menghimpun semangat juang dengan membacakan syi’ir dan karya sastra yang menceritakan kisah kelahiran Rasulullah SAW.

Di antara karya yang paling terkenal adalah karya Syeikh Al-Barzanji yang menampilkan riwayat kelahiran Nabi SAW dalam bentuk natsar (prosa) dan nazham (puisi). Saking populernya, sehingga karya seni Barzanji ini hingga hari ini masih sering kita dengar dibacakan dalam seremoni peringatan maulid Nabi SAW.

Maka sejak itu ada tradisi memperingati hari kelahiran Nabi SAW di banyak negeri Islam. Inti acaranya sebenarnya lebih kepada pembacaan sajak dan syi`ir peristiwa kelahiran Rasulullah SAW untuk menghidupkan semangat juang dan persatuan umat Islam dalam menghadapi gempuran musuh. Lalu bentuk acaranya semakin berkembang dan bervariasi.

Di Indonesia, terutama di pesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syi’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam. Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat.

Kembali kepada hukum merayakan maulid Nabi SAW, apakah termasuk bid`ah atau bukan?

Memang secara umum para ulama salaf menganggap perbuatan ini termasuk bid`ah. Karena tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah saw dan tidak pernah dicontohkan oleh para shahabat seperti perayaan tetapi termasuk bid’ah hasanah (sesuatu yang baik), Seperti Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.


عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم

Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (H.R. Muslim)

Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ ” (QS.Yunus:58).

Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Hadits itu menerangkan bahwa pada setiap hari senin, Abu Lahab diringankan siksanya di Neraka dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Hal itu dikarenakan bahwa saat Rasulullah saw lahir, dia sangat gembira menyambut kelahirannya sampai-sampai dia merasa perlu membebaskan (memerdekakan) budaknya yang bernama Tsuwaibatuh Al-Aslamiyah.

Jika Abu Lahab yang non-muslim dan Al-Qur’an jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW?

MAULUDAN

Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bid’ah Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid  walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pengukhususan Waktu

Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar'i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).

Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.

Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).

Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus".(Fathul Bari 3: hal. 84)

Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul 'Urubah dan direstui Nabi.

Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.

Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat.

Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid'ah dholalah.

Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat

Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.

Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:

1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: "Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.''(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.

2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.

3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: "Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka'bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka'bah menjadi pendek." (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka'bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.

4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: "itu biawak!", maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya: "apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: "Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!" (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.

5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit tark)

Dan Nabi bersabda:" Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:" dan tidaklah Tuhanmu lupa".(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya".(HR.Daruqutnhi)

Dan Allah berfirman:"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman  dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.

Maka dapat disimpulkan bahwa "at-Tark" tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!

Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: "Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah" dengan jawaban: "Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada", peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah. Al-Bayanul  Qowim, hal.28)

APA ITU TAHLILAN (1)

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati
Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

KHUTBAH JUM'AT Pentingnya Keluarga Sakinah

Pentingnya Keluarga Sakinah
الحَمْدُ ِللهِ الوَاحِدِ القَهَّارِ، الحَلِيْمِ الكَرِيْمِ السَّتَّارِ، المُنَزَّهِ عَنِ الشَّبِيْهِ وَالشَّرِيْكِ وَالإِنْظَارِ. انْفَرَدَ بِالوَحْدَانِيَّةِ, وَتَقَدَّسَ فِي ذَاتِهِ العَلِيَّة, وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ. أَحْمَدُهُ حَمْدَ عَبْدٍ مُعْتَرِفٍ بِالذُّلِّ وَالإنْكِسَارِ. وَأَشْكُرُهُ شُكْرَ مَنْ صَرَّفَ جَوَارِحَهُ فِي طَاعَةِ رَبِّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً تُنْجِي قَائِلُهَا مِنَ النَّارِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا النَّبِيُّ المُخْتَارُ
Jama’ah Jum’at Rahimakumu llâh
Pantas sekali kalau siang ini kita bersyukur kepada Allah Swt. atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada kita dan keluarga kita, sehingga kita masih diberi kekuatan untuk menjalankan perintah-Nya dan apa yang dilarang-Nya. Kita juga berdo’a, semoga amal ibadah yang kita lakukan dapat diterima di sisi Allah Swt., menjadi amal saleh dan menjadi simpanan baik untuk kehidupan kita di akhirat nanti. Âmîn.
Hadirin Jama’ah Jum’at
Begitu besar perhatian Allah Swt. terhadap urusan keluarga. Dalam al-Qur’an, tidak kurang Allah menyebut 70 ayat yang secara khusus membahas soal keluarga. Para ulama fiqh, membagi disiplin ilmu fiqh ke dalam 4 (empat) fann atau bagian, yakni fiqh mu’âmalah, jinâyah, munâkahah dan ibâdah. Masuknya masalah-masalah munâkahah (jamak: munâkahât) sebagai seperempat pembahasan fiqh ini, menunjukkan betapa pentingnya eksistensi dan fungsi keluarga dalam kehidupan manusia. Sebab, keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat (mujmata’ atau society) yang mempunyai pengaruh besar bagi pembentukan kepribadian setiap anggotanya.
Oleh sebab itu, Islam mengajarkan pentingnya menjadikan keluarga sebagai pusat terciptanya kedamaian, ketentraman, harmoni kehidupan, dan kesejahteraan. Keluarga yang di dalamnya terdapat suasana-suasana seperti itu merupakan keluarga sakinah (sakînah) atau keluarga maslahah (mashlahah).
Keluarga sakinah atau maslahah tercipta akibat adanya cinta dan kasih sayang atau yang dalam bahasa al-Qur’an disebut mawaddah wa rahmah. Dalam keluarga semacam ini, ada hubungan yang harmonis antara suami dan istri, antara orang tua dan anak. Di samping itu, semua unsur ataupun anggota keluarga berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing.

KHUTBAH JUM'AT Pola Hidup Birul Walidain

Pola Hidup Birul Walidain


Para Hadirin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Islam menempatkan bakti kepada orang tua sebagai kewajiban nomor dua, setelah Allah SWT. oleh karena kitu, sejak dini harus kita tanamkan pada diri kita.
Birrul walidain, artinya: bersikap baik terhadap dua orang tua (ayah dan ibu). Sikap yang dibuktikan dengan tingkah laku perbuatan yang baik.
Islam menempatkan birrul walidain ini sebagai kewajiban dengan urutan nomor dua sesudah beribadah kepada Allah dan sebaliknya menempatkan ‘uququl walidain sebagai larangan dengan ururtan nomor dua sesudah syirk (menyekutukan Allah). Alangkah penting dan gawatnya urusan orang tua di dalam ajaran Islam.
Allah berfirman:
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً
“sembahlah olehmu kalian Allah dan jangan sekutukan  sesuatu apapun dengan Dia! Dan bersikap baik  kamu kalian kepada  dua orang tua  dengan siakp baik yang sesungguhnya”(An-Nisak : 36)
Rasulullah SAW bersabda :
“Rasulullah SAW bertanya : “apakah aku (perlu) memberitahukan kalian tentang sebesar dosa besar?. Diulang tiga kali, maka bumi menjawab : “benar, ya Rasulullah!” beliau bersabda: “menyekutukan Allah (syirk), bersiakp tidak baik terhadap kedua orang tua (uququl walidain = menyakitkan hatri orang tua ). “ketika itu beliau bertongkat lalu duduk dan bersabda (lagi) : “(juga) berkata palsua dan memberikan keaksian palsu”. Beliau terus mengulang ulangnya sehingga kami berkata: “semoga beliau berhenti bersabda.” (HR Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Bakar).
Pada umumnya, birrul walidain hanya kita anggap sebagai kewajiban keagamaan ukhrawi yang akan mendapat balasan pahala besar bagi para pelakunya dan akan mendapat siksa yang pedih bagi yang bersikap sebaliknya (uququl walidain).
Para Hadirin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Pandangan yang demikian ini, sepenuhnya adalah benar. Pemeluk Islam seharusnya  pertama kali menilai  segala sesuatu dari sudut ukhrawinya. Melakukan shalat umpamanya, pertama kali harus kita pandang sebagai kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dengan sangsi ukhrawi, tidak harus dipertimbangkan dahulu untung rugi duniawi bagi pelakunya. Membayar zakat umpamanya, pertama kali harus kita pandang sebagai  kewajiban ukhrawi sebelum kita memikirkan manfaatnya bagi kepentingan duniawi.
Namun, juga sama sekali tidak salah, kalau kita memikirkan manfaat dari segala macam kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT. bukan karena meragukanya, tetapi justru didorong oleh keyakinan bahwa segala yang diwajibkan oleh Allah SWT tentu besar manfaatnya bagi yang bersedia melakukanya. Bukan saja manfaat ukhrawi, tetapi juga manfaat duniawi, manfaat bagi kehidupan di dunia ini.
Banyak perintah di dalam Al Qur’an dan Al Hadist, supaya kita beriman, taat dan berfikir. Beriman artinya memiliki keyakinan mutlak, teguh dan benar. Taat artinya : patuh melaksanakan perintah berdasar iman. Berfikir artinya: mengembangkan pikiran supaya dapat melaksanakan kepatuhan dengan lebih mantap dan sempurna.
Para Hadirin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Pada dasarnya, setiap orang yang normal memiliki kecenderungan untuk bersikap baik terhadap orang tuanya (birrul walidain). Naluri dan akal sehat manusia selalu mengarah demeikian, sama dengan adanya kecenderungan pada setiap orang mencintai anaknya, berani bersuasah payah dan berkorban untuk kepentingan anaknya.
Dua macam kecenderuangan timbal balik ini merupakan tanda bukti kemahabijaksanaan dan kemahabesaran Allah SWT. bayangkan, seandainya tidak ada lagi manusia yang cinta anak dan tidak ada lagi anak yang bersikap baik terhadap orang tua!
Kalau dalam satu masyarakat, yang besar tidak mengasihi yang kecil dan yang kecil tidak menghormati yang besar, maka apalah jadinya! Apalagi, kalau yang besar itu orang tuanya dan yang kecil itu anaknya. Rasulullah SAW bersabda:
“tidak termasuk golonganku (yang baik), orang yang mengasihi “yang kecil” dan tidak menghormati “yang besar”.
Kasih sayang orang tua (ayah ibu) kepada anak dan sebaliknya hormat anak kepada ayah ibunya adalah dua tali bagi manusia untuk tetap pada martabat kemanusiaanya.
Kewajiban kita adalah memelihara dan mengembangkan rahmat dan karunia Allah SWT ini dengan penuh kesuguhan dan keseksamaan. Bersyukurlah kita, dengan memanfaatkan rahmat menurut ajaran Allah pemberi rahmat.
Para Hadirin Sidang Jum’at Rahimakumullah.
Pertumbuhan dan perkembangan bibit kecenderungan tersebut tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Adakalanya terganggu, terhambat, terhalang atau menyimpang. Gejala terganggunya birrul walidain tampak pada anak, tetapi tidak terlalu selalu penyebab utamanya terletak pada anak saja. Mungkin saja masyarakat dan lingkungan ikut menjadi penyebab anak tidak bersikap baik terhadap or





|

KHUTBAH JUM'AT BULAN MAULID Indahnya Akhlak Nabi SAW

Indahnya Akhlak Nabi SAW


اَلْحَمْدُ لِلّهِ، اَلذِي بَعَثَ رَسُـوْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِتَتْمـِيْمِ مَكَارِمَ الْاَخْـلاَقِ، اَشْـهَدُ اَنْ لاَاِلهَ اِلاَّاللَّهُ ، وَحْدَهُ لاَشَـرِيْكَ لَهُ، وَاَشْـهَدُ اَنَّ سَـيِّدَنَامُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُـوْلُهُ، شَـهَادَةً تُنْجِى قَائِلَهَامِنْ عَذَابِ يَوْمِ التَّلاَقِ، اَللَّهُمَّ صَـلِّ وَسَـلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَىآلِهِ وَصَـحْبِهِ وَمَنْ آمَنَ بِهِ وَاَحَـبَّهُ وَاشْـتَاقْ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : اَعُوْذُبِااللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، مَنْ يُطِيْعِ الرَّسُولََ فَقَدْ اَطَاعَ اللَّهَ، وَمَنْ تَوَلَّىفَمَاآرْسَلْناَكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظَا.  اَمَّابَعْدُ : فَيَااَيُّهَالْمُسْلِمُوْنَ رَحِمَكُمُ اللَّهُ، اُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَاللَّهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah
Dari mimbar yang mulya ini kami berwasiat taqwa kepada jamaah jum`ah, dengan penuh kesadaran mari kita laksanakan perintah-perintah Allah, kita tinggalkan larangan-laranganNya. Dengan begitu InsyaAllah kita selamat fidunya wal akhirah amin..
Berkenaan dengan Dzikru Maulid Nabi SAW banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang menyebut keagungan beliau. Ayat yang paling sarat memuji Nabi akhir zaman Muhammad SAW adalah ayat yang berbunyi:
وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
"Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung." (QS.al-Qalam:4)
Kata khuluq yang berarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan khalq yang berarti ciptaan. Bedanya adalah kalau khalq lebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah.

Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah
Seorang sahabat pernah mengenang Nabi yang mulia SAW dengan kalimat : 
كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلّى اللّه عليه وسلم اَحْسَنَ النَّاسِ خَلْقًاوَخُلُقًا
Bahwa Rasulullah saw adalah manusia yang terbaik secara khalq dan khuluq”. Dengan kata lain, Nabi Muhammad saw adalah manusia sempurna dalam segala aspek, baik lahiriyah maupun batiniyahnya."
Kesempurnaan lahiryah beliau sering kita dengar dari riwayat-riwayat para sahabat yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah misalnya, mendeskripsikan sifat-sifat lahiriyah Nabi SAW seperti berikut:
 "Nabi Muhammad saw adalah seorang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang. Postur tubuhnya tegap. Rambutnya ikal dan panjang yang tidak melebihi daun telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya memanjang halus, bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua alisnya yang akan tampak timbul di saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok, yang di bagian atasnya berkilau cahaya. Janggutnya lebat. Pipinya halus. Matanya hitam. Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu ringan. Lehernya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan dadanya. Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari atas. Bila menoleh seluruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah bumi ketimbang langit dan banyak merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di saat berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam."
Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manusia yang agung seperti ini banyak kita temukan di dalam kitab-kitab Maulid yang lazim dibaca di tanah air kita, seperti Barzanji, Diba`, Simthu ad-Durar dan sebagainya. Kita dibawa hanyut oleh para perawi tentang bentuk lahiriyah Nabi SAW. Sesuatu yang meskipun indah dan sempurna, namun tidak menjadi fokus pandangan Al-Quran terhadapnya.
Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah
Lalu, apa yang menjadi fokus pandangan Al-Quran terhadap Nabi SAW?. Jawabnya adalah khuluq-nya alias akhlaknya, seperti pada ayat di atas. Apa arti akhlak? Kata Imam Ghazali, akhlak adalah wajah batiniah manusia. la bisa indah dan bisa juga buruk. Akhlak yang indah disebut  السَّـيِّئُ اَلْخُلُقُ sementara akhlak buruk disebut الْحَسَـنُ اَلْخُلُقُ
Akhlak yang baik adalah akhlak yang mampu meletakkan ‘Aqliyyah (Kejernihan fikir), Ghadhabiyyah (Emosi/Kemarahan), Syah-waniyyah (Keinginan-keinginan Syahwat) dan Wahmiyyah (Angan-angan) secara proporsional dalam jiwa manusia, Serta mampu meletakkan dan menggunakan secara adil dalam dirinya. Manusia yang berakhlak baik adalah orang yang tidak berlaku ifrath alias eksesif  atau melampau batas dalam menggunakan empat hal di atas, dan juga tidak bersifat tafrith atau menyia-nyiakan/mengabaikannya secara total. la akan sangat adil dan proporsional di dalam menggunakan keempat anugerah Ilahi itu.
Dengan kata lain akhlak yang baik adalah suatu keseimbangan yang sangat adil yang dilakukan oleh seseorang ketika berhadapan dengan empat fakultasnya di atas. la tidak ifrath di dalam menggunakan rasionalitasnya sehingga mengabaikan wahyu, dan juga tidak tafrith sehingga menjadi bodoh. la tidak ifrath di dalam menggunakan ghadhab atau emosinya sehingga menjadi agresor, namun tidak juga tafrith sehingga menjadi pengecut. la tidak ifrath di dalam syahwatnya sehingga menghambur-hamburkan nafsunya, namun juga tidak tafrith seperti biarawan-biarawati. la mampu meletakkannya secara seimbang sehingga ia membagi secara adil mana hak dunianya dan mana hak akheratnya. Kemampuan itu disebut dengan al-Khuluqul hasan اَلْخُلُقُ الْحَسَنُ
Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah
Orang yang menyandang sifat ini,  di kedalaman jiwanya sudah pasti memantulkan suatu bentuk yang sangat indah secara lahiriah di dalam segala aspek kehidupannya sehari-hari ; yang -seperti kata sebuah riwayat- dari pancaran wajahnya akan memantul sebuah energi yang akan mengingatkan orang kepada Allah SWT. Sedang untaian kata-katanya akan menimbulkan aura menambahkan ilmu. Pada setiap orang yang mendengarnya dari akhlak lahiriyahnya bisa menyadarkan orang dari kelalainnya. Akhlak seperti inilah yang diuswahkan Rasulullah SAW:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُـوْلِ اللَّهِ أسْـوَةٌ حَسَـنَةٌلِمَنْ كَانَ يَرْجُوْااللَّهَ وَاليَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَاللَّهَ كَثِيْرًا
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu)  bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab : 21)
Itulah misi utama beliau SAW :

اِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْاَخْلاَقِ
 “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.
Keluhuran akhlak Nabi SAW ini adalah cermin yang bersih dan indah yang membawa kita untuk bisa berkaca dengannya di dalam kehidupan kita sesama manusia dalam segala lapisannya. Sebab akhlak Nabi adalah cerminan Al-Qur`an yang sesungguhnya. Bahkan beliau sendiri adalah Al-Qur`an hidup yang hadir di tengah-tengah ummat manusia. Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi kandungan Al-Qur`an. Itulah kenapa 'Aisyah sampai berkata:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنْ
akhlak Nabi adalah Al-Quran.”
Akhlak alkarimah menjadi kunci keberhasilan beliau membangun bangsa dari kenistaan kearah keniscayaan. Beliau SAW menjanjikan bahwa akhlaq yang lurhurlah menjadi beratnya timbangan amal di akherat :
مَامِنْ شَيْئٍ فِالْمِيْزَانِ اَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
Tidak ada sesuatu yang lebih berat timbangannya (kelak diakherat) dari pada akhlak yang mulia.”
Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah
Saatnya kita mengedepakan akhlaq alkarimah diatas yang lain. Mendahulukan akhlak alkarimah diatas perbedaan. Mendahulukan akhlak alkarimah diatas kepentingan, bahkan bila perlu dahulukan akhlak karimah diatas Fiqih.
Mudah-mudahan kita semua berada dalam kehidupan yang akhlaqi, selalu memperoleh pancaran nur akhlak manusia mulya Muhammad SAW .. amin.
جَـعَلَنَااللَّهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ الْفَائِزِيْنَ اْلآمِنِيْنَ،وَاَدْخَلَنَاوَاِيَّاكُمْ فِي عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ، اَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا، فَاَسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

KHUTBAH JUM'AT Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Menyambut Bulan Suci Ramadhan
اَلْحَمْدُ لِلّهِ الَذِى جَعَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرَ الْخَيْرَاتِ وَالْبَرَكََةِ شَهْرَ الطَّاعَاتِ وَالْمَبَرَّاتِ شَهْرَ الصّيَامِ وَالْقِيَامِ وَأشْهَدُ أنْ لا اِلهَ اِلااللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنْفَرِدُ بِالْوَحْدَانِيّةِ وَالْقُدْرَةِ الّذِى فَضَّلَ بَعْضَ الشُّهُوْرِ وَالاَيَّامِ عَلَى بَعْضٍ وَجَعَلَ شَهْرَ رَمَضَانَ مِنَ الشُّهُوْرِالْعِظَامِ وَأيَّامَهُ مِنَ الايَّامِ الْكِرَامِ وَأشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِى أرْسَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ اللّهُمَّ صَلي وِسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ سَيِّدِنَا مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ لِقَاءِ رَبِّهِمْ. فَيَا عِبَادَاللهِ اتَّقُوْاللهَ وَلا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَاِنَّ مَصِيْرَهَا اِلَى الزَّوَالِ
Sidang Jum'at yang dimuliakan Allah
Puja dan puji syukur kepada Allah karena pada tahun ini kita kita diberi kesempatan kembali untuk bertemu dengan tamu yang sangat mulia, yakni bulan suci Ramadhan. Oleh sebab itu, marilah kita bersama-sama menyambut bulan suci ini dengan ucapan ahlan wa sahlan wa marhaban ya ramadhan, selamat datang Ramadahan 1428 H, bulan yang dimuliakan Allah, bulan yang penuh dengan barokah dan ampunan.
Perintah untuk menyambut bulan ini dengan penuh rasa kegembiraan termaktub dalam sebuah hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:
قَدْ آتََاكُمْ رَمَضَانُ سَيِّدُ الشُّهُوْرِ فَمَرْحَبًا بِهِ وَاَهْلاً جَاءَ شَهْرُ الصِّيَامِ بِبَرَكَاتٍ فَأكْرِمْ بِهِ
Artinya: "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, penghulu segala bulan. Maka hendaklah engkau mengucapkan selamat datang kepadanya. Telah datang bulan puasa dengan segenap berkah di dalamnya maka hendaklah engkau memuliakannya."
Bulan ini adalah bulan yang diberkati, bulan ini adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an, bulan ini adalah bulan terjadinya peristiwa Lailatul Qadar, sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan dan di bulan juga merupakan bulan dimana pintu maghfirah (ampunan) dibuka selebar-lebarnya serta segenap amal kebajikan dilipatgandakan pahalanya. Mengingat betapa mulianya bulan ini, maka alangkah bahagianya jika pada momentum Ramadhan ini kita dapat bersama-sama meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita serta mengisinya dengan segala kebajikan. 
Sidang Jum'at yang dimuliakan Allah
Dari seluruh keistimewaan Ramadhan, yang paling penting bagi kehidupan umat manusia terletak pada kewajiban untuk melaksanan puasa sebagaimana firman Allah SWT:
 

يا ايُّهَا الّذِيْنَ امَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS Albaqarah 2: 183)
Dalam ayat ini, tersirat makna bahwa sebenarnya puasa bukanlah ibadah yang baru dilaksanakan ketika kedatangan Islam akan tetapi sudah dilaksanakan jauh sebelumnya. Para pakar perbandingan agama mendapatkan data bahwa sebelum mengenal agama Samawi, orang-orang Mesir kuno, orang-orang Yunani dan Romawi telah mengenal  puasa. Demikian juga dengan orang-orang Majusi, Budha, Yahudi dan Kristen. Dalam karyanya "al-Fahrasat" Ibnu Nadim menyebutkan bahwa orang-orang Majusi berpuasa tiga puluh hari dalam setahun. Mereka juga melakukan puasa-puasa sunnah yang ditujukan sebagai penghormatan kepada bulan, Mars dan Matahari. Sementara At-Thabari dalam tafsirnya, Jami` al-Bayan, menyebutkan bahwa  seluruh pemeluk agama samawi (ahl kitab) diwajibkan oleh Allah untuk melaksanakan puasa.
Barangkali terdapat perbedaan mengenai tata cara berpuasa antara satu agama dengan agama lainnya. Namun yang penting untuk kita camkan, dipraktekkannya model ibadah dengan cara menahan diri dari makan, minum dan hawa nafsu oleh agama-agama dan umat manusia dari rentang masa yang satu ke rentang masa berikutnya menegaskan bahwa ibadah puasa merupakan ibadah yang bersifat universal. Ia dipandang sebagai jalan yang sangat efektif dalam dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sedangkan dalam Islam, puasa memiliki keistimewaan yang  berbeda dengan ibadah-ibadah lain. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfiman:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ اِلا الصَّوْم فَاِنَّهُ لِي وَاَنَا أجْزِي بِهِ
"Semua amal anak Adam (manusia) untuk dirinya sendiri kecuali puasa, sebab  puasa  itu  adalah untuk-Ku,  dan  Aku sendiri yang akan membalasnya."
Ketika melaksanakan puasa, sebenarnya tidak ada yang dapat mengetahui apakah seseorang sedang berpuasa atau tidak. Tidak menutup kemungkinan adanya orang yang terlihat berpuasa namun sebenarnya ia tidak melaksanakan ibadah puasa. Ketika sepi dari orang lain bisa saja ia makan, minum atau mengumbar hawa nafsu  tanpa sepengetahuan orang lain. Pendek kata, hanya si pelakulah yang mengetahuinya apakah ia sedang berpuasa atau tidak. Lalu apakah yang membuat seseorang tetap menjaga puasanya? Satu-satunya jawaban adalah keimanan yang terpatri dalam jiwanya.
Dalam konteks ini, puasa sebenarnya adalah latihan dan uji kesadaran akan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah, Dzat yang mengetahui dan mengawasi segenap tingkah laku manusia, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Jika seseorang yang berpuasa betul-betul berdasarkan motivasi keimanan nan dapat menjaga tindak tanduknya selama berpuasa maka ia akan mendapatkan pencerahan ruhani dan dikembalikan kepada fitrahnya sebagai manusia, makhluk yang mulai tanpa bercak noda dan dosa sebagaimana sabda Rasulullah:
شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ كَتَبَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وسَنَّنَ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ اُمُّهُ
Artinya: "Bulan ramadhan, bulan dimana Allah telah mewajibkan kamu sekalian berpuasa dan aku sunnahkan kamu untuk melaksanakan sholat malam. Barangsiapa puasa Ramadhan dan sholat malam dengan dasar iman dan ihtisab, dia telah keluar dari dosa-dosanya sebagaimana hari dia dilahirkan oleh ibunya."
Sidang Jum'at yang berbahagia
Memang benar bahwa melaksanakan ibadah puasa bukanlah sesuatu yang mudah karena membutuhkan latihan fisik dan psikologis. Namun perlu juga disadari bahwa tidak ada sebuah keuntungan besar yang didapatkan dengan upaya yang ala kadarnya. Sebaliknya setiap keuntungan besar hampir dapat dipastikan merupakan buah dari kerja keras dengan dukungan dengan  modal yang besar pula.
Demikian juga dengan puasa Ramadhan. Di bulan ini, fisik kita dilatih menahan lapar dan haus agar kita juga peka terhadap penderitaan orang-orang miskin. Kita juga ditekankan untuk mengeluarkan infak dan sedekah dari kelebihan harta yang kita miliki. Kesemuanya itu pada dasarnya adalah sebuah pendidikan keimanan agar kita dapat merenung eksistensi diri kita sebagai manusia dan hamba Allah. Lebih jauh lagi agar kita memahami tugas kita sebagai umat Islam yang tidak hanya bertanggungjawab kepada diri kita sendiri akan tetapi juga memiliki tanggung jawab atas umat Islam yang lainnya.
Ibadah seperti memberi infak dan shodaqah kepada orang-orang yang miskin dan membutuhkan merupakan ibadah yang sangat penting, bukan saja di bulan Ramadhan namun seharusnya juga selalu dilakukan di luar bulan Ramadhan. Karena memperhatikan dan memabantu orang lain yang membutuhkan pertolongan dapat mengasah kepekaan kita serta mempererat tali silaturrahmi dan solidaritas sesama umat Islam. Dalam beberapa kesempatan kesempatan Rasulullah SAW bersabda: "Muslim satu dengan yang lainnya seperti sebuah bangunan yang saling mengokohkan satu dengan yang lainnya; Tidak sempurna iman salah satu dari kalian hingga ia mampu mencinta saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri; Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia menolong saudaranya."
Di samping itu, puasa juga merupakan benteng yang menggiring manusia untuk berfikir sehat dan menekan hawa nafsunya. Rasulullah sendiri mengibaratkan puasa sebagai "junnah" atau perisai. Dalam sebuah hadis beliau bersabda:
 

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ فَاِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفَثُ وَلا يَصْخَبُ فَاِنْ سَابَّهُ أحَدٌ أوْ قَاتَلَهُ فَالْيَقُلْ اِنِّى صَائِمٌ
Artinya: "Puasa adalah perisai. Jika salah satu dari kalian sedang berpuasa maka janganlah ia berkata kotor dan mengeraskan perkataan. Jika seseorang mencacinya atau menantangnya maka hendaklah ia berkata: 'sesungguhnya aku sedang berpuasa."
Berfikir sehat, pengendalian emosi serta menahan amarah dan hawa nafsu ini merupakan hal yang sangat penting dalam puasa. Karena sebagai seorang yang sedang berpuasa maka ia harus dapat memlihara seluruh panca inderanya untuk tidak melakukan larangan Allah, terutama tidak melakukan hal-hal yang dapat menyakiti atau merugikan orang lain, apalagi merampas harta orang lain.
Sahabat Jabir bin Abdullah pernah berkata:
اِذَا صُمْتَ فَالْيَصُمْ سَمْعَكَ وَ بَصَرَكَ وَلِسَانَكَ عَنِ الْكَذِبِ وَالْمَأْثَمِ وَدَعْ اَذَى الْخَادِمُ وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌوَسَكِيْنَةُ يَوْمَ صِيَامِكَ وَلا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَصِيَامِكَ سَوَاءً
Artinya: "Apabila engkau sedang berpuasa, hendaklah puasa juga pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta dan dosa. Jauhkanlah menyakiti pembantu. Hendaklah engkau berlaku terhormat dan tenang di hari ketika engkau berpuasa. Janganlah engkau samakan hari ketika engkau tidak puasa dengan hari ketika engkau berpuasa."
Dengan demikian, dengan datangnya bulan Ramadhan ini, sudah sepatutnya bagi kita semua untuk lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas iman dan ketakwaan kita serta mengisi bulan Ramadhan dengan segenap hal yang berguna, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Dan semoga kita semua diberikan kekuatan lahir dan batin untuk bisa melaksanakan puasa dengan sebaik-baiknya.

رَبّنَا تَقَبَّلْ مَنَّا اِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ أنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ وَالْحَمْدُلِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

KHUTBAH JUM'AT Lailatul Qadar, Malam Seribu Bulan

Lailatul Qadar, Malam Seribu Bulan
اَلْحَمْدُ للهِ الّذي فَتَحَ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ. أَشْهَدُ أَنْ لااِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةٌ تُنْجِي قَائِلَهَا مِنَ النِّيْرَانِ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أمَّا بَعْدُ. فَيَا أيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah
Marilah kita bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat yang senantiasa dilimpahkan kepada kita. Kiranya, dengan bersyukur itu dapat menambah kepatuhan dan ketaqwaan kita kepada Allah. Yakni menggunakan nikmat itu untuk melaksanakan semua perintahnya, dan untuk menjauhi segala larangan-Nya.
Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah
Selain disebut sebagai bulan puasa, Syahrus Shiyam, Ramadhan juga disebut sebagai Syahrul Qur’an atau bulan Al-Qur'an karena di bulan inilah Al-Qur’an pertama kali diturunkan. Allah SWT berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS Al-Baqarah: 185)
Bagi umat Islam, ayat di atas bukan saja dipandang sebagai sebuah catatan tentang waktu diturunkannya Al-Qur'an, akan tetapi juga memiliki makna lain; yakni harapan tentang adanya sebuah malam di bulan Ramadhan yang dapat melipatgandakan ibadah seseorang hingga kelipatan seribu bulan. Malam itu dikenal luas dengan sebutan “Lailatul Qadar”.
Keinginan untuk mendapatkan Lailatul Qadar ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan. Rasulullah SAW sendiri menyeru umat Islam untuk menyongsong malam seribu malam ini dalam sabda beliau: Rasulullah SAW bersabda, “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR. Bukhari).
Kapan datangnya malam itu? Malam yang istimewa itu masih merupakan tanda tanya, dan tidak diketahui secara pasti kapan datangnya. Nabi Muhammad SAW selalu menjawab sesuai dengan apa yang perditanyakan kepada beliau. Ketika ditanyakan kepada beliau: “Apakah kami mencarinya di malam ini?” beliau menjawab: “Carilah di malam tersebut!
Hadirin Sidang Jum’at yang dimuliakan Allah
Salah satu hikmah dirahasiakannya Lailatul Qadar adalah terpompanya kembali semangat beribadah umat Islam di sepertiga terakhir bulan Ramadhan.
“Lailatul Qadr” adalah malam penuh kemuliaan, sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al-Qadr: 1-5)
Terdapat banyak riwayat yang menyebutkan tentang waktu terjadinya malam diturunkannya Al-Qur'an ini. Ada yang menyebutkan Lailatul Qadar terjadi pada tanggal 7, 14, 17, 21, 27 dan tanggal 28 Ramadhan. Sebab banyaknya riwayat mengenai kejadian turunnya Al-Qur'an ini, kiranya tidak mungkin mengetahui waktu tepatnya terjadi Lailatul Qadar. Namun umumnya umat Islam Indonesia meningkatkan ibadah pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Carilah sedaya-upaya kamu untuk menemui Lailatul Qadar itu pada sepuluh malam ganjil pada akhir Ramadhan”.
Barangkali terdapat sebagian dari kita yang bertanya mengapa waktu Lailatul Qadar tidak ditentukan secara pasti? Dengan kata lain mengapa Allah SWT tidak menjelaskan secara tegas tanggal berapa Lailatul Qadar terjadi?
Bisa jadi Allah SWT memang sengaja untuk merahasiakannya dan kita dapat memetik hikmah dari kerahasiaan Lailatul Qadar tersebut.
Jika berkaca pada fenomena umum yang terjadi di bulan-bulan Ramadhan, umumnya intensitas ibadah umat Islam terjadi di awal-awal Ramadhan. Namun semakin lama, semangat untuk beribadah semakin menurun, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Bahkan ada kecenderungan dipenggal di bulan Ramadhan. Masyarakat kita mulai disibukkan dengan segala hal yang berkenaan dengan persiapan-persisapan menghadapi lebaran yang sifatnya materil. Seperti mempersiapkan makanan kecil untuk para tamu yang berkunjung di hari raya, membeli peci, mukenah, sarung, baju baru hingga sendal dan sepatu baru untuk shalat Idul Fitri.
Terkadang kesibukan terhadap hal-hal yang sifatnya kurang substansial ini bisa menggeser keinginan untuk meningkatkan amal ibadah selama bulan puasa. Padahal jika kita tinjau lebih dalam kegiatan-kegiatan tersebut hanya bersifat melengkapi kebahagiaan puasa dan hari raya, tapi jelas fenomena ini sudah menjadi tradisi tahunan dipenggal terakhir bulan puasa.
Di saat-saat kritis ini, ketika konsentrasi umat Islam mulai terpecah kepada hal-hal yang bersifat materil, Allah memberikan bingkisan "Lailatul Qadar". Dimana segala amal kebajikan yang dilakukan di satu malam ini saja dapat mengalahkan intensitas ibadah yang dilakukan selama lebih dari seribu bulan. Sementara jika kita kiaskan waktu seribu bulan setara dengan delapan puluh tiga tahun tiga bulan. Sebuah "bonus" yang cukup menggiurkan.
Tak heran jika kemudian di akhir puasa tema Lailatul Qadar menjadi marak dibicarakan di seluruh lapisan masyarakat. Dan masjid yang semula mulai sepi kembali dipadati pengunjung. Dan dirahasiakannya waktu datangnya Lailatul Qadar membuat ibadah umat Islam tidak terpaku pada satu malam saja, namun sepuluh hari di akhir bulan Ramadhan.
Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah
Berdasar ayat 1-5 surat Al-Qadr di atas, malam Lailatul Qadar itu mengandung tiga macam kelebihan yaitu:
1. Orang yang beramal pada malam itu akan mendapat pahala sebanyak lebih dari 1000   bulan yaitu 83 tahun empat bulan
2.  Para malaikat turun ke bumi, mengucapakan salam kesejahteraan kepada orang-orang  yang beriman.
3. Malam itu penuh keberkahan hingga terbit fajar

Menurut hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, menyebutkan bahwa: Nabi Muhammad SAW pernah ditanya tentang Lailatul Qadar, lalu beliau menjawab, “Lailatul Qadar ada pada setiap bulan Ramadhan.” (HR. Abu Dawud)
Menurut hadits Aisyah riwayat Bukhari, Nabi Muhamamd SAW bersabda: “Carilah lailatul qadar itu pada tanggal gasal dari sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan.” (HR.  Bukhari)
Menurut pendapat yang lain, Lailatul Qadar itu terjadi pada 17 Ramadlan, 21 Ramadlan, 24 Ramadlan, tanggal gasal pada 10 akhir Ramadlan dan lain-lain. Jadi, mengenai lailatul qadar dalam hal ini, tidak ditemukan keterangan yang menunjukkan tanggal kepastiannya.
Di antara hikmah tidak diberitahukannya tanggal yang pasti tentang Lailatul Qadar adalah untuk memotivasi umat agar terus beribadah, mencari rahmat dan ridla Allah SWT kapan saja dan dimana saja, tanpa harus terpaku pada satu hari saja. Jika malam Lailatul Qadar ini diberitahukan tanggal kepastiannya, maka orang akan beribadah sebanyak-banyaknya hanya pada tanggal tersebut dan tidak giat lagi beribadah ketika tanggal tersebut sudah lewat.
Namun ada banyak penjelasan mengenai tanda-tanda datangnya Lailatul Qadar itu. Diantara tanda-tandanya adalah:
1. Pada hari itu matahari bersinar tidak terlalu panas dengan cuaca sangat sejuk, sebagaimana hadits riwayat Muslim.
2. Pada malam harinya langit nampak bersih, tidak nampak awan sedikit pun, suasana tenang dan sunyi, tidak dingin dan tidak panas. Hal ini berdasakan riwayat Imam Ahmad.

Dalam Mu’jam at-Thabari al-Kabir disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Malam lailatul qadar itu langit bersih, udara tidak dingin atau panas, langit tidak berawan, tidak ada hujan, bintang tidak nampak dan pada siang harinya matahari bersinar tidak begitu panas.”
Nah, agar mendapatkan keutamaan lailatul qadar, maka hendaknya memperbanyak ibadah selama bulan Ramadlan, diantaranya, senatiasa mengerjakan shalat fardhu lima waktu berjama’ah, mendirikan Qiyamul Lail (shalat terawih, tahajjud, dll), membaca Al-Qur’an (tadarus) sebanyak-banyaknya dengan tartil (pelan-pelan dan membenarkan bacaan tajwidnya), memperbanyak dzikir, istighfar dan berdo’a.
Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah
Dalam Surat Al-Qadr (97) ayat 3-5 di atas disebutkan bahwa malam kemuliaan (Lailatul Qadar) itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Jika dihitung-hitung secara matematis, seribu bulan sama dengan delapan puluh tahun tiga bulan. Jadi, barangsiapa yang berhasil meraih Malam yang penuh kemuliaan ini maka amal kebajikannya akan dilipatgandakan hingga hitungan ini serta segala dosa yang telah diperbuatnya akan diampuni. Keberadaan malam seribu bulan ini hanya ada di sepertiga terakhir bulan Ramadhan serta khusus hanya untuk umat Nabi Muhammad saja.
Dalam sebuah riwayat, Lailatul Qadar sebenarnya adalah buah dari keluh kesah Nabi  Muhammad kepada Allah SWT.
Suatu ketika Rasulullah mendengar kisah tentang seorang laki-laki dari Bani Israil. Dalam kisah tersebut, laki-laki dari Bani Israil itu disifati sebagai seseorang yang selalu menyandang senjata di bahunya. Ia berjihad di jalan Allah sebagai seorang martir (Mujahid) selama seribu bulan. Memang dalam sejumlah riwayat, usia manusia yang menjadi umat para Nabi sebelum Rasulullah sangat panjang. Ada yang mencapai tiga ratus bahkan ada yang mencapai tujuh ratus tahun.
Mendengar kisah tersebut Rasulullah merasa takjub dan teringat akan umatnya yang rata-rata berusia pendek. Oleh sebab itu Rasulullah pun kemudian berandai-andai seumpama saja umatnya dikarunia panjang umur seperti umat Nabi sebelumnya pasti mereka juga akan dapat lebih banyak beribadah kepada Allah.
Kemudian Rasulullah pun berkeluh kesah: "Wahai Tuhanku, Engkau lah yang telah menjadikan umatku sebagai umat yang berusia paling pendek sehingga mereka pun memiliki amal yang paling sedikit."
Sebagai balasan dari keluh kesah Rasulullah ini, Allah pun kemudian memberikan Lailatul Qadar sebagai karunia yang diberikan khusus untuk umat Nabi Muhammad. Dengan keberadaan malam yang lebih baik dari seribu bulan ini maka umat Islam pun tidak perlu berkecil hati karena memiliki usia yang jauh pendek dari umat-umat Nabi sebelumnya.
Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah
Hal yang paling penting untuk diingat dalam peristiwa Lailatul Qadar ini adalah diturunkannya mukjizat Nabi Muhammad SAW yang abadi hingga akhir zaman, yakni kitab suci Al-Qur’an. Dalam termonologi bahasa Arab, Mukjizat sebenarnya berarti sesuatu yang memiliki potensi melemahkan. Misalnya, Nabi Musa AS yang diutus kepada kaum Fir'aun yang terkenal dengan keahliannya di bidang ilmu sihir. Kemudian Nabi Musa diberi tongkat yang mampu mengalahkan sihir para tukang sihir Fir'aun hingga akhirnya mereka pun mengakui kelemahan sihir mereka dan mengakui bahwa tongkat Musa bukanlah sihir, tapi berasal dari kekuasaan Allah.
Sedangkan Nabi Isa AS, bangkit di masa berkembangnya ilmu kedokteran. Nabi Isa menghadapi kaum yang tunduk kepada hukum-hukum kebendaan dan tidak mengakui apa yang ada di luar alam kebendaan. Kemudian Nabi Isa dikarunia Mukjizat yang membuktikan adanya kekuasaan di luar hukum-hukum materi dengan kemampuannya menyembuhkan segala macam penyakit bahkan juga kesanggupannya menghidupkan orang yang sudah mati dengan izin Allah.
Sebagai rasul akhir zaman, Nabi Muhammad SAW juga diberi sejumlah mukjizat. Dalam sejumlah riwayat Mukjizat Nabi tersesebut ada yang berupa kemampuan membelah bulan atau keluar air dari sela-sela jarinya serta mukjizat yang lain. Namun Ibnu Rusydi, seorang cendikiawan besar asal Kordoba (Spanyol Islam) yang layak disebut Mukjizat sebenarnya adalah Al-Qur'an.
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rusydi ini sangatlah tepat. Al-Qur'an yang awal mula diturunkan di bulan Ramadhan merupakan bukanlah mukjizat yang bergantung pada pribadi seorang Rasul yang mana jika rasul tersebut wafat maka hilang pula lah mukjizat tersebut. Namun Al-Qur'an tidak akan pernah hilang dari muka bumi sebagaimana firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya. (QS Al-Hijr: 9)
Sementara isi dan kandungan Al-Qur'an merupakan oase yang dapat memberi petunjuk (hudan) bagi hidup manusia di dalam segenap aspek kehidupan mereka.
Prof Dr Roger Garaudy dan Dr Maurice Bucaille di Perancis pernah mengkaji dan menguji Al-Quran dari segi isinya. Di antaranya, Maurice Bucaille mencoba menguji berapa jauh kebenaran ilmiah ayat-ayat yang bersangkutan dengan proses kejadian manusia dalam Surat Al Hajj ayat 5. Dr Maurice Bucaille menemukan, bahwa ternyata penjelasan dari Alquran yang turun 15 abad yang lalu itu dalam menggambarkan asal muasal manusia, lebih tepat dari ilmu embriologi mutakhir. Hal itu secara jelas diditulis dalam bukunya yang berjudul “The Origin of Man”.
Pengujian Graudy dan Bucaille tersebut hanya sebagian kecil dari keistimewaan Al-Qur'an. Lebih dari sepertiga manusia yang hidup di muka bumi ini percaya bahwa Al-Qur'an merupakan wahyu Tuhan yang terus dibaca sebagai petunjuk dalam mencapai kebagiaan hidup dua alam (alam dunia dan akhirat).  Masih banyak keistemewaan Al-Qur'an yang belum tersingkap dan menunggu kekuatan nalar dan kejernihan hati kita untuk menerjemahkannya.
Oleh sebab itu, dalam momen Ramadhan ini sudah selayaknya kita membaca Al-Qur'an bukan sekedar untuk mendapatkan pahala namun sekaligus memahami isi kandungan Al-Qur'an agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat membantu kita dalam mewujudkan kehidupan yang lebih layak bagi seluruh kalangan dan diridhai oleh Allah SWT.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبِّلْ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ